Bagian 5

16 2 0
                                    

Nama Lengkap : Arlen Langit

Akun Wp : ArlenLangit

Cerita :

Bus baru saja berhenti di halte terdekat dari Cortize Cafè, seorang wanita memakai mantel bulu warna kunyit turun hati-hati sebab sejam yang lalu turun hujan yang cukup deras sebelum matahari tenggelam. Ia langsung berjalan ke arah utara, sedikit tak suka aroma usai hujan yang tercium. Dari jalanan, bisa dilihat bahwa pria berkemeja putih dengan motif garis vertikal warna biru tampak gelisah, tak tenang dan tak tentram.

Wajahnya mendongak pada pintu utama Cortize, menunggunya mungkin? Tentu saja, bisa dilihat dari tatapan matanya, tampak begitu jelas. Di meja nomor sembilan, sudah ada kopi kesukaan wanita berambut hitam itu, ditemani sepiring brownis kukus yang harumnya mengalahkan aroma hujan di luar.

"Mau bicara apa? Bukankah bisa dibicarakan lewat chat Whatsapp?"

"Duduklah, aku ingin mengulang pertemuan kita pertama kali, tepat di sini, di meja yang sama."

Wanita bermantel duduk tanpa melepas mantelnya. "Kukira kau akan sibuk dengannya, besok kalian menikah."

"Aku hanya tak ingin membawa rasa bersalahku ke kehidupan selanjutnya, Mac. Maafkan kisah kita yang tak berujung manis."

Wanita itu—Mackenzie—tersenyum tipis, "Ya, kurasa kaubenar. Setelah keputusan cerai kita turun, terakhir kita bertemu. Ini keputusan berat, kau tahu? Tapi, jika kau tak lagi mencintaiku, untuk apa kita bersama?"

"Hati tak bisa dipaksakan, bukan? Aku mencintaimu, mencintai kehidupan kita selama menikah yang mungkin banyak kekurangan. Dan kita sepakat menutupnya, mengunci dan membuang kuncinya."

Mackenzie menatap foam di kopinya yang manis. "Menikahlah dengan rasa cinta yang bisa kaupastikan untuknya selama hidupmu. Bahagiakan dia, aku juga akan bahagia dengan caraku sendiri."

Mackenzie mengambil sesuatu dari dalam tasnya, mendorong benda itu ke tengah meja. "Tak mahal, mungkin tak akan berharga, tapi bukalah nanti jika kau sendirian. Selamat ulang tahun, Gilam."

"Terima kasih, kau selalu mengingat ulang tahunku lebih baik dari siapapun."

Mackenzie tersenyum, meminum kopinya dan pergi, sementara Gilam masih di sana, di meja nomor sebelas sendirian sampai beberapa menit kepergian mantan istrinya. Pria tiga puluh tujuh tahun itu membuka amplop warna biru langit—warna kesukaan Mackenzie—ada sebuah surat tulisan tangan yang berisi ucapan selamat ulang tahun dan pernyataan bahwa dirinya sudah berdamai dengan masa lalu, bahwa cinta mereka telah usai tapi tidak dengan perasaannya, masih terus berkembang.

Namun, di ujung surat, Mackenzie meminta maaf tak bisa datang ke acara pernikahannya. Ada selembar surat terlampir, surat berstempel dari lab salah satu rumah sakit terbesar di Singapura, memberitahukan bahwa kondisi kesehatannya sudah memburuk. Gilam keluar dari Cortize dengan terburu-buru, nyalang mencari bus yang ditumpangi Mackenzie, sayangnya sudah tidak ada.

Di dalam bus, Mackenzie meneteskan air mata sambil bersandar di kaca bus, menatap jalanan kota malam hari ditemani dinginnya yang kian terasa. Ia memejamkan matanya, membuka kemudian disusul dengan derai tangisnya yang dalam karena suara Gilam saat bersumpah di altar terdengar menggetarkan laranya. Matanya menutup kembali tak pernah terbuka, sampai ia menjadi penumpang terakhir dan membuat heboh berita di televisi malam yang dingin itu.

Lembar Kisah✔Where stories live. Discover now