"Jadi, kau sudah pernah melihatku?" tanya Mel.

"Ya, dia melihat kita saat Couch Gerd menghukum kita beberapa hari lalu. Bukankah itu sangat memalukan?" celetik Caroline yang sudah mengambil semangkuk masakan hasil jerih payah Zalea. Ia duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan dan menyesap supnya yang masih panas. "Wah, ini enak sekali."

"Oh, hari itu. Ya, aku dihukum karena Caroline terus mengoceh," sindir Mel. Namun, Caroline tampak tak peduli dan fokus menikmati sup ayam ala Zalea.

Zalea terkekeh saat Mel merengut karena diabaikan oleh Caroline. "Ada apa kau kemari? Lapar? Mari kita makan bersama. Untung saja aku membuat sup yang cukup untuk kita berempat."

Charlotte mengangguk. "Setuju! Aku juga sangat lapar." Seperti Caroline, Charlotte sudah duduk di kursi dan menikmati sup ayam bersama Caroline. Bahkan Mel tak menyadari jika Charlotte sudah pergi dari sisinya.

"Charlotte, kau sangat tidak sopan. Perkenalkan dirimu terlebih dulu pada Zalea," geram Mel seperti seorang ibu yang memarahi anaknya karena mengambil mainan orang tanpa ijin.

"Hai, Ze. Aku, Charlotte. Api adalah jiwaku!" Salam perkenalan yang sangat mirip seperti saat pertama kali Charlotte memperkenalkan diri pada Mel. "Kau tak perlu memperkenalkan diri. Aku sudah tahu tentangmu dan masalahmu."

"Abaikan dia. Dia dan Caroline itu tak berbeda jauh. Sama-sama menyebalkan."

Zalea hanya terkekeh. Kemudian keduanya pun ikut menyusul Caroline dan Charlotte mengambil semangkuk sup. Untuk malam yang dingin, semangkuk sup ayam hangat memang sangat pas untuk dinikmati. Terlebih lagi masakan Zalea yang sangat pas di lidah.

Mereka bercakap santai selama melahap sup mereka masing-masing. Hingga satu hal membuat Zalea sangat penasaran dan akhirnya pun terluapkan dengan sebuah pertanyaan.

"Kenapa kau dan Bel tidak pernah terlihat bersama? Apa kalian berbeda kamar?" tanya Zalea penasaran.

Sontak Charlotte langsung menatap Mel yang duduk di sampingnya.

"Kami satu kamar. Hanya saja, Bel tidak terlalu suka berdekatan denganku." Mel menjawab seadanya.

"Kenapa?" Meski Zalea sudah tahu apa alasan keduanya tak pernah terlihat bersama meski mereka adalah saudari kembar—dengan ikatan batin yang kuat, Zalea tetap ingin mendengar alasan itu dari sosok Mel.

"Karena kami berbeda gaya hidup. Aku suka bersosialisasi dengan banyak orang. Sedangkan Bel, lebih suka menyendiri."

Meskipun Zalea tak tahu keakuratan alasan itu, akan tetapi Zalea menganggukinya. "Oh, jadi begitu." Aura yang terpancar dari Mel dan Bel memang terkadang terasa sama. Namun, pada saat ini aura yang Mel keluarkan sedikit berbeda. Sepertinya Mel dan Bel sedang ada dalam masalah.

"Kau dan Bel ada masalah?" celetuk Zalea tepat sasaran.

"Ya, hanya kesalahpahaman kecil. Sudah biasa antara kami berdua."

Charlotte dan Caroline hanya diam mendengarkan.

"Aku iri denganmu."

"Iri?" tanya Mel heran. "Kau punya segalanya, Ze. Untuk apa kau iri denganku?"

"Segalanya?" Zalea tersenyum kecut. "Aku kehilangan ibuku dan saudariku. Bagiku mereka adalah segalanya. Jadi, tanpa mereka ... aku tak memiliki apapun. Jadi, itulah mengapa aku iri denganmu. Kau masih bisa bersama dengan saudarimu. Menatap wajahnya. Bertengkar dengannya. Sedangkan aku dan Agetha memiliki kemungkinan kecil untuk mengulang masa-masa indah kami berdua."

"Tapi kau masih punya kami." Caroline yang duduk di sebelah Zalea pun menyentuh pundak gadis itu. "Kami takkan pernah membiarkanmu sendirian."

Mel dan Charlotte mengangguk setuju.

"Mel, jika dia masih ada di sisimu, kau harus selalu temani dia dan dukung apapun keputusannya selagi itu yang terbaik. Karena saat dia tak lagi ada, kau pasti akan menyesalinya."

Mel hanya terdiam mendengar ucapan seorang Zalea.

▪️▪️▪️▪️▪️

Sesuai janji, Lyan terlihat sudah menunggu di lapangan belakang gedung Amethys. Pagi ini adalah hari pertama Zalea menginjakkan kaki di lapangan belakang gedung Amethys. Sangat sepi di sana. Karena memang siswa tingkat satu tak sebanyak siswa tingkat tiga maupun dua. Saat ia melewati gedung Amethys pun hanya terlihat segelintir siswa yang berlalu lalang di koridor.

Zalea mempercepat langkahnya. Ia sudah tak sabar untuk belajar menggunakan energi dengan efektif. Agar dirinya mampu menguasai sihir pelindung yang diajarkan oleh Paul.

"Lyan," sapanya pada sosok yang tengah duduk malas di akar sebuah pohon. Matanya tertutup dan membiarkan sinar mentari menyorot ke arah wajah tampannya. Bahkan saat Zalea menyapanya pun tak ada jawaban. Lyan masih tetap dengan posisi awalnya. "Sudah lama menunggu?" tanya Zalea. Ia berdiri menutupi cahaya mentari yang menyorot wajah Lyan sejak tadi.

Merasa jika ada sesuatu yang menganggu, Lyan pun mengernyit dan membuka mata. "Sedang apa kau?"

"Hm?" Pertanyaan Lyan membuatnya tak mengerti.

"Kau menghalangiku mendapat energi untuk fotosintesis."

Zalea terkekeh. Ia pun menggeser tempatnya berdiri dan membiarkan Lyan mendapatkan sinar mentari lagi. "Kau ini manusia, bukan tumbuhan."

"Hmm," deham Lyan. "Tunggu lima menit lagi."

"Baiklah." Zalea pun duduk di sebelah Lyan yang kembali menutup mata. Sosok itu tampak sangat menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwa. "Apa kau sering seperti ini?"

"Ya."

"Untuk berfotosintesis?"

"Benar."

"Aku benar-benar tak bisa memahami sikapmu, Ly. Kau begitu banyak kejutan."

Lyan terdiam sejenak. Tanpa diketahui oleh Zalea, Lyan membuka kedua matanya. Menatap sinar mentari dengan mata yang menyipit.

"Saat kau tenggelam dalam kegelapan. Sinar mentarilah yang akan kau rindukan. Seperti saat kau terjatuh tanpa harapan, sinar mentari seolah datang sebagai penyelamat."

Zalea menatap langit biru. Merasakan kepedihan seseorang yang tersirat lewat sebuah kalimat. Meski ia tak tahu pasti apa yang telah menyakiti sosok itu terlalu dalam, namun ia yakin masa lalu itulah yang membuat menjadi sekuat ini.

"Ly, apakah masa lalumu sangat menyakitkan?" Untuk beberapa saat, tak ada jawaban dari Lyan. Mereka duduk bersandar di pohon yang sama. Namun, Zalea dan Lyan saling membelakangi. Sebab, Zalea tak terlalu suka mendapat sinar mentari yang berlebihan seperti Lyan.

"Tidak. Aku bahkan tak ingat masa kecilku."

Sontak Zalea langsung melempar tatapan heran. "Serius?" Sedangkan sosok yang mendapat tatapannya tak menyadari akan hal itu dan meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku meski tak berlatih walau sejenak.

"Ah, fotosintesisku sudah selesai. Ayo, kita bertarung." Lyan bangkit dari duduk dan membersihkan seragamnya dari serpihan dedaunan kering.

"A—apa? Bertarung?"

▪️▪️▪️▪️▪️

Capek juga ya lari kesana dan kemari berdua denganmu.
Ini aku mengejar 30 bab pertama dulu. Seandainya nanti rameee, bakal aku publish lanjut ya gaesss. Tapi aku berharap semoga kalian suka dan menikmati. Maapkaann kalau alurnya monoton atau bosenin. Soalnya baru pertama banget bikin cerita full fantasy. Mana world building nya susaah asli hahaa. Ini pengalaman pertama sih. Semoga aja kedepannya bisa lebih baik lagi. Thank yuuu buat yang udah vote 😘

Zalea and the Cassio AcademyWhere stories live. Discover now