"Ke gue aja," lanjut Galang lirih. Lirih sekali, bahkan Radea yang berada di depannya mendengar itu sangat pelan.

Galang menipiskan bibir. Dia menepuk-nepuk lembut puncak kepala Radea. "Ya udah, sana. Kita udah diliatin anak-anak."

"Iy-iya, Kak."

Setelah itu, Radea buru-buru pergi dari sana, dia bahkan sedikit berlari. Tidak peduli dengan jantungnya yang masih berdetak tidak tertatur, yang penting dia harus sampai terlebih dulu di perpustakaan.

Ketika sampai di tempat yang dituju, gadis itu langsung duduk di bangku yang berada paling sudut belakang. Mata Radea memindai sekeliling, memastikan benar-benar tidak ada orang.

"Hah," desah Radea saat yakin hanya dirinya di sana. Dia membuang napas dalam agar jantungnya kembali normal. Tangan gadis memegang dada, bingung sendiri dengan reaksi tubuhnya yang berlebihan.

Lalu, kedua tangan Radea berpindah ke pipinya. Hangat bekas tangan Galang rasanya masih menempel di sana.

Tidak, tidak!

Apa, sih, yang dia pikirkan sekarang?

Radea buru-buru mengusir pikiran anehnya dengan mulai membuka novel.

****

"Ha? Gimana, Kak?"

Radea yang memang setiap pulang sekolah belajar terlebih dulu di perpustakaan terkejut ketika tiba-tiba Galang datang, lalu mengambil duduk di kursi sampingnya. Sepertinya cowok itu habis berlari karena dia ngos-ngosan.

Galang yang baru datang langsung menyerahkan ponselnya pada Radea, lalu memberitahukan keinginannya untuk meminta nomor WA gadis itu.

"Nomor WA, Ra, nomor WA," ulang Galang karena lagi-lagi Radea bengong.

Belum mendapat respons dari gadis itu, Galang kembali berucap, "Lo kaget karena gue tau lo ada di sini?" Tanpa menunggu jawaban Radea, Galang berbicara lagi. "Gue liat lo sering pulang telat, jadi gue pikir lo nggak langsung pulang. Jadi gue ke kelas lo, tapi lo nggak ada. Terus gue ke sini, ternyata bener."

Galang memajukan ponselnya di meja semakin ke dekat Radea. "Ketik, Ra."

"Aku nggak pakai WA, Kak."

"Serius? Jadi pakai apa? Line?"

Radea menggeleng. "Nggak pakai aplikasi chat apa-apa."

"Selalu SMS-an?"

Walaupun ada keraguan, tetapi Radea mengangguk. "Iya. Tapi jarang SMS-an juga."

"Ya udah, nggak papa. Ketik nomor hp lo."

Radea mengambil ponsel Galang, lalu mengetikkan nomornya di sana.

"Sudah, Kak," katanya sembari mengembalikan ponsel Galang.

"Thanks, ya, Ra." Dia memasukkan ponselnya ke saku celana. "Nggak pulang?"

"Nanti, Kak."

Melihat Galang malah duduk di sampingnya dan tidak pergi, Radea menatap cowok itu. "Kakak nggak pulang?"

"Nanti aja bareng lo."

"Eng-nggak, Kak. Kakak duluan aja." Inilah ribetnya berteman, Radea tidak suka bagian ini. 

Untuk manusia seperti Radea yang notabenenya lebih suka sendirian dan punya banyak rahasia, tentu saja sikap Galang sekarang mengganggu. Sama seperti sikap Danil beberapa waktu lalu, sebelum akhirnya tahu di mana Radea tinggal.

"Kenapa emangnya kalau gue mau nungguin lo?"

Radea tidak bisa menjawab, kalau dia jawab lebih suka sendirian, takut dikira mengusir. Dia tidak mau terkesan tidak sopan.

"Ra," panggil Galang lirih, "boleh nggak kita berteman?"

"Berteman, Kak?" ulang Radea terkejut.

"Hm." Galang mengangguk. Senyum cowok itu mengembang. "Nggak pa-pa 'kan, Ra?"

"Bukannya sekarang udah teman, ya, Kak?" Radea dibuat takut dengan permintaan Galang itu. Pertemanan yang bagaimana maksudnya?

"Gini, Ra. Maksud gue, kalau lo ada apa-apa, jangan sungkan minta tolong ke gue. Kita juga bisa makan bareng di kantin, gue bisa nemenin lo kalau emang lo takut ke kantin karena banyak orang. Kalau bareng gue, gue jamin nggak akan ada yang berani ganggu lo."

"Iy-iya, Kak."

"Kalau lo butuh temen, lo juga bisa minta temenin gue. Apa pun, jangan sungkan ngomong ke gue."

Melihat tidak ada respons dari gadis di hadapannya, Galang kembali berucap, "Jadi sekarang kita teman?"

"Teman," tutur Radea pelan.

Senyum Galang merekah, dan hal itu berhasil memancing senyum Radea.

"Jadi gue nggak apa-apa nemenin lo di sini?"

"Nggak apa-apa, Kak."

Pandangan Galang jatuh pada buku di hadapan Radea. "Ada yang sulit nggak soalnya?"

"Belum, sih, Kak."

Lupakan tentang belajar, karena setelah itu keduanya sudah berbicara banyak hal. Bukan lagi tentang soal di hadapan Radea, tetapi cerita Galang.

"Dan lo tau Bu Dini? Si Cecep, temen gue, dia pernah ngelemparin tepung ke Bu Dini." Galang sampai geleng-geleng. "Parah, nggak lucu banget, Ra. Iya, sih, Bu Dini ulang tahun, tapi 'kan nggak pas pelajaran juga, di kelas pula."

"Haha terus gimana, Kak, Bu Dini-nya?"

"Bu Dini, ya, marah dong, Ra. Ngamuk! Beliau langsung pulang. Nggak mungkin tetap di sekolah pakai baju penuh tepung, 'kan?"

"Bukannya Bu Dini galak, ya, Kak? Kok berani banget?"

"Namanya juga temen-temen gue otaknya nggak tau ditaruh mana. Tapi mereka juga ngasih kue, sih. Walaupun akhirnya kuenya yang makan anak-anak di kelas."

"Nggak dihukum sama Bu Dini, Kak, akhirnya?"

"Nah, itu, Ra. Kita satu kelas takut banget ikut kena imbas dari tingkahnya Cecep, ya walaupun sebenarnya kita satu kelas yang rencanain itu. Tapi ternyata besoknya Bu Dini nggak marah. Beliau malah minta maaf karena marah-marah."

"Plot twist banget, Kak. Haha."

Galang ikut tertawa. "Iya. Kayaknya Bu Dini merasa keterlaluan udah marah, padahal niat Cecep 'kan pengen kasih kejutan."

"Aneh-aneh banget, sih, teman-teman Kak Galang tingkahnya," ujar Radea di sisa-sisa tawanya.

"Ya ... namanya juga pala batu, Ra. Pas pembagian otak masih pada tidur."

Radea menarik napas dalam untuk meredakan tawanya. Dia menatap Galang yang sudah berhenti bercerita.

"Udah jam setengah lima, lo masih mau di sini?"

Radea melihat jam tangannya, benar saja. Waktu menjadi berjalan cepat karena keseruan yang Galang buat.

"Ini mau pulang, Kak," ujar Radea sembari menyimpan bukunya ke dalam tas.

"Ya udah, sekalian gue antar." Galang berdiri dari duduknya, lalu mengambil tasnya di meja. Melihat Radea yang bengong menatapnya, cowok itu bertanya, "Kenapa, Ra?"

"Aku ... pulang sendiri aja, deh, Kak. Rumah aku nggak jauh kok."

"Justru itu, karena nggak jauh sekalian bareng gue." Tanpa meminta izin, Galang menarik tangan Radea. Dia menggandeng tangan gadis itu, membawanya sampai parkiran.

Radea menggigit bibir bawahnya. Dia bingung bagaimana menolak ajakan cowok itu. Saat sudah sampai di dekat motor sport milik Galang, cowok itu memberikan helm padanya.

Tidak kunjung diterima, Galang memasangkan langsung helm itu pada Radea, lalu dia memakai  helm miliknya. Galang tersenyum samar saat naik ke motornya, satu langkah dia sudah berhasil maju.

"Ayo, Ra," ajaknya saat melihat Radea masih terpaku di tempatnya.

"I-iya, Kak." Akhirnya, Radea naik ke motor Galang. Pertama kalinya selama sekolah dia diantar pulang.

******

Bersambung ....

Haiiii
Jangan lupa vote dan komentarnya, ya.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Where stories live. Discover now