Khalifah duduk di bangkunya sembari melepas ransel yang membuat pundaknya menjadi sakit karena keberatan.

Ia menatap temannya, lalu berujar lirih. "Besok-besok, lo nggak perlu repot-repot untuk jemput gue, ya?!"

"Kenapa? lo nggak suka temenan sama gue? lo juga belum chat gue sedikitpun. Lo nggak suka kita temenan ya?" tanya Rio sedikit tersinggung.

Khalifah menggeleng cepat sebagai jawaban. "Gue senang kok, bisa punya teman yang ramah dan perhatian kayak lo,"

"Terus?"

"Gimana ya, ngomongnya? gue takut lo tersinggung!" kini Rio semakin penasaran.

"Bilang aja.."

"Mama gue itu orangnya over. Tadi Mama marah karena lo nggak ngucapin salam dulu pas ngobrol sama dia," Khalifah mencoba memberitahu.

Rio memalingkan wajah, lalu tersenyum sendu dengan alasan temannya itu.

"Gue minta maaf ya, pasti nyokap lo juga marahin lo gara-gara gue," ujar Rio pelan.

"Santai aja kali," balas Khalifah. Akhirnya ketegangan diantara memudar.

"Oh ya, hari ini lo bawa hp 'kan?"

Pertanyaan Rio membuat Khalifah terhenyak sekaligus membuatnya ingat jika ia harus segera memenuhi persyaratan absurd yang diberikan ibunya agar segera dibelikan hp.

"Ya Allah," lirih Khalifah setelah menghela nafas. Rio hanya melirik sebentar, lalu mulai bertanya apa yang membuat temannya mendadak gelisah.

"Gue harus bisa ngomong pake bahasa China selama 10 menit, sama Mama gue. Belajar memperkenalkan diri aja susah banget,"

"Gue bisa ajarin lo, kalau lo mau," Rio menawarkan diri.

"Lo bisa bahasa China?" tanya Khalifah dengan alis terangkat sebelah.

Rio segera duduk dengan posisi tegak, "ya.. bisa lah sedikit," lirihnya dengan tatapan berlarian ke sana kemari.

_____

Zila sedang duduk di sofa sembari memijit keningnya. Barusan ia menjemput kedua putrinya tapi Khadija tidak ada di sekolah. Untungnya Khadija membawa ponsel Zila sehingga ia bisa mencari tahu posisi anaknya lewat GPS.

Alasan ia meminjamkan Khadija ponsel adalah supaya ia tidak kesusahan memberitahu posisi dirinya pada anaknya ketika ia menjemput. Sekolah tersebut memiliki ribuan siswa, sehingga sedikit susah untuk menemukan anaknya jika tidak membawa ponsel sebagai alat pembantu komunikasi.

"Awas aja kalau nanti sampai di rumah!" Zila bersiap akan memarahi anak gadisnya itu yang asik keluyuran. Ia hanya terlambat 5 menit dalam menjemput, tapi anaknya sudah tidak ada di sekolah.

"Ummi, sebaiknya Ummi istirahat dulu," ujar Khalisa khawatir.

"Ummi gak bisa istirahat kalau begini,"

"Mungkin kakak lagi ada keperluan, siapa tahu kakak lagi ke toko buku," kata Khalisa mencoba membuat ibunya tak lagi khawatir. Ia tahu betul jika kakaknya itu memiliki hobi membaca komik. Pasti Khadija sedang kehabisan stok bacaan karena kakaknya itu membacanya setiap hari.

"Kalau memang mau ke toko buku, kenapa gak ijin sama Ummi dulu? apa dia udah gak menghormati Ummi lagi?"

Akhirnya Khalisa bungkam. Ia tidak ingin melanjutkan, khawatir jika dirinya ikut-ikutan dimarahi.

Sepertinya mood Ummi lagi gak bagus hari ini. Sudah dari tadi pagi ia terlihat kesal. Apa Ummi keberatan kalau kami meminta dibelikan hp baru ya?

Seketika ada rasa bersalah dalam hati Khalisa. Padahal kemarin ibunya sudah bilang kalau ia sedang tidak punya uang, tapi mereka tetap egois dan memaksa.

Terdengar suara pintu gerbang terbuka. Baik Zila maupun  Khalisa sama-sama menoleh lalu melirik dibalik tirai jendela. Ternyata Khalifah yang baru saja pulang.

Begitu memasuki rumah, Khalifah mencium tangan ibunya. Ia sudah sangat siap jika ibunya akan membahas soal pertemanannya dengan Rio yang dianggap tidak baik oleh sang ibu. Tapi, Zila tidak mengatakan sepatah katapun. Akhirnya Khalifah izin memasuki kamar untuk istirahat.

Zila duduk sembari menatap lurus ke depan. Anak lelakinya tidak berbicara sedikitpun padanya, seketika ia merasa rindu dengan perdebatan mereka seperti hari-hari kemarin. Tapi semuanya berubah semenjak pagi tadi ketika Rio datang.

Apa aku terlalu tegas sebagai seorang ibu? Maafin Mama, Mama akan segera menemui kamu dan kita berbicara dari hati ke hati. Agar kamu paham..

Tatapan Zila kian mengabur. Mungkin karena sebentar lagi tetesan air bening akan menemani kedua belah pipinya.

"Ummi ke kamar dulu. Kalau kakakmu pulang, suruh di jumpai Ummi," lirih Zila pada Khalisa yang menatapnya sedih. Ia tahu jika ibunya itu sudah tidak kuat. Tapi Khalisa masih belum cukup berani untuk memeluk ibunya dan menanyakan apa yang dirisaukan. Berbeda sekali dengan Khalifah yang setiap hari memeluk dan mencium sang ibu walaupun setiap hari ia dimarahi karena asik mendebat setiap argumen ibunya.

Di dalam kamar, Zila menangis dengan foto almarhum suaminya yang ia peluk. Sementara di kamar sebelah, Khalifah yang mendengar isakan ibunya, ikut meneteskan air matanya.

Ya Allah, aku udah bikin Mama menangis.

Suara benda yang dilempar terdengar. Seperti suara sejenis cermin atau kaca. Khalifah yakin, itu adalah frame sang ayah yang dilempar seperti beberapa tahun lalu ketika ibunya marah pada Khalifah yang tidak mau meminum obat lagi.

Khalifah berlarian ke luar, didepan pintu kamar sang ibu, Khalisa sedang terduduk di lantai dengan kedua tangannya menutupi telinga, mungkin tak sanggup mendengarkan. Ia tak kalah menangis.

"Dek.." Khalisa segera menghambur ke pelukan abangnya. "Tenang.." lirih Khalifah sembari mengelus puncak kepala adiknya.

Berbagai teriakan sang ibu terdengar di dalam sana, membuat tangisan Khalifah dan adiknya semakin menjadi. Tubuh Khalisa kian melemah dalam dekapan abangnya itu.

"Kenapa kamu tinggalin aku begitu cepat? kenapa aku harus merasakan  semua kepahitan ini sendirian? ini nggak adil buat aku, Bang!! ini sama sekali nggak adil! padahal kita berencana merajut kebahagiaan sampai rambut kita memutih dan kulit berkeriput karena termakan usia. Tapi kamu pergi begitu cepat.."

Lama tak terdengar suara ratapan, kini berubah menjadi tangisan kecil.

Handle pintu berputar, sepertinya terbuka dari dalam. Cepat-cepat Khalifah membopong adiknya untuk bersembunyi.

Zila ke luar dari kamar dan berdiri dibalik pintu depan. Begitu pintu terbuka dari luar, nampak Khadija masuk. Sang ibu sudah mengetahui jika Khadija akan sampai ke rumah. Zila melihatnya lewat GPS dan CCTV di gerbang yang menampilkan sosok putrinya. Akhirnya ia menunggu di depan dan mungkin akan memberikan anaknya hukuman.

Cepat-cepat Zila menutup pintu kembali. "Habis dari mana kamu?" tanyanya dengan tatapan tajam. Tak jauh dari sana, Khalifah dan Khalisa menatap mereka dengan takut-takut. Emosi ibunya sedang tidak stabil, bisa berbahaya untuk Khadija.

"Mom.." lirih Khadija yang segera menghambur kedalam pelukan ibunya. Ia menangis dan badannya bergetar hebat.

"Ada apa?" tanya Zila dengan rahang mengeras.

Khadija memberitahukannya, membuat Zila dan dua saudaranya terkejut. Cepat-cepat Zila mendorong pelan putrinya dari pelukan dan meraih kunci mobil di sofa.

"Mama mau kemana?" cegat Khalifah. Kondisi ibunya sedang tidak baik, lelaki itu khawatir.

"Mama harus ketemu dia!"

"Ma, tenangkan diri dulu," ujar Khalifah sembari memegang erat kedua tangan ibunya.

"Mama nggak bisa tenang! jaga adikmu biar mentalnya tidak down. Mama harus sekolahin lelaki itu dulu!!"

_____

Wah, ada apa gerangan??

Kembar tapi Beda ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang