Part 20 - Tarung (TAMAT)

1.7K 84 17
                                    

Wahyu masih kalap. Dia masih merenggut kerah baju milik Aris. Dia pun masih meninju wajah Aris berkali-kali sampai wajah laki-laki itu bersimbah darah hidung dan bibirnya. Namun, Aris justru tidak tampak kesakitan. Dia malah tertawa-tawa membersamai pukulan Wahyu ke wajahnya.

Aku pun mesti bergerak cepat dan merengkuh lengan Wahyu. "Hentikan, Wahyu! Jangan lakukan itu lagi!" rintihku sambil menggelayut di lengannya.

"Tidak, Zah. Orang ini semakin dibiarkan semakin berbuat seenak perutnya," kata Wahyu. Tubuhnya bergetar. Wajahnya memerah. Matanya memelotot. Dan bibirnya menggelatuk karena emosi yang telah menyesaki dadanya.

"Aku mohon, Wahyu. Hentikan!" Aku merintih-rintih sampai akhirnya Wahyu menghentakkan kerah baju milik Aris. Aris yang langsung sempoyongan sehingga aku pun segera meraih tubuhnya dan membuatnya terkulai di pundakku. Setelah itu, kuangkat wajahnya yang sudah membiru. Kuusap darah dari hidungnya yang menetes.

"Kamu tidak apa-apa, kan, Ris?" tanyaku, dan laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku.

Sambil berpegangan di pundakku, Aris mengalihkan matanya ke Wahyu, lalu berkata sinis. "Itu salahmu sendiri kenapa menjadi laki-laki yang lemah, Wahyu? Padahal cinta itu harusnya diperjuangkan, bukan ditelantarkan. Betapa pun cintanya kamu pada Zizah, kalau masih lemah seperti itu, kamu akan tetap kalah."

Aris mendengkus. "Sekarang, buktikan cintamu itu! Hajar aku sekarang! Bunuh aku sekarang! Setelah itu, kamu bisa memiliki Zizah seutuhnya."

Wahyu memandangiku. Dia seperti meminta jawaban dariku apa dia harus benar-benar menghabisi Aris atau tidak saat itu. Dan aku hanya menggeleng-geleng.

"Atau begini, Wahyu," Aris melanjutkan. "Sebagai orang Bugis, kita selesaikan perkara ini di dalam pertarungan. Temui aku di lapangan besok sore! Kita tarung sarung di situ. Kita buktikan, kamu atau aku yang punya cinta untuk Zizah."

Wahyu sekali lagi memandangiku. Kulihat tangannya kembali mengepal kuat-kuat. Dia pun menunduk, kemudian menggeram. "Oke. Aku terima. Besok sore di lapangan."

***

"Pikirkan ulang rencana kalian untuk melakukan pertarungan itu, Aris!" kataku ketika malam dirundung kerisauan. Sejak Aris dan Wahyu memutuskan untuk bertarung besok hari, dadaku tidak henti-hentinya berdebar gelisah.

"Taro ada taro gau. Seiya sekata dan perbuatan."

"Tapi, Ris. Dalam pertarungan itu, hanya akan ada dua kemungkinan. Kalian sama-sama hidup, atau kalian sama-sama akan mati. Dan aku tidak menginginkan itu. Aku tidak mau ada pertumpahan darah di antara kalian."

"Aku tidak punya pilihan lain, Zah," kata Aris sambil membebat sendiri luka-lukanya akibat hantaman Wahyu tadi siang. Aku ingin membantunya, tapi dia enggan. Dia tidak mau lagi menampakkan dirinya yang lemah di hadapanku.

"Kamu punya pilihan lain, Ris," tukasku. "Kamu punya pilihan untuk menghentikan pertarungan itu."

"Tidak, Zah. Itu satu-satunya cara agar aku bisa membuktikan pada kamu bahwa aku memang punya cinta yang besar untukmu. Dan tidak seorang pun yang bisa mengacaukannya, termasuk itu Wahyu."

Aris membesarkan bola matanya. "Kalau ternyata kami sama-sama akan mati, itu sudah takdir kami. Takdir mengapa kami harus memperjuangkan cinta kami masing-masing."

"Dan satu lagi," lanjut Aris. "Darah dalam pertarungan ialah darah pertobatanku. Aku tidak ingin hidup lebih lama dengan menanggung dosa."

Aku menatapnya pilu. Kuraih tangannya dan kugenggam erat dalam tanganku. "Aku sudah kehilangan banyak hal, Ris. Bapak. Calon anak kita. Dan sekarang, aku tidak mau kehilangan suamiku."

Gara-Gara Uang Panai (COMPLETED)Where stories live. Discover now