Game

458 74 31
                                    

[masih] Fera POV

Jam sembilan pagi.

Aku menyisir rambutku, mengacaknya lagi, lalu menyisirnya lagi. Tidak beda jauh. Rambutku ini lurus, jatuh sempurna. Diacak sedikit juga akan kembali jatuh dan rapi dengan sendirinya. Beberapa orang mungkin tidak akan percaya kalau warna pirang ini asli. Tapi Katina percaya dari pertama kali dia melihatku. Aku masih ingat wajahnya saat mengucapkan "warna rambutmu asli, ya?" Lalu meminta izin untuk menyentuh rambutku dan memainkannya dengan jemarinya yang dihiasi cincin-cincin tebal warna perak dan hitam. Ada yang polos dan bermotif ular.

Dari situlah aku mulai mempertanyakan orientasi seksualku. Aku berusaha mencari tahu setiap hari. Rupanya dia punya pacar. Perempuan. Aku selalu tidak punya celah untuk masuk dalam hatinya, atau sekedar mencari tahu apakah aku memang menyukainya dengan cara itu dan dia memiliki rasa yang sama. Hingga satu tahun yang lalu, aku sadar, aku benar-benar menyukai Katina. Bahkan melebihi aku menyukai lelaki manapun.

Tapi sekarang aku tahu. Sebelum Katina direbut oleh Ghani, aku berhasil memilikinya. Dia membalasku. Kami saling cinta, aku tahu. Aku bisa merasakan itu walau setitik ragu masih tersisa. Aku pun tahu Katina tertarik pada perempuan mata amber itu. Katina selalu menyukai perempuan yang memiliki perbedaan. Mata amber Aurora itu memang membuat dia jadi unik. Terlihat lebih memikat ketimbang pemilik mata dark brown atau "hitam" dalam artian cokelat yang sangat tua. Ditambah lagi, anak itu cantik dan manis.

Aku cemburu, jelas. Apalagi semalam saat lihat foto mereka sedekat itu. Dadaku sesak, jantungku ikut bergemuruh bersama ombak yang terpecah menabrak bebatuan di sisi pantai yang agak jauh, tapi sampai pada jiwaku.

Aku marah.

Pada lelaki itu yang beraninya menguntit Katina.

Hah..

Biarlah, biarlah Katina mengenal Aurora sampai puas. Aku tidak kenal siapa itu Aurora, yang jelas, aku percaya anak itu tidak akan bisa merebut Katina dariku. Aku tahu Katina hanya penasaran.

Katina tidak akan meninggalkanku, kan?

Aku melihat sebutir air mata jatuh, tak tertampung lagi di bingkai mataku yang sudah dipoles maskara. Terus kutatap wajahku sendiri di cermin. Menantang diriku sendiri untuk berhenti menangis. Aku malas membenarkan wajahku lagi akibat maskara yang mulai luntur.

Ah, ganti merek saja kali ya? Yang tahan air mata.

Setengah jam kemudian aku berangkat dari hotel tempatku menginap ke sebuah coffee shop yang tak jauh dari hotel. Jadi, aku memilih berjalan kaki. Aku tidak menghubungi bibiku, repot-repot mengabari mereka kalau aku ada di Pangandaran. Aku malas bertemu orang-orang yang katanya keluargaku. Aku cuma ingin bertemu papa. Sudah. Ah!

Aku harus fokus.

Aku menenangkan diri sebelum masuk ke sebuah coffee shop yang luas dan tidak begitu ramai. Aku sampai dua puluh menit lebih cepat dari jadwal pertemuan dengan pembeli sebelum ke notaris. Katanya, ada beberapa hal yang ingin dibicarakan sebelum semua transaksi akan dilakukan.

Benar-benar membosankan. Semoga ini hanyalah bonus dari papa. Bukan sebagai alasan papa akan berhenti mengirimiku uang mengingat sebentar lagi aku lulus kuliah dan papa menyuruhku hidup jauh lebih mandiri lagi.

Atau aku memang harus mulai memutar uangku lebih baik lagi.

"Fera!"

Suara itu lagi. Setelah memesan kopi, aku langsung duduk di kursi yang paling dekat dengan kaca jendela. Tak kupedulikan sama sekali sosok lelaki yang baru saja memanggil namaku itu.

"Kamu marah padaku, Fer? Maafkan aku." Dia duduk di hadapanku tanpa izin. Membuatku menatapinya tajam dan mencacinya dalam hati.

"Fera, aku tau beberapa hal tentang Aurora, jika kamu mau dengar." Dia memancingku berbicara. Aku paham itu. Dan aku kalah.

Art TradeWhere stories live. Discover now