1

4.5K 300 35
                                    

Sebuah mobil hitam berbelok memasuki persimpangan. Lorong-lorong jalanan sepi dilewatinya dengan seorang wanita berusia 36 tahun sebagai pengemudi. Senyuman begitu merekah menghiasi garis bibir wanita yang begitu tangguh itu,disebabkan keadaan yang mengharuskannya. Belasan tahun melewati hari-hari terpahitnya tanpa pelukan orang tersayang.

Mobil itu terus melaju setelah tadinya menghabiskan waktu di jalan raya sekitar tiga jam, kini harus melewati jalanan sepi sekitar 35 menit. Begitu tiba di tempat tujuan dan mobil itu terparkir rapi, sang empunya turun. Kacamata hitam disematkan, agar tak menembus sinar matahari di siang yang terik.

Kalau diperhatikan, style wanita itu jauh lebih modis dari sebelumnya, di saat lima belas tahun lalu. Dulu ia berpakaian lebih sederhana. Namun sekarang, pakaian dan barang-barangnya serba glamour karena kerja kerasnya. Meskipun demikian, tak pernah membuatnya menjadi sombong. Ia selalu berusaha untuk tidak memakai pakaian dengan warna mencolok.

Wanita itu berjalan melewati gapura bertuliskan nama lembaga pendidikan tersebut. Ya, dia harus berjalan kaki karena mobilnya tidak bisa ia bawa masuk ke dalam, sebab pondok pesantren tersebut telah dipenuhi oleh lautan santri dan wali murid.

Ini adalah hari kepulangan santri karena libur semester genap. Setiap orang tua dengan senang hati datang menjemput anak-anaknya. Apalagi bagi santri yang sudah lulus, mereka begitu sibuk menyiapkan barangnya untuk dibawa pulang karena tidak lagi menetap di sana.

Wanita itu melepas kacamatanya, melihat kesana-kemari, untuk menemui anak-anaknya. Ya, anaknya kembar tiga dan sekarang sudah berusia 14 tahun, baru saja menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di pesantren tersebut.

"Mama.."

"Mommy.."

"Ummi.."

Tiga teriakan dari arah berbeda membuat sang wanita harus menyisir penglihatannya. Larilah tiga orang anak dari penjuru yang berbeda untuk mendekat padanya. Wanita itu tersenyum, lalu merentangkan tangannya.

Anak lelakinya dengan tinggi 150 cm itu, wajahnya kini semakin mirip almarhum ayahnya. Sementara dua saudarinya lebih pendek darinya, dan mirip dengan sang ibu, hanya saja hidung mereka sedikit mancung, mewarisi genetik dari sang ayah.

Alasan mengapa ketiga anaknya itu memanggilnya dengan panggilan berbeda cukuplah simple. Ketika mereka masih kecil, Zila -sang ibu- sulit membedakan wajah dan suara mereka, sehingga muncullah ide untuk meminta anaknya memanggilnya dengan panggilan berbeda. Di tambah lagi si lelaki yang usil, suka membohongi ibunya ketika melakukan kesalahan. Setiap ia melakukan kejanggalan pasti ia tidak mengakui itu adalah dirinya, melainkan saudarinya.

Anak-anak itu berhamburan lalu memeluk Zila penuh sayang. Rasa rindu sudah tak terbendung. Mereka hanya bisa pulang selama libur hari raya, itupun hanya seminggu saja, tak boleh lebih.

Zila, sang ibu menatap anak-anaknya bergantian. Sudah besar saja mereka. Rasanya baru kemarin ia mengantarkan anak-anaknya ke pondok ini untuk didaftarkan, tapi nyatanya mereka sudah sembilan tahun di sini. Ya, disaat anaknya baru berusia lima tahun harus dilepaskannya karena faktor pendidikan.

"Kayfa halluk?" tanyanya.

"Bi kheir, elhamdulillah yaa Ummi," balas mereka bersamaan, seolah sudah mengikuti latihan kekompakan. Zila terkekeh geli.

"Abang, kok barangnya banyak banget yang dibawa pulang?" tanyanya lagi pada anak tertuanya yang lelaki. Sementara kedua saudarinya menatap si lelaki dengan takut-takut seolah mendapat ancaman jika tidak menutup mulut.

Kembar tapi Beda ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang