Part 18 - Keras Kepala

627 43 2
                                    

Aku senang kabar Aris semakin membaik. Alat-alat yang terpasang di hampir seluruh badannya sudah terlepas, kecuali infus yang masih melekat di pergelangan tangannya. Dia juga sudah mampu berbicara dengan jelas tanpa perlu kami dekatkan telinga kami ke mulutnya.

Mendengar kesembuhan Aris, aku merasa perlu bertemu dengannya. Aku ingin merawatnya sampai dia benar-benar pulih dan akhirnya bisa kembali menggunakan kaki-kakinya. Sebab Wahyu bilang kalau sebelah tulang kaki Aris patah dan dia harus menjalani operasi pemasangan pen atau besi penyangga ketika kondisinya sudah sangat, sangat pulih.

Ibu benar. Tidak ada yang sungguh-sungguh Aris miliki selain aku dan Andini. Maka, aku punya tanggung jawab membuatnya sembuh total.

Kutahu hubungan kami memang sedang sangat bermasalah. Namun, aku tidak ingin memikirkan hal itu saat ini. Hal yang paling penting yang harus kupikirkan ialah kami masih suami-istri. Aku harus meyakini itu dalam relung hatiku.

Namun, laki-laki itu enggan menemuiku. Ada perasaan bersalah dan kesal yang terjadi pada saat yang sama. Begitu pengakuan Wahyu ketika kutanyakan perihal tersebut.

"Kamu tidak perlu cemas, Zah. Aku akan bicara dengan Aris agar dia mau bertemu denganmu," kata Wahyu.

Wahyu juga memberitahu kalau Aris akan dipindahkan ke ruang inap. Aku pun sudah meminta pihak rumah sakit untuk menempatkan Aris di ruang VVIP agar dia tidak perlu terganggu dengan pasien lain kalau-kalau dia sudah bisa keluar dari ruang ICU. Ini sebagai balasan dari perbuatannya yang silam. Saat aku sakit, dia pun menempatkanku di ruang VVIP.

Aku bisa mendengar derik roda-roda kereta dorong Aris keluar dari ruang ICU. Ada dua perawat yang mendorong kereta tersebut disusul Wahyu dari belakang. Kulihat wajah Aris tidak sepucat saat di ruang ICU. Meskipun bibirnya masih mengerut putih, lebam di dagunya masih jelas, garis sobekan di hidungnya masih tampak, tapi dia sudah terlihat kian baik saja.

Ketika aku mendekat untuk melihatnya lebih lekat lagi, dia langsung buang muka seraya menjungur.

"Maafkan aku, Zah. Aku akan coba bicara lagi dengan dia. Aku yakin hati Aris masih panas. Dia pasti mau bertemu denganmu kalau hatinya sudah mendingin," ucap Wahyu. Dia mungkin menangkap wajahku yang serbasalah.

Aris sudah berada di ruang inap dan aku hanya bisa menunggu kabarnya dari luar. Setiap kali Wahyu keluar, aku akan menanyainya soal perkembangan kesehatan Aris. Sementara itu, Ibu kuminta untuk pulang saja. Sebelumnya aku juga sudah meminta Wahyu untuk membawa Andini menemani Ibu di rumah. Biarlah aku di sini yang menjaga Aris, memantaunya, meskipun hanya dari luar.

Sebenarnya aku sempat mencoba masuk ke ruangannya Aris. Namun, ketika melihatku, dia langsung berteriak-teriak mengusirku. Daripada membuat keributan di rumah sakit, aku memutuskan untuk menunggu saja sampai kepalanya mendingin.

Saat aku terduduk di luar, Pak Burhan dan Bu Wati datang. Mereka cukup heran melihatku sendirian di luar. "Kenapa tidak masuk, Nak?" tanya Pak Burhan.

"Zizah hanya ingin di sini sebentar, Pak. Nanti Zizah masuk," kilahku.

Sebelum mereka melangkah masuk, Pak Burhan sempat berkomentar, "Masalah apa pun yang terjadi dalam hubungan kalian, selesaikan dengan kepala yang dingin. Jika dia api, kamu harus tetap menjadi air untuknya."

Aku mengangguk, menyalami tangannya, dan mereka pun masuk.

***

Wahyu bilang hari ini Aris akan menjalani operasi pemasangan pen pada kakinya karena kesehatan Aris semakin baik. Wahyu pun bilang kalau Aris ingin bertemu denganku. Dia ingin membicarakan sesuatu sebelum dioperasi. Terang saja aku senang sekali mendengar dua kabar itu.

Gara-Gara Uang Panai (COMPLETED)Where stories live. Discover now