But, darling, I can play your game too

28.3K 3.1K 372
                                    

"She was trying to walk away and hold on the same time,
That's the mind at war with the heart," - anonymous.
***

Dengan napas memburu Radeva mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru ruangan. Beberapa wajah familiar melemparkan sapaan, tapi bukan mereka yang membuatnya secepat kilat mendatangi tempat ini, karenanya Radeva memilih untuk meneruskan langkah sampai pandangannya membentur sosok berambut pendek yang tengah bercengkerama bersama beberapa orang di sekitarnya.

Sialan.

Aruna memang cewek sialan.

Radeva yakin sekali tidak pernah melihat gadis itu menghadiri acara pertemuan jurusan, baik ketika acara itu bersifat formal atau hanya sekedar berbincang-bincang. Karena itu ketika beberapa hari lalu temannya membicarakan tentang pertemuan ini, dengan percaya diri Radeva mengaku tak bisa datang, karena acara keluarga yang harus dihadirinya. Tapi di sinilah Radeva sekarang, dalam balutan pakaian formal yang tak sempat diganti, karena ia langsung melesat begitu salah satu temannya mengabari keberadaan Arun di tempat ini.

Gadis itu benar-benar ada di sini. Duduk manis menyimak perbincangan senior dan alumni yang berkeliling di sekitarnya, sampai salah satu dari mereka memutuskan untuk menarik perhatiannya dengan menyodorkan segelas minuman.

Sebentuk senyum yang diurai Arun untuk menunjukkan rasa terima kasih menyulut api kemarahan di dalam dada Radeva. Sengaja memperdengarkan suara langkah pemuda itu menghampiri mereka, sepenuhnya menikmati ekspresi terkejut Arun ketika gadis bengal itu menyadari kehadirannya.

"Akhirnya Bos besar datang juga!" seru salah satu pemuda di sana, "Ganteng banget, Bos. Habis dari mana?"

"Acara keluarga," kata Radeva, "Aku terlambat, ya?"

"Kami baru mulai," yang lain menyahuti, "Ayo duduk."

Radeva sengaja tidak langsung menempati kursi kosong yang disediakan untuknya. Sebaliknya berganti-gantian ia pandangi Arun dan senior yang duduk di samping gadis itu, sampai semua orang menyadari perbuatannya.

"Jaga jarak, Bang. Pawangnya Arun udah datang," akhirnya salah satu dari kerumunan itu memecahkan kecanggungan dengan melemparkan peringatan berbalut tawa yang dipaksakan, "Cemburuan dia."

"Jangan dengarkan Brian. Dia memang sering bicara seenaknya," sahut Radeva ketika senior itu menawarkan untuk bertukar tempat duduk dengannya.

"Jadi, kalian sedang membahas apa?" tanya Radeva sengaja mengenyakkan bokong di kursi yang berseberangan dengan tempat duduk Arun, agar dapat dipandanginya wajah kecut gadis itu.

"Pekerjaan," yang lain cepat-cepat menyahuti untuk menghapus suasana tidak nyaman yang terlanjur tercipta, "Lebih tepatnya lagi, kami menanyakan pengalaman senior-senior kita dalam mencari pekerjaan, karena sebentar lagi kita menyusul mereka."

"Kalau Radeva nggak perlu kebingungan, kan?" salah satu senior di sana menyahuti dengan senyuman, "Bisa masuk ke dalam perusahaan keluarga."

"Iya," sahut Radeva sambil menyilangkan kaki, "Aku masuk playgroup berkat koneksi orangtua. Begitu juga dengan TK, SD, SMP, SMA dan bahkan kuliah. Karena itu tentu saja aku akan bekerja dengan bantuan koneksi keluarga pula."

Di tempat duduknya Arun mengerjap karena sahutan bernada pedas itu. Arun tidak tahu apa yang telah terjadi, tetapi sejak tadi Radeva benar-benar terlihat berbeda. Bukan, Arun bukan sedang membicarakan penampilan Radeva yang terlihat lebih dewasa dalam balutan pakaian formal, melainkan pada sikap muramnya yang mulai menjurus ke arah kasar. Pemuda ini bukan Radeva yang penuh canda dan Arun tidak siap untuk menghadapinya.

JEDA - Slow UpdateWhere stories live. Discover now