[2]

66 5 0
                                    


"Aldi, bangun. Udah mau sampai."

Aldi terbangun, cahaya berebut menerobos kedua matanya. Pendengarannya sedikit berdenging, menyesuaikan dengan tekanan udara di dalam pesawat. Ia menoleh ke Fian yang duduk di tengah. "Belum mendarat ya, Fi?"

Fian menggeleng. "Tadi sih katanya 15-20 menit lagi bakal landing di Soekarno-Hatta."

Ya, mereka sedang dalam perjalanan udara menuju Jakarta. Beberapa bulan terlewati, kini keluarga Winata benar-benar meninggalkan kota pahlawan yang telah menyimpan banyak cerita tiga tahun ke belakang. Aldi akan rindu menaiki jembatan penyebrangan orang dan menunggu di perpustakaan Balai Pemuda sampai dijemput pulang, Fian akan rindu kabur pada pelajaran bahasa Jawa bersama beberapa temannya, dan Jeffri akan rindu seseorang di sana yang ia tinggalkan dengan berat hati.

Menjelang pesawat mendarat, Aldi mengeratkan cengkraman tangannya pada kedua tangan kursi penumpang. Aldi selalu dihantui rasa cemas dalam keadaan seperti ini, terlebih ketika roda pesawat mulai menyentuh aspal dan menyebabkan pesawat bergoyang hebat. Tak jarang telapak tangannya sampai berkeringat.

Syukurlah, pendaratan kali ini berjalan tanpa halangan. Aldi menghembuskan napas lega, segera ia buka sabuk pengaman dan menyusul kedua kakaknya yang sudah lebih dulu mengantri turun dari pesawat.

"Lak mesti tanganmu kringetan maneh, yo?" tebak Fian, yang direspon dengan cengiran oleh Aldi.

(Pasti tanganmu berkeringat lagi, ya?)

Panas menyengat ibukota menyambut kedatangan mereka kali ini. Para penumpang berlomba untuk cepat-cepat memasuki gedung bandara, beberapa langsung berjalan ke arah pintu keluar, dan sebagian lainnya harus mengambil barang yang diletakkan di bagasi.

Jeffri dan papa mengambil trolley, kemudian menyusul mama, Fian, dan Aldi yang sedang mengambil koper mereka. Baru dua koper yang diambil, dua sisanya masih dalam antrian.

"Tadi kata Mama kopernya warna apa?" tanya Aldi.

"Biru tua sama abu-abu," jawab Fian, "nah tuh, kamu ambil yang lebih kecil aja, Al."

Setelah urusan koper selesai, kelimanya berjalan menuju lobi kedatangan. Aldi dan Fian sempat duduk di trolley, namun hanya sebentar karena Jeffri protes kesusahan mendorong. Kadang Fian memang tidak sadar kalau badannya cukup bongsor, begitupula Aldi yang meski paling pendek, tapi tetap saja dia termasuk tinggi untuk anak sebayanya.

Papa menekan keyboard pada ponselnya, lalu mendekatkan beda persegi panjang itu ke telinga. "Halo? Halo? Iya, Yan. Alhamdulillah udah nyampe nih, di lobi kedatangan. Luxio putih? Oke, ditunggu."

"Yang jemput kita Om Rayyan, Pa?" tanya Jeffri begitu papa selesai menelepon.

"Iya, mobilnya Luxio putih. Kita tunggu di sini aja."

Tak perlu menunggu lama, mobil yang dimaksud papa terlihat dari kejauhan. Begitu berada di dekat mereka, mobil itu berhenti dan sosok berkaus putih gading keluar dari mobil bagian pengemudi.

"Om Rayyan!"

Fian berlari kecil menghampiri omnya itu, membuat beliau tersenyum hangat. "Jefian! Apa kabar?"

"Baik, Om." Fian menyalimi tangan Om Rayyan, disusul Jeffri dan Aldi. Om Rayyan membantu papa memasukkan koper-koper ke bagasi mobil sembari mengobrol sebentar. Setelah beres, mereka semua masuk ke mobil dan Om Rayyan melajukan mobil meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta.

"Ceritanya jadi orang Jakarta nih, mulai sekarang?" Om Rayyan membuka percakapan.

"Jakarta coret, lebih tepatnya," sahut papa diiringi kekehan pelan.

When Home Isn't HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang