Chapter 8

14.1K 1.3K 90
                                    

Jum'at pagi Donghyuck datang ke apartemen Jeno. Sudah lama rasanya tak mampir, mungkin semenjak ia bekerja di tempat Jisung atau...

Entahlah. Rasanya sudah lama saja.

Tok tok tok…

Terdengar suara gaduhan kaki dengan gumaman tak karuan dari dalam. Pintu terbuka kecil, cukup hanya sekedar menyembulkan kepala dari dalam.

"Donghyuck?" tanya Jeno-- terkejut sudah pasti karena biasanya Donghyuck tak mampir kalau bukan karena hal penting.

"Apa aku mengganggu?"

Jeno menggeleng pelan kemudian membuka pintu lebih lebar, memperlihatkan dirinya yang kini tak mengenakan atasan hanya celana pendek yang menutupi bagian privasi juga setengah pahanya.

Donghyuck memalingkan wajah, pipinya memanas melihat Jeno terlihat sangat jantan. Lihat saja otot lengan dan perutnya yang terbentuk-- tampak begitu jantan.

"Aku bawakan sarapan," ujar Donghyuck sambil berjalan menuju pantry dan meletakkan kantong yang dibawanya sejak tadi ke atas meja.

"Kalau begitu aku akan mandi dulu," ucap Jeno diangguki oleh Donghyuck.

Jeno naik ke atas, sementara Donghyuck menata makanan yang dibawa ke atas piring juga menyiapkan minuman untuk keduanya.

Tak butuh waktu lama untuk melakukan itu semua. Maka setelah semua sudah tertata di atas meja, Donghyuck memilih duduk di salah satu bangku sambil menunggu Jeno selesai mandi.

Tak lama Jeno turun dengan pakaian santainya. Kaos hitam ketat dengan training pendek berwarna abu-abu. Jeno ikut duduk di ruang makan dengan posisi berseberangan dengan Donghyuck.

"Kau tak bekerja?" tanya Jeno basa-basi. Donghyuck menggeleng sebagai jawaban.

"Ini tanggal merah kalau kau lupa. Kantor libur,"

Jeno hanya ber-oh ria sebagai jawaban, sepertinya dia baru ingat hal itu.

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Donghyuck membantu Jeno meletakkan makanan di atas piringnya. Bukankah hal kecil seperti itu mengingatkanmu akan seorang istri yang tengah menyiapkan makanan untuk suaminya? Sudut hati Donghyuck berharap.

Keduanya kini tengah makan dalam tenang, hanya dentingan sendok dengan piring yang terdengar. Tak ada obrolan ringan, masing-masing fokus dengan makannya. Ya, itu masih diukur tata krama di atas meja makan, jadi Donghyuck tak masalah.

"Hyung, apa besok kau sibuk?" tanya Donghyuck di selang kegiatannya yang tengah mencuci piring.

"Kurasa tidak, kenapa?"

Donghyuck tak langsung menjawab dan hal itu membuat Jeno mendekat ke arahnya.

"Kenapa, hm?" tanya Jeno saat ia tepat di samping Donghyuck.

Donghyuck menghentikan kegiatannya, menatap Jeno kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Hanya ingin memintamu untuk ke Jeju bersama. Aku ingin mengunjungi orang tuaku," ujar Donghyuck pelan. Jeno mengernyit kemudian membulatkan matanya.

"Maaf, aku baru ingat tentang itu."

Donghyuck menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian menundukkan kepalanya ragu. "Jadi bagaimana?" tanya Donghyuck lagi.

"Bagaimana apanya? Kita akan ke sana. Besok pagi aku akan menjemputmu, setuju?"

Donghyuck yang semula menunduk kemudian mendongak menatap Jeno berbinar.

"Apa tak merepotkanmu?"

"Hey, aku ini kekasihmu. Lagipula kita selalu ke sana bersama selama ini bukan?" tanya Jeno sambil mengusak kepala Donghyuck sayang.

Ah, benar.

Mereka 'kan sepasang kekasih.

"Hyuck," panggil Jeno pelan.

Donghyuck berdehem sebagai jawaban masih dengan tangan Jeno di atas kepalanya. Tangan Jeno berpindah pada pipi Donghyuck ditambah satu tangannya yang lain. Mengusap pelan pipinya dari bawah mata sampai dekat sudut bibir.

"Sebenarnya apa yang kau cuci? Piring atau wajahmu?" tanya Jeno dengan ekspresi serius.

Donghyuck menjaga jarak membuat tangan Jeno tak lagi menyentuh wajahnya. Bermaksud membersihkan wajahnya sendiri, namun yang terjadi adalah wajah Donghyuck semakin bersabun lantaran lupa mencuci tangan sebelumnya.

Jeno tertawa keras melihat raut kesal Donghyuck. Donghyuck sendiri hanya bisa cemberut sambil menggosok matanya lantaran perih akibat sabun. Namun, yang terjadi matanya malah semakin perih.

Jeno dengan sigap memutar keran air yang ada di westafel. Membasahi tangannya kemudian membersihkan wajah Donghyuck dari sabun.

"Apa masih perih?" tanya Jeno.

"Masih,"

Jeno menahan tangan Donghyuck yang terus menggosok matanya, dengan perlahan mendekatkan wajahnya dan meniup mata Donghyuck.

Perlahan Donghyuck membuka matanya seperti semula. Rasa perihnya sudah berkurang hanya berair saja. Jantungnya mendadak terpacu begitu kuat saat menyadari posisinya dengan Jeno yang sangat dekat. Tak ada yang berani mengubah posisi di antara keduanya, mereka masih diam menatap satu sama lain.

"Hyuck..." panggil Jeno pelan. Donghyuck menahan napasnya, jantungnya sudah tidak baik-baik saja.

"Kau cantik. Kenapa aku baru sadar?"

Donghyuck tak menjawab. Bola matanya bergulir ke mana saja asal jangan pada mata sipit di depannya. Jeno mengusap wajah Donghyuck pelan.

"Wajahmu juga lembut sekali. Apa kau yakin kau ini laki-laki?"

"Jeno--" Donghyuck hendak protes namun diurungkan ketika jemari Jeno menyentuh bibirnya.

"Lihat, bibirmu juga kenyal sekali. Apa kau memakai pelembab bibir? Kenapa begitu merona?"

Tangan Donghyuck membuat gestur akan meninju di setiap sisi. Ia ingin mundur-- khawatir Jeno mendengar detak jantungnya, namun tangan Jeno seolah menahan Donghyuck melakukan itu.

"Boleh aku menciummu?"

Satu kalimat tanya itu berhasil membuat Donghyuck terperangah tak percaya. Apa benar ini Jeno?

Belum sempat Donghyuck menjawab, bibir Jeno sudah lebih dulu menyumpal bibirnya. Tak ada lumatan yang berarti, semua dilakukan dengan lembut juga hati-hati.

Jeno memutuskan pagutan lebih dulu.

"Rasanya manis. Boleh aku menciumnya lagi?"

Donghyuck mengangguk pelan kemudian menutup matanya sejalan dengan semakin mendekatnya wajah Jeno.

Donghyuck menikmati bagaimana cara Jeno memanjakan bibirnya. Melumatnya dengan tempo yang sedang, membuat keduanya bisa merasakan tekstur bibir masing-masing. Donghyuck mengalungkan tangannya di leher Jeno, sebaliknya Jeno memeluk pinggang Donghyuck.

Aliran air dari westafel seolah menjadi latar dari kegiatan keduanya. Hingga Donghyuck menepuk pelan dada Jeno karena hampir kehabisan napas, Jeno baru melepaskan bibirnya. Menyudahi ciuman manis dengan Donghyuck. Ini ciuman pertama Donghyuck bersama Jeno dan ia akan mengingatnya.

Baik Jeno maupun Donghyuck tak ada yang berniat mengubah posisi, keduanya masih terlalu nyaman dengan posisi intim seperti itu. Hingga perkataan Jisung tempo lalu terputar di otaknya. Donghyuck menatap Jeno yang juga tengah menatapnya.

"Jeno--"

Si empu nama berdehem sebagai jawaban.























"--ayo bercinta!"

To be continued
.
.
Apakah kalian mau nohyuck mantap-mantap?🌚

Baby? || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang