"Kalo gak ada yang mau kasih tebengan?"

"NASEEBBB!!!" Serunya sambil berjalan menuju kamarnya. Sial.

***

Aku menyiapkan buku lalu memakai sepatu. Menyemprotkan sedikit parfum. Mengusap sedikit lotion ke telapak tangan. Di meja makan, ku lihat ibu tengah beres beres. Ayah sudah berangkat ke kantor. Kak Revan sudah pergi kuliah. Aku mendesah.

"Loh, kamu berangkat sama siapa Cha?" Tanya ibu sambil membawa piring menuju dapur.

"Masih nunggu temen bu. Nggak tau juga beneran di jemput atau nggak."

Entah kebetulan atau bagaimana, suara klakson berbunyi di depan rumah. Tin tin. Kuharap Deva menepati perkataannya. Aku sedikit menengok ke teras. Benar. Deva disana.

"Bu, temen Acha udah dateng. Acha berangkat dulu. Assalamualaikum." Ucapku dan langsung terburu buru setelah mencium punggung tangan ibu.

"Iyaa waalaikumsalam. Hati hati Cha."

"Iyaa."

Aku sedikit berlari di teras. Terburu-buru takut telat. Tidak menyapa Deva terlebih dahulu, aku langsung naik ke atas motor.

"Gue belum nyapa nyokap lo."

"Yaudah. Nyapanya dari sini aja."

"Nyapa dari sini gimana? Nyokap lo ga tau gue siapa."

"Yaudah nyapanya nanti aja. Kapan kapan. Keburu telat ini. Lagian nih ya gue udah ceritain lo ke nyokap gue. Ayo cepetan." Ujarku. Motor melaju dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Jalanan mulai dipenuhi mereka mereka yang beraktivitas..

"Cha." Panggil Deva.

"Hm?"

"Lo ceritain gue gimana ke nyokap lo?" Tanyanya membahas ucapanku yang barusan.

"Oh, gue bilangnya, gue punya temen yang gue ga tau dia kelas berapa, dia tiba tiba ketemu sama gue, dan tingkahnya persis alien. Nyebelin." Padahal, niatku adalah membuat Deva kesal. Tapi dia malah tertawa.

"Rese lu." Ujarnya.

***

Deva memarkirkan motornya di dekat pohon. Katanya, biar motornya gak kepanasan. Yakali, motor bisa kehausan. Aku ingin bergegas menuju kelas tapi ia menahanku.

"Gue mau ngomong."

"Ngomong apa?" Tanyaku.

"Ntar sore lo bisa nemenin gue ke perpustakaan gak?" Aku tidak yakin dia menyebut perpustakaan. Karena model cowok kayak Deva, sepertinya sangat mustahil pergi ke perpustakaan apalagi untuk baca buku disana.

"Perpustakaan itu tempat buat belajar. Bukan buat tengkar. Lo ngajakin gue ke sana buat tengkar kan?"

Deva tertawa kecil. "Ya nggak lah. Jadi bisa nggak?"

"Bisa sih, tapi gue ada kumpul OSIS bentar. Gimana?"

"Ga papa. Gue juga latian musik dulu bentar."

Aku mengangguk mengiyakan ajakannya.

"Acha!" Seseorang memanggil ku. Membuat ku menoleh ke asal suara. Keyla. Ia sedikit berlari menghampiri ku.

"Kalian...?" Sepertinya aku tau maksudnya.

"Nggak lah!" Jawabku lekas. Tidak ingin Keyla meneruskan kalimat yang tidak ingin aku dengar.

"Yuk masuk." Ajakku.

"Duluan ya Dev!!!" Ujar Keyla.

Kriinggg.

Pelajaran pertama dimulai. Nyaris semua murid di kelasku mendesah. Rasanya ingin mengeluh di hadapan guru ini. Apalagi saat ia memutuskan untuk tidak mengajar karena ada rapat guru di aula sekolah, namun memberikan tumpukan tugas yang tidak main main.

"Lo kok bisa kenal Deva, Cha?" Keyla membuka pembicaraan antara aku dengannya. Aku hanya mengangkat bahu. Karena aku juga tidak tau persis, bagaimana kami bisa kenal. Mungkin saat kami bertengkar karena tingkah Deva yang main pesawat terbang dari kertas.

"Eh, Cha, lo udah jadian sama si Deva?" Tanya Arin yang duduknya di depanku. Aku bahkan bingung, bagaimana bisa hampir semua teman sekelas ku menanyakan hal yang sama persis.

"Hah? Gue sama Deva ga pacaran kok."

"Tapi Elvan bilang, kalian udah jadian." Duuh ELVANNN!!! Ini lagi. Aku menghampiri tempat duduknya.

"Van. Lo ngomong apaan ke temen temen? Masa mereka pada nanyain gue, gue pacaran atau nggak sama Deva? Lo ya biang kerok nya?"

"Hah? T-tau ya." Aku tambah kesal saat Elvan malah merasa tidak bersalah. Sok gak tau lagi.

"Tau tau jidat lo!"

.
.
.
.
.
Vote jangan lupa:* comment jg boleh. Next chapter guys. Tengkyu

DevandraWhere stories live. Discover now