Chapter 11

11.6K 1.3K 91
                                    

Satu kotak kecil etalase dengan beberapa bingkai foto yang berjejer rapi di dalamnya. Mata Donghyuck tertuju pada salah satunya, mengamati sosok gadis dengan gaun putih selutut tanpa lengan tengah tersenyum. Begitu manis dengan pipinya yang gembil. Tangannya memegang erat tali balon yang melayang di atas kepalanya seolah takut balon itu akan terbang nantinya.

Melihatnya, Donghyuck ikut tersenyum. Tersenyum sendu dengan kilatan mata yang meredup.

"Kau cantik, eomma." ucap Donghyuck pelan. Dirinya membuka pintu etalase, meletakkan setangkai mawar putih di depan foto.

"Selamat ulang tahun, eomma. Maaf terlambat," Tangan Donghyuck mengusap lembut foto sang ibu.

"Hyuckie rindu eomma..."

Hingga matanya beralih pada foto yang lain, Donghyuck mengambilnya dan menatap foto tersebut dengan tatapan sendu.

"Rindu appa dan Taeyong hyung juga," Donghyuck kembali meletakkan foto tersebut, menutup pintu etalase dan kembali menatap foto-fotonya dari balik kaca.

"Kenapa tidak ajak Hyuckie ikut kalian? Hyuckie juga mau ikut," Donghyuck menyentuh kaca etalase, menggerakkan jari-jarinya seolah tengah mengusap kumpulan foto-foto tersebut.

Appa, Donghyuck, Taeyong hyung, dan eomma.

Mungkin itu adalah foto keluarga terakhir bagi Donghyuck. Mata Donghyuck mengabur, mati-matian menahan tangis. Bagi Donghyuck, kepergian mereka terlalu cepat.

Bagai kaset rusak, memori lalu mulai terngiang di benaknya. Bagaimana Donghyuck yang begitu bahagia, merasakan begitu banyak cinta yang diberikan untuknya. Ayah, ibu, juga kakaknya. Kebahagiaan sederhana namun menyentuh telak dasar hati Donghyuck.

Hingga pada saat usianya 12 tahun, Donghyuck harus mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya mati terbakar dalam pesawat saat akan pulang ke Korea.

Lee Donghyuck, harus mengenal kata kehilangan di saat usianya masih belia. Namun, setidaknya masih ada sang kakak sebagai penopang hidupnya.

Lee Taeyong, remaja 17 tahun yang tengah mengalami fase menuju dewasa. Mengubur dalam mimpinya menjadi seorang dokter hebat dan mengambil alih tanggung jawab sang ayah.

Semua orang yang melihat akan langsung tahu betapa besar rasa sayang Taeyong pada Donghyuck. Bahkan lebih dibanding ketika kedua orang tua mereka masih hidup. Taeyong begitu memanjakan Donghyuck, menjaga teramat hati-hati adik kecilnya yang rapuh.

Hingga empat tahun setelah kematian kedua orang tuanya, Taeyong menyusul. Kanker yang mengendap selama kurang lebih dua tahun berhasil merusak seluruh organ dalam Taeyong termasuk menghilangkan nyawanya. Lagi, Donghyuck harus merasakan yang namanya kehilangan. Kali ini, ia benar-benar sendiri.

Air mata yang sejak tadi menggenang mulai membasahi pipi. Donghyuck menangis dalam diam. Mengingat kembali hidupnya yang telah berubah sejak kehilangan semua orang yang disayangnya.

Lee Donghyuck berubah menjadi pribadi yang dingin dan kaku, rasa sungkan tidak ingin merepotkan terlalu jauh. Terlebih pada keluarga Jeno yang sudah mau menampungnya selama ini. Meskipun kedua orang tua Jeno adalah sahabat orang tuanya sejak masa sekolah. Beda rasanya tinggal dengan orang lain dibanding dengan keluarga sendiri. Hingga usianya genap 18 tahun, Donghyuck memutuskan untuk pindah. Bekerja agar bisa menyewa kamar kecil untuk tinggal. Tak perlu merepotkan orang lain lebih lagi, itu pikir Donghyuck.

Bagi Donghyuck, tak akan ada yang bisa menyayanginya melebihi keluarganya-- Lee Jeno sekali pun. Ia menyadari hal itu, bagaimana sikap Jeno akhir-akhir ini yang begitu mengecewakan.

Donghyuck kembali menatap foto keluarganya.

"Hyuckie mau ikut kalian," lirihnya pelan nyaris tak bersuara. Kedua bahunya bergetar. Ingin rasanya ia menangis nyaring, barangkali keluarganya yang sudah di surga sana mendengar kerapuhan Donghyuck.

Namun kembali lagi, Donghyuck hanya bisa menangis tanpa suara. Membiarkan dadanya sesak karena terlalu menahan diri.

Hingga Donghyuck dapat merasakannya. Di mana kehangatan menjalar di tubuhnya. Kedua lengannya digenggam begitu erat di perutnya.

Park Jisung memeluknya dari belakang. Mengecup pelan bahunya yang bergetar.

Pria itu ada di sana, mengamati Donghyuck dalam diam. Berjaga di sudut ruangan memperhatikan setiap gerak-gerik yang Donghyuck lakukan. Menurutnya, Donghyuck butuh waktu sendiri. Bukannya ia tidak peduli, hanya saja ia tak mau menjadi orang yang sok mengerti dengan perasaan Donghyuck. Keluarganya masih lengkap, ia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua.

"Hyuckie mau ikut kalian.." Donghyuck berucap lirih sambil terus memandang foto keluarganya.

Dan Jisung semakin memeluk erat tubuh Donghyuck. Hingga ia kemudian membalikkan badan Donghyuck. Menenggelamkan kepala si manis di dadanya dengan mengelus belakang kepalanya.

"Keluarkan." ucap Jisung pelan.

Donghyuck menggeleng. Berkali-kali terbatuk lantaran tangisannya yang teredam di tenggorokan.

"Keluarkan semuanya Hyuck. Tak perlu ditahan,"

Donghyuck terbuai.

Maka ia menumpahkan semuanya di sana. Rasa sakit yang selama ini ia pendam seorang diri. Ia tumpahkan begitu saja. Biarlah, untuk kali ini saja, Donghyuck ingin seseorang tahu. Sekali pun itu bukan Jeno.

"Aku mau ikut mereka, Ji." Suara Donghyuck teredam di dada Jisung.

Dan Jisung dapat merasakan betapa rapuhnya seorang Lee Donghyuck. Menangis begitu putus asa, dengan suara yang memekakkan telinga. Jisung tak menjawab. Ia mengusap punggung belakang Donghyuck pelan. Mendekapnya seolah memberi kekuatan.

Donghyuck mulai tenang dan Jisung melepaskan pelukannya. Menatap manik boneka Donghyuck yang meredup, terlihat begitu kacau dan frustasi.

Jisung mengusap lembut pipi Donghyuck, menghapus jejak air mata yang tersisa di sekitar matanya. Mengusap keningnya yang ikut berkeringat dan merapikan rambutnya.

"Sudah lebih baik?"

Donghyuck mengangguk. "Maaf," ia menunduk, sedikit tidak enak karena sudah merepotkan Park Jisung.

Jisung hanya terkekeh pelan sebagai jawaban. Ia mengusak rambut Donghyuck membuat sang empu tersenyum kecil.

"Mau pulang sekarang?"

Donghyuck mengangguk dengan gumaman kecil dari bibirnya.

Keduanya berjalan keluar gedung. Beriringan tanpa ucapan basa-basi atau hal lainnya. Hanya berjalan lurus menuju tempat di mana Jisung memarkirkan mobilnya.

Hingga pertigaan jalan sebelah kanan, di mana tempat parkir mobil melewati sebuah taman, Donghyuck berhenti. Matanya fokus menatap satu objek yang menjadi pusat perhatiannya.

Di sana.

Di kursi panjang yang terletak di taman.

Ia melihat dengan jelas dua orang laki-laki tengah duduk di kursi itu dengan jarak dekat.

Teramat dekat karena saling mendekap satu sama lain.

Lee Jeno.

Pria itu di sana.

Memeluk pria entah siapa. Mencium keningnya. Mendekapnya begitu erat, seperti takut kehilangan.

Melupakan sosok lain yang notabene adalah kekasihnya-- Lee Donghyuck.

To be continued
.
.
Mau ngetik>> maag kumat>> udah sembuh>> lanjut ngetik>> mau update>> kuota habis. Cucok, ada aja halangan kalo niat mau update:(

Baby? || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang