Rebel Girl

5.1K 547 101
                                    

Sungguh, aku sama sekali nggak mempermasalahkan soal pernikahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sungguh, aku sama sekali nggak mempermasalahkan soal pernikahan. Aku sadar benar kalau pernikahan bukanlah hal yang bisa diajak janjian. Orang menikah saat jodohnya memang sudah datang. Sesiap apa pun dia menikah, kalau memang belum datang jodohnya ya nggak akan menikah. Begitu pun kalau orang sama sekali nggak siap, kalau jodohnya sudah datang ya mau bagaimana?

Kalau dua tahun lalu ditanya soal kesiapan menikah, mungkin aku bakal menangis berhari-hari. Aku bakal baper sampai nggak mau makan. Marly yang saat itu masih belum berhenti menangisi Ridwan. Ditinggal menikah begitu saja sama cowok yang dipikirnya bisa menjadi pelabuhan terakhir sama sekali nggak enak. Padahal, Ridwan sudah membuatku melawan Ibu. Demi Ridwan aku rela berbohong dan backstreet pacaran dari Ibu. Ternyata, aku berjuang sendiri. Dia memilih memperjuangkan cewek lain yang keburu dihamili.

That's a bad luck.

Itu cukup menjadi alasan aku nggak berani tergesa menikah, sulit mencari cowok yang baik luar-dalam. Kelihatannya baik saja nggak cukup untuk dijadikan imam. Ini mengingatkanku pada dialog yang terjadi di kantor. Bu Aida dan Bu Tita protes kenapa aku masih menjomlo waktu jam istirahat. Aku jadi menceritakan tentang Ridwan pada teman satu petak kubikelku. Tanggapan mereka?

"Yah wajar, sih. Imam kan makmumnya bukan cuma satu. Nggak salah kalau dia cari makmum lain," kata Pita sambil mengangguk-angguk dengan bibir maju seperti Donald Duck.

"Terus, kalau ketemu cowok, aku harus niatkan apa? Nyari majikan? Nyari teman tidur?"

"Cari bapak untuk anak-anakmu," kata Ijah pelan di kupingku, seperti orang pacaran yang saling merayu gitu. But wait, aku nggak pernah bisik-bisik manja sama Ridwan. Aku cuma pernah melihat di film dan saat berada di dekat keluarga Glacie. Di sana semua pasangan suami-istrinya bucin.

"Jadi," kata Pita sambil menjejalkan astor ke mulutnya. "Kalau entar lu nyari cowok, bilang sama dia, mau nggak jadi bapak dari anak-anak lu. Jangan nyuruh dia jadi imam yang boleh mencari banyak makmum."

"Imam private?" tanya Ijah.

"Kinda like that," jawab Pita dengan mulut penuh.

Ijah menjentikkan jari. "Gue bukan antipoligami, sih. Cuma, gue setuju sama Pita. Gue belum siap kalau laki gue buka cabang."

Pita melotot seperti orang tersedak toples astor. Aku sampai memastikan toples astor itu masih ada di mejanya. "Laki lu punya rencana buka cabang?"

"Kagak. Gue kan cuma jelasin aja. Laki gue bilang belum punya rencana nambah orang yang ngomelin dia. Setiap habis mandi selalu gue omelin gara-gara nggak mau naruh handuk di jemuran. Bayangin kalau dia punya dua rumah yang bininya suka ngomelin hal yang sama. Bisa mati muda dia."

Pita tertawa sampai astor di mulutnya muncrat. Aku sebenarnya pengin ikut tertawa. Tapi, mengingat kami sedang membicarakan Ridwan dan mati muda, aku merasa dipukul depan-belakang sama Songoku dan Bezita sekaligus.

The In-Between (Completed In STORIAL.CO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang