02

250 102 202
                                    

Akan kuceritakan semuanya agar kalian mengerti kisahku, kisah cinta tragis 10 tahun yang lalu dimana menjadi awal pertemuanku dengannya...

Saat itu usia ku 16 tahun, aku di besarkan di sebuah desa yang langitnya berselimutkan kabut dengan udara yang terasa begitu dingin. Sejauh mata memandang kita disuguhi pemandangan lereng-lereng bukit, dengan tanaman padi yang menghiasi, pohon jati yang menjulang tinggi menampakkan kengeriannya di malam hari.

Ketika pagi hari aku sering mengamati penduduk desa yang baru saja turun dari atas bukit membawa keranjang besar yang berisikan sayur mayur segar yang akan di perjual belikan di pasar, siang hari aku biasanya bermain dengan teman-teman seusia ku di halaman rumah, dan sore hari aku membantu ayah memberi pakan sapi peliharaannya.

Namun pagi ini terasa berat sekali, aku tidak akan melakukan aktivitas yang biasa ku lakukan karena ayah dipindah tugaskan di ibu kota Jakarta, yang mengharuskan kita semua harus ikut pindah. Jakarta kota sesak dengan segala tipu dayanya, yang bisa kapan saja menghipnotis akan gemerlapnya dunia. Kota itu akan menjadi tempat tinggal ku, menjadi tempat sejarah kisah ku dengan kamu, iya kamu.

TINNN

Terdengar suara bunyi klakson mobil, ku dapati mobil gundul yang biasa mengangkut sayur mayur dari atas bukit sedang terparkir di halaman rumah. Ya, kami akan naik mobil itu untuk ke luar desa tepatnya sampai ke stasiun kereta api, maklum desa kami terpencil, jadi susah sekali ada mobil yang akan ke luar desa. Kebetulan pak Anto, selaku pak lurah di desa kami mau mengantar pesanan ke kota seberang jadi kami bisa ikut meskipun ditemani sayur mayur.

''Ayo, cepetan udah di tunggu pak Anto.'' Seru Ayah sembari menaikkan barang-barang milik kami ke atas mobil.

Aku pun dibantu ayah untuk bisa naik ke atas mobil gundul itu, terlihat di samping kiri kanan ku sudah ada sayur mayur berjejer rapi seperti pasrah akan takdir yang akan terjadi padanya sebentar lagi, ckck.

Ku lihat bang Satria menggaruk rambutnya gusar dan menghela nafas berat, sepertinya ia tidak suka menaiki mobil ini. Siapa juga yang suka naik mobil gundul ini membuat kami menjadi tontonan warga desa. Setiap ada penduduk yang lewat ayah selalu menyapa dan itu membuatku tertunduk malu, bagaimana tidak mereka seperti menahan tawa melihat kami.

***
4 jam lamanya kami harus berada di atas mobil itu, akhirnya kami sampai juga di stasiun kereta api.

''Yeeeee.'' Sorakku bahagia.

Akhirnya sampai juga, suntuk sekali harus berlama-lama berada di atas mobil itu, mana matahari seperti sedang menghujani ku dengan teriknya.

''Makasih ya pak, sudah mau anterin sampai sini.'' Ucap Ayah pada pak Anto.

''Maaf ya pak, ngerepotin, ini pak.'' Ucap Ibu sembari menyodorkan beberapa lembar uang pada pak Anto.

''Aduhhh.. nggak usah bu, saya ikhlas kebetulan juga ada pekerjaan jadi sekalian saya anterin.'' Sahutnya.

''Uangnya di kasih dek Anya saja, buat jajan.'' Ucapnya lagi dan memberikan uang itu padaku.

''Saya duluan ya, buru-buru.'' Ucap pak Anto pamit

''Makasih loh pak, maaf ngerepotin.'' Ucap Ayah dan Ibu bersamaan.

Setelah pak Anto pergi, ayah bergegas untuk memesan 4 tiket tujuan Jakarta.

Ayah kembali dengan tangan membawa tiket, dan beberapa gorengan. Kayaknya ayahku lapar. Ku lihat tiket itu, dan ku lihat waktu keberangkatannya.

''15 menit lagi ya.'' Batinku.

Aku menatap sekeliling untuk mengusir rasa jenuh, banyak sekali disini yang sedang mengais rezeki. Ku lihat anak kecil yang usianya menurutku 7 tahun itu sedang berkeliling menjajakan dagangannya, untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dari tangan mungilnya. Semoga kelak kau sukses ya dek.

''Ayo.. ayo keretanya sudah ada.''
Ucapan ayah seketika membuyarkan lamunanku, aku pun bergegas untuk masuk ke dalam kereta yang seumur-umur baru pertama kali buat ku.

Aku pun duduk di kursi kereta api yang sesuai dengan nomor yang ada di tiket itu. Cukup nyaman ku rasa, dengan jendela yang menghadap keluar, dimana kita bisa melihat pemandangan yang ada di balik kaca jendela ini. Ku pasangkan earphone di telinga ku agar aku bisa tertidur, baru saja ingin ku tutup mata ini aku dikejutkan dengan pemandangan kursi seberang ku itu. Ada sosok yang tengah terlelap, memakai sepatu sneakers, dengan kaus hitam polos dirangkap kemeja yang lengannya dilipat ke siku dan bercelana jeans melihatkan urat tangannya yang membuat hatiku luluh. Sepertinya aku sudah jatuh hati pada sosok itu.

Aku menatapnya, menatap lekat-lekat wajah itu. Aku menikmati setiap detail yang ada pada wajahnya. Oh, tuhan sungguh sempurna ciptaan mu ini, ingin rasanya membelai lembut wajah sempurna itu.

DEG!

Dia menatapku, sosok itu menatapku. Aku melihat sepasang mata abu tengah menatapku juga. Mata kami saling bertatapan untuk beberapa detik, hingga cepat-cepat aku membuang muka, dan berpura-pura menatap yang lain.

Jantungku berdegup lebih kencang, dengan keringat yang membanjiri telapak tangan. ''Aduh bagaimana ini, bagaimana kalau dia tahu aku sedang menatapnya sedari tadi, bagaimana kalau dia berfikiran yang tidak-tidak tentang aku, bagaimana kalau dia berfikiran kalau aku ini tante-tante pedofil.'' Ku remas panik tangan ku, dan mencoba untuk tenang. Tapi aku masih bisa merasakannya, di ujung sana dia masih menatapku dengan mata abunya.

Tak sadar aku pun tertidur selama perjalanan, sampai ibu membangunkanku. ''Anya bangun, sudah sampai.'' Aku pun terbangun dari tidur lelap ku, aku menatap kursi itu kursi milik sosok bermata abu. Tapi, sekarang ia sudah tidak ada disana, ku tatap sekeliling orang-orang sedang berebutan untuk dapat keluar dari gerbong kereta api.

''Bentar bu, masih ramai.'' Ucapku

Aku terlalu malas bila harus berdesak-desakan untuk dapat keluar, terlebih saat seperti ini banyak sekali orang yang mencari kesempatan dan berniat jahat dengan melakukan pelecehan. Lebih baik aku menunggu agar gerbong kereta ini sedikit sepi.

Ku tatap pemandangan yang ada di luar jendela, mereka semua sibuk dengan urusannya. Ada yang baru pulang dari kantor, anak sekolah yang menunggu orang tuanya, pedagang yang berlarian tunggang langgang, hingga aku difokuskan dengan sosok yang tengah menatapku. Ya, sosok bermata abu itu tengah berdiri di luar sana ia tengah menatapku.

Tatapannya begitu datar, tidak ada ekspresi sama sekali dari wajah sempurnanya itu. Aku seperti tersihir olehnya. Sihir apa yang kau miliki, hingga aku tidak bisa memalingkan wajah untuk menatapmu. Aku tidak bisa memungkiri, jantungku sangat gaduh saat ini ia seperti menjerit memaksa keluar karena tak sanggup, oksigen terasa menipis aku kesulitan bernafas. Apa ini, apa aku sakit? Tapi mengapa rasanya menyenangkan.

''AWANNN.'' Pria dengan sweater biru, menepuk bahunya. Ku lihat sosok bermata abu tersenyum padanya, sepertinya orang itu temannya. Usianya kutilik sebaya dengan dirinya. Tubuhnya tinggi dengan kulit kuning langsat, cukup manis juga.

''Tambah ganteng saja kau.'' Ucap pria sweater biru, sembari melangkah jauh bersama sosok bermata abu keluar dari stasiun kereta api.

''Jadi namanya Awan.'' Batinku tersipu malu.

Meskipun story ini berlatarkan kota Jakarta, aku tidak memakai aksen/logat Jakarta ya✨❤️🌹
Gimana gaes?
Vote dan komen biar aku tambah semangat lanjut ceritanya yaa🌹❤️

MIRACLES [HIATUS] Where stories live. Discover now