Chapter 10

13.3K 1.4K 176
                                    

Sabtu pagi.

Donghyuck sudah siap dengan hoodie hitam kebesaran yang menutupi tubuhnya juga celana jeans hitam ketat di kakinya. Semua sudah dipersiapkan. Baju ganti, cemilan untuk di perjalanan, dan beberapa makanan lainnya yang akan diberikan pada keluarga Jeno nantinya.

Rencananya mereka akan berkunjung ke rumah Jeno lebih dulu. Itu pesannya tadi malam. Sekarang tinggal menunggu Jeno datang.

Sudah pukul sembilan, terlambat dua jam dari janji. Donghyuck duduk di sofa dengan televisi yang menyala menampilkan acara berita cuaca. Pikirannya mulai melayang. Jeno tak kunjung datang, dihubungi pun tak ada jawaban.

Apa Jeno lupa?

Donghyuck sabar menunggu, barangkali Jeno punya hal penting lainnya yang tidak bisa ditunda dan harus segera diselesaikan sebelum mereka pergi.






Sore hari.

Ini sudah sangat lama. Donghyuck makin gelisah. Jeno tak memberi kabar sama sekali. Setidaknya, katakan bila ternyata tak bisa. Ia kemudian mencoba menghubungi Jeno kembali. Nada sambung terdengar. Lama sekali hingga suara wanita yang menggantikan. Donghyuck coba menghubungi ulang, namun hasilnya sama saja.

"Jeno, kau di mana?"

Donghyuck menatap tas berukuran sedang yang ia taruh di samping sofa. Ia harus pergi, maka ia kembali mencoba menghubungi Jeno.

Persetan!

Donghyuck sudah tak bisa menunggu lebih lama lagi. Atau nantinya ia akan tiba dini hari di Jeju. Lantas, ia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Peduli setan dengan hujan deras, ia harus ke Jeju. Saat ini juga.

Donghyuck berjalan menuju halte tujuan bandara, mengabaikan baju juga tubuhnya yang terkena hujan. Ia harus sampai halte secepatnya kalau tidak ingin ketinggalan bus. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya tidak tahu apakah bus menuju Bandara Gimpo masih beroperasi atau tidak. Ini sudah hampir gelap, biasanya banyak supir bus yang sudah beristirahat.

Donghyuck mengabaikan rasa dingin di tubuhnya, baginya itu bukan apa-apa dibanding hatinya yang kecewa atas sikap Jeno hari ini. Hingga tangan Donghyuck ditarik sampai tubuhnya berbalik. Mengernyit kala dilihat Park Jisung berada di hadapannya, dengan baju yang juga sama basahnya.

"Mau ke mana?" tanya Jisung to the point.

"Bukan urusanmu," jawab Donghyuck dingin.

"Mau ke mana?" Kali ini Jisung lebih menegaskan suaranya.

"Jeju." jawab Donghyuck dengan tubuh yang mulai menggigil. Jarak apartemen menuju halte cukup jauh dan itu membuat Donghyuck benar-benar basah kuyup.

"Kuantar." ujar Jisung lebih seperti memerintah.

Donghyuck hendak protes, namun diurungkan saat Jisung membuka payung yang dipegangnya sejak tadi. Menyerahkannya ke tangan Donghyuck, kemudian mengambil tas di tangan Donghyuck yang lain.

"Ganti bajumu setelah itu kita pergi."

•••

Tidak ada percakapan antara keduanya. Baik Jisung mau pun Donghyuck sama-sama tidak ada yang berniat mencairkan suasana. Hanya alunan musik dengan volume kecil yang menjadi pengisi keheningan di dalam mobil. Hujan yang mengguyur Seoul sudah tak sederas tadi, hanya saja meninggalkan macet lantaran jalanan yang licin dan padatnya kendaraan yang melintas.

"Ji," Donghyuck memberanikan diri. Sekali pun ia memanggil Jisung dengan suara relatif kecil. Bajunya sudah ia ganti, beserta pakaian dalam dan tasnya juga. Semuanya basah, sehingga tak mungkin ia bawa.

Jisung berdehem sebagai jawaban. Matanya masih fokus ke depan, dengan kedua tangan memegang kemudi.

Donghyuck mengigit bibir bawahnya, ragu apakah hal yang ingin ia tanyakan layak atau tidak.

"Ada apa?" tanya Jisung sambil melirik Donghyuck. Melihat Donghyuck yang sedang mengigit bibir bawahnya membuat Jisung gemas. Maka dengan gerakan cepat ia mengecup ranum tersebut membuat Donghyuck berjengit kaget.

"Perhatikan jalan!" kesal Donghyuck. Untung keadaan sedang macet, kalau tidak, mungkin kecelakaan bisa saja terjadi. Jisung sendiri tak menanggapi, ia kembali menyetir seolah tak terjadi apa-apa.

Setelah itu tak ada lagi percakapan. Donghyuck sibuk memerhatikan jalanan malam dari balik kaca mobil.

"Ji," panggil Donghyuck kemudian.

"Ya?"

"Kenapa kau bisa ada di dekat apartemenku?" Pertanyaan yang sejak tadi ada di benak Donghyuck terucap juga.

"Aku memang selalu di situ setiap malam,"

"Ada kenalanmu yang tinggal di sana?" tanya Donghyuck memastikan.

"Iya, dan itu kau orangnya."

"Hah?"

Lampu merah di perempatan, Jisung menghentikan mobilnya di barisan ketiga sebelah kiri sisi jalan. Menatap Donghyuck yang memasang wajah bingung kemudian tersenyum hangat dengan tangan kanan mengusap kepalanya.

"Aku selalu di sana, memperhatikan jendela apartemenmu dan pulang ketika lampunya padam."

"Untuk?"

"Hanya memastikan kau baik-baik saja."

"Aku bukan anak kecil, Jisung."

"Aku tahu," Jisung menganggukan kepalanya.

Lampu lalu lintas berubah menjadi warna kuning. Jisung memindahkan persneling sebelum kembali melaju saat lampu berubah hijau.

"Hanya saja aku tak pernah bisa tenang kalau bukan aku sendiri yang memastikan kau baik-baik saja." imbuhnya.

•••

Pukul satu dini hari Donghyuck dan Jisung sampai di Jeju.

Jisung memarkirkan mobil sewaannya di parkiran hotel. Ya, Jisung yang meminta agar mereka beristirahat dulu. Awalnya Donghyuck menolak namun bukan Jisung namanya kalau tak bisa memaksa.

Satu kamar untuk dua orang.

Menurut kalian romantis atau terlalu pelit untuk memesan satu kamar lagi?

"Aku tak akan macam-macam, istirahatlah." ucap Jisung yang melihat Donghyuck duduk di pinggir ranjang. Sementara ia sudah rebahan di ranjang sisi kiri.

"Aku akan tidur di sofa saja,"

Ketika Donghyuck hendak mengambil bantal, lengannya ditarik begitu saja. Membuat Donghyuck terjatuh tepat di sisi kanan Jisung. Dengan posisi miring, Jisung memeluk Donghyuck.

"Badanmu akan sakit nanti. Tidur di sini apa susahnya?" tanya Jisung sambil memejamkan matanya.

Donghyuck berdecih tapi kemudian ikut menyamankan posisi. Dengan kepala menyandar di dada, Donghyuck memejamkan matanya. Jisung membuka sedikit matanya, tersenyum melihat betapa gemasnya Donghyuck saat tertidur.

Ia merapikan selimut yang dipakai bersama lalu mengecup kening Donghyuck, turun ke pucuk hidungnya kemudian ranum yang sudah menjadi candu sejak lama. Jisung kembali memeluk, namun tetap menjaga agar tak terlalu erat supaya Donghyuck tak kesusahan bernapas nantinya. Setelah itu mereka berdua tenggelam dalam alam bawah sadar, mengistirahatkan segala pikiran juga rasa yang sempat membuncah di hari ini.

"Kau menyia-nyiakan permata yang berharga, Jeno. Suatu saat nanti aku yang akan memilikinya dan kau tak akan pernah punya kesempatan lagi untuk mendapatkannya."

To be continued
.
.
Gais, aku ngerasa bego ples jahat banget, aku lagi gila-gilanya sama bangtan dan yeah aku hampir melupakan enssiti😢

Baby? || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang