15. Kalau Kita Selamat

915 212 25
                                    

Hutan pinus itu lebih luas dari perkiraan Jaehyun.

Rose telah memberi kesan bahwa tujuan mereka dekat sehingga saat ia harus menempuh perjalanan jauh, Jaehyun jadi ribut dengan keluhannya. Akar-akar pohon menjadi halang rintang, bebatuan mempersulitnya. 2 kali, dia terpeleset dan bangun sendiri karena Rose hanya memperhatikan.

Sambil tertawa.

Rose mengejeknya, bertanya apa dia tidak pernah berolahraga yang Jaehyun jawab tentu saja, pernah, tapi tidak di medan yang berat seperti ini. Yang sejatinya adalah, sekedar lari-lari kecil berkeliling apartemen dan lantai gym yang tidak ada apa-apanya dibanding tanah hutan yang menantang.

Lagi-lagi Jaehyun bertanya-tanya, kenapa dia harus terlibat dalam urusan merepotkan ini?

"Apa masih jauh?"

Rose yang berperan menjadi pemimpin menoleh sekilas. "Hampir sampai."

"Kau sudah mengatakan itu 3 kali."

"Itu karena kau menanyakan pertanyaan yang sama," balas Rose tidak mau kalah.

Gadis itu dengan lincah melompati tanah becek yang berpotensi mengotori celananya, memperluas jaraknya dengan Jaehyun. "Tapi kali ini," imbuhnya. "Aku sungguh-sungguh."

"Benarkah?"

Jaehyun mempercepat langkah, berusaha menjajari si gadis rambut perak. Lehernya terjulur, mencari-cari tanda ladang Higanbana yang sebatas ia lihat di TV.

Semula, dia tidak mendapati apa-apa. Hanya barisan pohon pinus yang bagai penjaga hutan berbadan besar dan tinggi, dengan daun-daun lebat yang menyaring sinar bulan yang mengakibatkan mereka lebih sering berjalan di kegelapan. Lalu, lama-lama pandangannya jadi semakin jelas dan tidak jauh dari situ, Jaehyun melihat sesuatu yang bergerak tertiup angin, dengan warna kemerahan yang mencolok, seperti tetesan darah di atas permukaan kain cokelat.

"Itu tempatnya," bisik Rose, merendahkan suara.

Selangkah di belakangnya, Jaehyun berkomentar singkat, "Sepi."

Pengamatan itu tidak mencegah Rose mencabut 1 pisaunya. "Kita tidak akan tahu."

"Kau pikir ada orang di sana? Seseorang yang iseng nongkrong di ladang bunga?"

Tubuh Rose berbalik dan secara otomatis, dia terjepit antara Jaehyun dan pohon yang sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi keduanya. "Harus siap dalam keadaan apapun."

Jaehyun mengacak rambutnya dan menurunkan pisau yang sudah diangkat Rose. "Kau mengutip Johnny, ya? Tetap di sini, Rose, biar aku yang ke sana."

"Apa? Sekarang kau mau mengungkit topik membosankan bahwa wanita itu lemah dan sebaiknya aku bersembunyi saja?" Kata-kata Rose disusul tawa sumbang, dan tatapan sengit yang menantang Jaehyun untuk membenarkannya一kalau ia berani.

"Aku? Tidak, astaga tentu saja tidak!" Dari mulut Jaehyun, terhembus napas keras yang mengisyaratkan kekesalannya. "Mana mungkin aku berpikir begitu setelah melihat kau membantai orang-orang dengan sadis? Rose, jangan salah paham." Ditatapnya mata gadis itu lekat-lekat. "Aku hanya ingin kau aman. Lagipula, aku yakin kau bisa berlari cepat kalau terjadi sesuatu."

Dagu Rose terangkat angkuh. "Kalau terjadi sesuatu, kau pikir aku akan bertindak seperti pengecut?"

"Kupikir kau akan mengambil keputusan yang benar." Jaehyun meralatnya. "Tidak selamanya lari itu menandakan seseorang pengecut, kadang kau lari karena itu adalah tindakan yang tepat." Kemudian dia terdiam, terkejut oleh ucapannya. "Wow, yang tadi itu kutipan yang bagus, ya?"

Sayang, si lawan bicara tidak terkesan sedikitpun. "Kita akan ke sana berdua. Aku tidak menerima perintahmu."

"Ah ah ah." Jaehyun semakin frustrasi saja. "Biasanya aku senang berduaan dengan gadis cantik dan kau, ya ampun, kau cantik sekali, karena itulah kau harus tetap hidup, oke? Begini saja." Karena taktik membujuk tidak berhasil, dia beralih ke negosiasi. "Aku akan ke sana lebih dulu, dan kalau aku pingsan lagi seperti orang payah, kau bisa menolongku, bagaimana? Bukankah itu strategi yang masuk akal?"

Morality : A Prince's Tale ✔️Where stories live. Discover now