Naomi Anjani

38 9 23
                                    


"Trauma tak 'kan pernah hilang selagi kau tak menembus dinding trauma itu sendiri."

Menikah adalah cita-cita semua kaum hawa. Membangun rumah tangga, menghabiskan sisa hidup bersama orang tercinta. Bahkan ada sebuah kutipan yang pernah kudengar tentang 'kau belum menjadi sempurna ketika kau hidup seorang diri'.

Persetan! Mereka mau bercerita tentang bagaimana indahnya menikah, kek. Senangnya hidup sama suami, kek. Bodo amat! Keyakinan tentang 'menikah= bunuh diri' masih sangat kupegang teguh. Aku tak ingin bercita-cita akan seperti ibu, biarlah masa lalu menjadi sebuah pembelajaran.

Sejak tiga puluh menit lalu aku duduk termenung di pinggir kasur kakak. Seraya memandangi wajahnya yang anggun dalam balutan gaun pengantin, fikiranku asyik sendiri berkelana ke masa lalu. Menyaksikan bagaimana ibu terpental kuat setelah wajahnya terkena tamparan. Ujung bibirnya mengalir darah segar, sementara aku kecil dan Akira hanya diam dengan air mata yang terus berjatuhan.

"Istri tak berguna kau! Kerjamu hanya menghabiskan uang saja! Aku menjadi miskin karena kau menghambur-hamburkan uangku!"

Kira-kira begitulah ucapan lelaki jahanam yang sampai sekarang bahkan aku tak pernah ingin tahu keberadaannya. Ketika dia memaki, memukul, menendang, aku memberontak dalam hati, sejak saat itu aku melepas sendiri jabatanku sebagai putrinya.

Kejadian mengerikan itu berkali-kali terjadi. Lelaki itu terus saja pergi ntah ke mana, lalu pulang dalam kondisi mabuk kemudian menghajar ibu. Beruntung, saat terakhir kali ada seorang tetangga yang melihat dan segera melapor polisi, jika tidak mungkin saat ini ibu sudah tak lagi ada.

Sejak laki-laki itu divonis penjara seumur hidup, aku, Akira dan ibu bahagia. Perihal harta yang pernah dikatakannya bahwa 'ibu' menghambur-hamburkan itu dusta! Tak pernah ada harta, karena aku dan Akira adalah satu-satunya harta yang dimiliki ibu.

"Hei, apa yang kamu fikirkan?"

Teguran Akira membuyarkan ingatan, dengan cepat aku menggeleng kepala dan menampilkan senyum semanis mungkin.

"Nggak ada, kakak cantik," balasku berdusta seraya menangkup kedua pipi Akira dengan kedua telapak tangan.

"Cantik sekali anaknya, Bu Retno," sambungku menggoda.

Akira membalas memegang kedua punggung tanganku, mengusap pelan lalu melepasnya. "Aku ini memang cantik dari lahir, kamu saja yang baru sadar."

"Ya, kakak memang cantik. Semoga saja kak Adnan 'tak menyia-nyiakan kakak," desahku pelan seraya kembali menempatkan pantat di tempat semula.

Akira yang sibuk berkaca segera membalikkan badan ketika mendengar keluhanku. "Naomi ... Adnan itu baik, kau harus percaya. Aku sudah lama mengenal dia dan keluarganya."

Aku membuang napas kasar. "Iya aku percaya."

Akira tak menjawab, ia sibuk dengan cermin sambil bergeleng kepala heran melihat tingkahku. Aku hanya memandanginya, bukannya tak bahagia melihat Akira menikah hanya saja ada rasa takut jika ia akan bernasib sama seperti ibu.

Panjang umur, ibu yang sedang kubatin ternyata telah sampai di ambang pintu. Wajahnya terlihat ayu mengenakan pakaian keluarga bernuansa merah muda membuat jauh lebih segar. Senyum itu tak pernah pudar sejak 17 tahun lalu, ah, aku tak pernah membayangkan hidup tanpa malaikat sepertinya.

"Nduk, kamu sudah siap belum? Nak Adnan sudah sampai," ujar ibu yang tak bisa menutupi ketegangannya.

"Ibu, aku sudah siap. Lihat ... cantikkan?" Akira memutar badannya memperlihatkan pada ibu bahwa cantiknya telah maksimal.

Ibu, lagi dan lagi mengembangkan senyumnya. "Iya, anak ibu ayu kabeh," celoteh ibu lalu kemudian memeluk aku dan Akira.

Ibu tampak menitikkan air mata, menolak sebuah kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan kehilangan satu anak perempuan. Anak perempuan yang ia besarkan seorang diri, anak perempuan yang menjadi tempatnya berkeluh hati, anak perempuan yang ia jaga sekuat jiwa sebentar lagi akan menjadi milik pria lain.

"Sudah ... sudah ... jangan pada nangis, nanti jeleknya balik lagi," candaku memecah keheningan, "nanti kak Adnan pulang lagi," sambungku menggoda Akira.

"Dasar kau ini!" sahut Akira, "yang ada nanti Keenan yang pergi karena kamu menolak terus diajak menikah," lanjut Akira seraya menjulurkan lidahnya sedikit keluar.

Aku terbelalak mendengar celotehan Akira. "Keenan dan aku masih sama-sama ingin menikmati masa muda, wek!" balasku tak kalah sengit.

"Muda dari mana? Kepalamu saja sudah dua haha!" Tawa Akira pecah saat menggodaku, dan ibu ... bukannya membantu, malah ikut terkikik.

"Ibu, lihat Akira menggodaku terus," rengekku seraya menempelkan kepala pada bahu ibu dan dibalas dengan elusan dipucuk kepala.

"Sudah ... kalian ini ribut saja. Ayo turun," ujar ibu lalu memegang pergelangan tangan aku dan Akira.

Aku melihat Keenan di sana, ia melempar senyuman terbaiknya ketika melihat aku, ibu dan Akira menuruni anak tangga. Aku membalas senyumnya lalu menundukkan kepala, beralibi dengan anak tangga. Sadar akan tingkahku, Akira mengedarkan pandangannya mencari jawaban, lalu kemudian ia menggoda. "Cie...."

Akira dan Adnan telah berjalan beriringan di tengah altar, diiringi oleh tepuk tangan godaan dari para tamu undangan.

Swewet....

Cie nikah....

Akira, cantik!

Adnan beruntung bisa menikahi Akira.

Gaunnya pasti mahal.

Prosesi pernikahan Akiran dan Adnan sedang berlangsung, aku bersama ibu dan Keenan berdiri berdampingan menyaksikan hal sangat sakral dalam hidup Akira. Aku memeluk erat lengan ibu yang di balas dengan elusan pada punggung tanganku.

Keenan yang berdiri tepat di sampingku sangat serius. Aku sesekali melirik ke arahnya, sekedar memastikan bagaimana mimik wajah Keenan.

"Naomi."

Aku memalingkan wajah saat Keenan menyebutkan namaku. "Hmm, kenapa?"

"Kapan kita akan seperti itu?" tanyanya spontan dengan tatapan mata yang menusuk retina mataku.

Aku terpaku. Secara spontan, aku melepas pelukan pada lengan ibu, lalu menghadap ke arah Keenan. Ketika situasi semakin mencekam syukurlah kami berdua disadarkan dengan riuhnya tepuk tangan para tamu undangan karena Akira dan Adnan telah resmi menjadi pasangan suami istri.

Keenan tahu betul traumaku tentang sebuah pernikahan. Bukan 'tak terima, Keenan hanya berusaha meyakinkan agar hubungan yang sudah terjalin lama ini tidak berakhir sia-sia. Aku sungguh berterima kasih atas segala usahanya.

Aku berhasil mengalihkan pembicaraan dengan membawa Keenan untuk bertemu Akira dan Adnan. Setidaknya, berhasil selamat kali ini. Tentang lusa, biarlah semua akan ada jalannya sendiri.

"Kak Akira, selamat ya. Wah ... sudah sah jadi istri orang," Keenan berbasa-basi pada Akira dan suaminya sementara aku hanya menatap intimidasi Akira wanti - wanti agar ia tak menanyakan hal aneh pada Keenan.

"Kalian kapan?"

Shit! Aku salah mengintimidasi Akira. Mendengar pertanyaan Adnan, Keenan dan aku hanya bisa saling pandang dan diam.

"Tunggu tanggal mainnya saja!"

Cinta 'TAKUT' Menikah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang