30. Moments of Re-Starter

1.8K 158 3
                                    


Kantor pusat Penida Nusa Bahari (PNB) terletak di pusat bisnis Jakarta, gedung biru dengan jumlah lantai 48 ini memang bukan yang tertinggi, tapi pasti salah satu yang terunik. Aku menatap ujung gedung yang berbentuk siluet gambar perahu, menandakan lini bisnis utama perusahaan.

Baru saja aku menyerahkan ktp ke petugas di lobi, ponselku berbunyi.

"Gimana Riss? Keren ya kantornya?" teriak Vira dari ujung sambungan.

"Gue kayak dejavu deh," jawabku pendek sembari mengaitkan kartu akses yang baru saja diberikan petugas lobi ke ujung kemeja.

"Dejavu?"

"Iya, pertama kali gue kerja tahun lalu, ada yang telepon gue kayak gini juga. Persis saat gue masuk lobi."

Vira tertawa di ujung sambungan telepon, aku sampai harus menjauhkan gagang telepon dari telinga karena kerasnya suara tawa Vira.

"Happy banget sih lo?" tanyaku selepas memijit tombol lift.

"Gue lupa ini bukan pengalaman pertama lo masuk kantor," balas Vira di ujung sambungan masih berusaha menahan tawa. "Ya sudah, good luck today ya. Jangan lupa nanti malam kita di kafe biasa."

"Eh, tapi gue harus mampir kantor lama dulu ya, ambil surat keterangan kerja," selaku sebelum Vira memutuskan sambungan.

Setelah mengatur ulang waktu bertemu, akhirnya aku mematikan ponsel dan memasuki lift. Hari pertama seperti saat ini, tidak enak rasanya untuk anak baru sepertiku bermain ponsel.

"Dyandra Marissa?" Resepsionis di lobi kantor PNB memastikan nama yang kusebutkan. Setelah aku membenarkan pengucapannya, perempuan yang kutaksir berusia awal 20 tahun itu mulai melihat kertas yang dipegangnya. "Oh iya, hari pertama ya? Nanti silakan langsung ke ruang Merbabu di sebelah sana ya. Terus saja, ruangan paling pojok kanan." Resepsionis itu menunjukkan arah ke sebelah kanannya.

"Saya bertemu dengan siapa nanti?" tanyaku memastikan langkah yang harus kulakukan berikutnya.

"Tunggu saja langsung di sana ya," jawab sang resepsionis kemudian meminta tanda pengenal yang kuterima di lobi gedung, dan menukarnya dengan tanda pengenal milik PNB.

Aku mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan sang resepsionis.

Tidak susah menemukan ruang Merbabu. Ruangan tersebut ternyata yang paling besar ada di lantai ini, aku taksir kapasitas ruangannya bisa menampung sampai 50 orang. Sepertinya sering dipakai sebagai ruang training pada hari lain. Saat aku memasuki ruangan, sudah ada sekitar 20 orang berada di dalam ruangan, semuanya mengenakan pakaian putih-hitam seperti aku. Pakaian ini yang memang diminta untuk dikenakan pada hari pertama bergabung oleh HR.

Setelah memindai ruangan secara cepat, aku memutuskan mengambil tempat duduk di pinggir kanan, tepat di tengah-tengah. Sedikit menjauh dari kerumunan peserta lain yang tampaknya sedang saling berkenalan.

"Maaf, namanya siapa?" tanya seorang pria dengan penampilan sangat rapi, lengkap dengan dasi dan blazer, ketika aku baru saja duduk.

"Eh, Dyandra Marissa," jawabku sedikit kaget.

"Dyandra, sebentar, D," ujar pria itu kemudian beralih mengecek kertas di tangannya. Aku mengerutkan kening, ada apa dengan semua karyawan PNB dan selembar kertas? Sepertinya mereka suka sekali membuat daftar.

"Ah ketemu, Dyandra Marissa. Kamu duduk di nomor 35 di sebelah sana ya," tunjuk pria itu ke arah area yang berseberangan dengan tempatku duduk saat ini.

"Oh harus di sana ya? Saya tidak bisa duduk di sini saja?" tanyaku sedikit bingung, dan mungkin juga sedikit malas kalau harus berpindah posisi.

Pria itu tersenyum, "Tempat duduk sudah diatur sesuai nomor pegawai karyawan baru, untuk memudahkan presensi juga nantinya. Induction untuk karyawan baru cukup padat agendanya, sehingga kehadiran setiap orang harus dipantau."

Setelah menjelaskan sedikit tambahan terkait agenda induction yang berjalan sampai dua minggu ke depan, pria itu menemaniku sampai ke tempat duduk nomor 35. Mungkin beda sedikit antara menemani atau menggiring, sepertinya dia benar-benar memastikan aku duduk di posisi yang sudah ditentukan.

Setelah itu, acara dimulai pukul delapan tepat, dan terus berlanjut hingga pukul lima sore tanpa ada jeda sama sekali, kecuali makan siang dan salat. Itupun sudah diatur dan diawasi secara ketat. Benar-benar tidak ada ruang untuk bersantai sejenak. Sudah benar keputusanku mematikan ponsel tadi pagi, karena sungguh tidak sempat untuk mengecek ponsel selama induction berlangsung.

"Gila Vir, kayaknya gue baru bisa bernapas lega sekarang," tumpahku pada Vira segera setelah sahabatku itu mengangkat telepon. Aku baru saja turun dari ojol dan berjalan ke arah gedung kantor lamaku.

"Baru selesai jam segini?" tanya Vira yang tampak sedikit terkejut.

"Jam lima tadi selesai, tapi gue masih harus diskusi kelompok dulu buat memastikan pembagian tugas besok. Terus cepat-cepat order ojol ke sini." Aku melirik jam tanganku, melihat angka tujuh tepat ditunjukkan oleh jarum pendek.

"Gila, padat banget induction lo, besok jam delapan sudah di kantor lagi kan?" tanya Vira memastikan.

"Itu deh, makanya gue telepon lo buat cancel ketemu hari ini. Maaf ya, tapi gue harus ambil surat keterangan kerja buat dikasih ke PNB. HR minta besok sudah harus lengkap untuk semua yang belum mengumpulkan."

"Memang masih ada orang di kantor?" tanya Vira merujuk pada kantor lamaku.

Aku tertawa, "Lo lupa apa? Start-up bok, enggak ada jam kerja pasti. Gua juga sudah janjian sama Linda sih, kebetulan dia lembur hari ini."

"Kenapa enggak lo go-send aja coba? Repot banget ke sana segala."

"Duh, panjang jelasinnya. Surat gue saja baru ditandatangan malam ini kata Linda."

"Oh, gue pikir kangen mau lihat Leon," goda Vira.

"Bahas dia sekali lagi, persahabatan kita putus ya," ancamku setengah sebal. Vira benar-benar membuat aku teringat akan Leon. Seharian ini, saking padatnya kegiatan, aku sampai lupa dengan kemungkinan bertemu Leon.

Setelah puas menertawakanku, sambungan telepon pun terputus dengan janji untuk bertemu akhir pekan saja. Mengingat Vira ternyata harus keluar kota beberapa hari mulai besok.

Saat berada di dalam lift, pikiranku tak lepas dari Leon. Semua kemungkinan bertemu dengan Leon menghantui pikiran. Sampai kapanpun, sepertinya aku tidak akan pernah siap bertemu lagi dengan pria itu. Sebelumnya aku pikir acara farewell kemarin adalah kesempatan terakhirku bertemu dengan Leon, selepas itu sudah tidak mungkin bagi kami untuk bertemu. Kalau bukan karena Mbak Martha yang baru sempat tanda tangan surat keterangan kerja malam ini, tentu aku sudah minta tolong Linda mengirimkan dokumennya saja.

Tanpa sadar aku membuka kunci ponsel dan satu notifikasi langsung muncul di layar. Notifikasi dari google photos itu membawaku pada beberapa deret foto dari satu tahun yang lalu. Foto-foto yang aku ingat betul kapan diambilnya, akhir hari pertamaku di Coridel Live yang ditutup dengan pose selfie bareng Leon.

Otomatis aku membandingkan kejadian hari itu dengan saat ini. Aneh sekali memang kalau dipikir-pikir. Tahun lalu aku sebal sekali dengan kelakuan Leon yang aneh itu, dan entah kenapa sekarang kalau boleh memilih, aku lebih ingin mengikuti model orientasi seperti saat itu. Tanpa jadwal ketat, hanya sambutan hangat seorang teman.

Ah, sambutan hangat.

Aku memang harus lebih berhati-hati dengan ucapanku, walaupun itu hanya dalam hati, karena sepertinya semesta mendengar dan ingin aku mengulangi perasaan yang sama.

Selepas pintu lift terbuka tepat di lantai 21, sesosok wajah yang tidak asing menyambutku.

"Ris," lirih suara yang tidak akan mungkin bisa kulupakan itu, dengan raut muka sama terkejutnya denganku.

Kenapa juga Leon masih ada di kantor jam segini?

*** 

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang