Iced Americano

585 71 26
                                    

Sudah empat kali aku mencoba menghubungi Fera. Hasilnya nihil. Apakah dia sudah tidur? Apakah dia sedang sibuk di suatu acara? Apakah dia sedang pergi dan ponselnya mati?

Aku bolak-balik mengubah posisi tidurku dari miring ke kanan lalu ke kiri. Membenamkan diri dalam selimut lalu melepasnya lagi. Baju Ghani sudah aku lepas semuanya. Aneh rasanya pakai baju orang walau baju ini sudah jadi milikku.

Aku tidak bisa tidur padahal tadi rasanya mengantuk. Mata yang tadinya berat pun jadi kembali normal. Fera kemana?

Aku langsung bangun dan terduduk lama di kasurku. Hingga aku memutuskan untuk mengambil laptop, menyalakannya, lalu asik memainkan sebuah aplikasi.

☘️

Aku bangun lebih siang dari biasanya. Badanku terasa pegal sekali dan aku agak demam. Tapi itu tidak mengubah kebiasaanku untuk membuat kopi pagi ini. Dengan langkah berat karena menggeret badanku sendiri, aku memanaskan air. Kepalaku sibuk mengingat dimana aku menyimpan paracetamol karena aku lupa dimana aku menyimpan tas kantung obat-obatan. Dan seingatku, si paracetamol ini terpencar karena pernah kubawa saat ada pameran angkatan dan aku malah kena demam.

Entah ilham darimana, aku mengambil ponselku lalu menghubungi Ghani. Bertanya apakah anak itu punya paracetamol atau tidak. Pertanyaan bodoh, memang. Akhirnya Ghani akan datang ke kontrakanku membawa obat itu. Saat air panasku sudah mendidih, aku tidak jadi menuang serbuk kopi ke tabung french press. Aku mengganti serbuk kopi itu dengan serbuk teh. Sambil menunggu tehku jadi, buru-buru aku mandi. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku mandi di hari Minggu pagi. Bahkan saat aku merasa badanku sakit.

Aku baru beres mandi saat Ghani sampai di depan pintu kamarku.

"Hai Kat, masih demam?" Tanyanya saat aku membukakan pintu. Secara otomatis aku menyentuh dahiku sendiri.

"Masih."

"Ini, sarapan dulu." Dia menyodoriku tas makannya.

"Kamu masak?"

Dia mengangguk malu-malu. "Aku lagi masak waktu kamu nanya punya paracetamol. Jadi, sekalian aku masakin."

"Wah, terimakasih ya. Ayo, masuk Ghan. Diam terus di pintu kayak abang go-food. Sini." Aku menarik tangannya untuk masuk.

Dia masuk ke kamarku dengan canggung. Rasanya sudah lama sekali Ghani tidak main ke kamarku ini dan dia tidak pernah datang sendirian.

Mati-matian juga aku menghilangkan kecanggunganku yang selalu ingat kalau sebenarnya kami masih belum sepenuhnya akur. Ghani duduk di kursi belajarku. Dia sedang menyusun tempat makannya di meja. Aku langsung mencium aroma nasi goreng yang sangat wangi dan menggoda untuk minta segera dimakan.

"Kamu tidak pernah bilang kalau jago di dapur."

"Aku tidak tau kalau aku mesti bilang begitu." Ghani terkekeh sambil menyodoriku kotak makannya yang sudah lengkap dengan sendok dan garpu. "Sarapan dulu. Habis itu minum obat."

Aku langsung menerimanya. Lalu mulai memakannya sambil duduk di kasurku.

"Kamu mau duduk di kursi?" Tanya Ghani yang buru-buru bangkit dari kursinya dan menghampiriku.

Aku menggeleng, "di sini saja. Kamu duduk lagi sana."

Sekarang dia yang menggeleng. "Aku mau duduk di sini saja." Ghani duduk di karpet samping kasur. Menungguiku makan.

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah. Di rumah."

"Yang benar? Kan masakan kamu aku yang makan."

Art TradeWhere stories live. Discover now