01. Moments of New Beginning

11.9K 552 21
                                    

Aku merapikan kebaya merah hati yang sudah melekat di tubuh, kemudian mulai mencatut diri di depan cermin. Rona merah kebaya sudah tampak serasi dengan riasan wajahku, sepertinya tidak sia-sia hasil kerja make-up artist sepanjang pagi ini. Aku mengalihkan perhatian ke arah rambut, sembari berputar pelan di depan cermin untuk melihat hasil karya penata rambut dari salon yang kupanggil ke rumah. Sebenarnya model rambut hanya sanggul umum seperti layaknya mahasiswi lain, namun sang penata rambut mampu membuatnya terlihat berbeda. Sang penata rambut sepertinya memadukan lilitan french twist dengan kepang tradisional. Beberapa helai rambut bahkan diubah menjadi keriting, dan sengaja dibiarkan menjuntai di sisi kanan wajah.

"Enggak sia-sia ya ternyata punya rambut panjang," tegur suara dari arah sampingku.

Aku menoleh dan otomatis mencibir saat mengetahui siapa yang berkomentar. Suasana ruangan yang cukup riuh membuatku tidak dapat mengenali suara Vira, sahabatku, dengan cepat. Padahal suara Vira sangat mudah dikenal, cempreng banget. Bangunan gedung ini sepertinya tidak dilengkapi dengan alat pendeteksi pencemaran suara, karena kalau ada pasti sudah berbunyi nyaring saat ini. Campuran antara ratusan mahasiswa ditambah keluarganya sepertinya cukup membuat konser band rock besar iri.

"Bukan ejekan kali," lanjut Vira setelah berhasil menyelipkan diri tepat di sebelahku. Vira menggeser-geser tubuhku untuk mendapatkan ruang di dalam cermin juga. "Lihat nih rambut gue, susah banget tadi mau disanggul modern saja. Akhirnya digulung sedapatnya saja ini," ujar Vira sambil menunjukkan tatanan rambutnya ke arahku. Berbeda denganku yang memang selalu memiliki rambut panjang melewati bahu, Vira tidak suka berambut panjang. Sepanjang aku mengenalnya saat kuliah kemarin, Vira selalu memotong rambutnya selepas menyentuh bahu.

"Lagipula enggak penting banget segala tatanan rambut kece seperti ini, nanti juga berantakan tertutup toga," ujarku menunjuk poni rambut Vira yang terlihat tertata rapi hari ini.

"Aduh jadi ingat, perlengkapan wisuda kita masih di mobil gue. Kalau lihat rundown, setengah jam lagi sudah harus masuk convention hall. Ambil sekarang saja, yuk. Repot banget kalau minta tolong abang gue, keluarga gue sudah di dalam semua. Sinyalnya parah banget di sini."

"Lagian bisa banget sih lo lupa, memang waktu turun mobil enggak ngecek dulu," sindirku saat kami berjalan ke arah parkiran gedung. Aku memang menitipkan perlengkapan wisudaku ke Vira, selepas minggu lalu mengambilnya dari sekretariat fakultas. Alasannya simpel, karena Vira bawa mobil.

"Lo tahu kan keluarga gue, rempong habis semua. Baru keluar di area parkiran saja sudah mengeluh panas banget, semuanya sudah ribut mau cari tempat duduk di dalam. Mana ramai banget kan, emak gue sudah mengomel saja," gerutu Vira sambil merogoh tas kecil yang dibawanya, sepertinya mencari kunci mobil.

Aku tergelak, tahu persis seperti apa keluarga Vira. Alvira Regina Setiadi terlahir di keluarga pengusaha yang cukup berada dimana kenyamanan adalah nomor satu untuk mereka. Untung saja Vira tidak 100% seperti keluarganya, walau jujur saja, beberapa tahun ke depan Vira akan menyerupai sang ibu. Bibitnya sudah terlihat dari sekarang. Seperti sekarang, saat kami memasuki area convention hall tempat wisuda akan dilakukan, Vira tampak bertanya detail pada salah satu panitia acara. Mulai dari urutan yang akan naik panggung, posisi mahasiswa, pembagian barisan departemen, sampai siapa saja nama-nama mereka yang ada di atas panggung. Entah apa maksud pertanyaan terakhir. Sudah pasti para pejabat universitas bukan yang ada di atas panggung?

"Bokap gue minta gue cari tahu selain pejabat universitas, ada siapa lagi di atas panggung," bisik Vira ketika kami akhirnya menemukan barisan fakultas. Untung saja nomor mahasiswa kami berdekatan, sehingga tidak masalah melanjutkan pembicaraan di tengah-tengah puluhan mahasiswa di barisan kami.

"Kenapa gitu?" bisikku balik sambil mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan convention hall untuk mencari setitik petunjuk keberadaan keluargaku. Kami terpisah tepat saat aku memutuskan ke kamar mandi untuk merapikan pakaian sambil menunggu Vira, sekitar setengah jam yang lalu.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang