14| Berulangkali

230 49 15
                                    

Sepulang dari cafe LDR, Sabina menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan sekolah. Pikirannya sejak tadi tidak bisa fokus.

Batinnya seperti tergores oleh parang dan mengucurkan darah, tidak berhenti di sana ada taburan garam yang menambah rasa perih.

Seperti itulah perumpamaan ucapan Bayu yang membingungkan. Ia sudah di bawa ke awan lalu dijatuhkan begitu saja sama seperti hujan. Sekarang kembali lagi diangkat dan ia yakin itu sementara.

Apa sebenarnya yang dipikirkan cowok itu? Setelah mengungkapkan rasa suka dia menyuruh menjauhi, tapi di depan teman-temannya ia berkata bahwa Sabina adalah kekasihnya.

Ingin sekali ia tampar waktu itu, cowok brengsek yang sayangnya sudah membuat seorang Sabina dilanda kebimbangan.

"Kamu gak ganti baju, Nak?" tanya Nanang duduk di kedai menemani Sabina yang membaca buku.

"Enggak Yah, ngapain juga. Orang bukan presiden yang datang."

Nanang terkekeh. "Iya, iya. Terserah kamu saja. Nanti sambut dengan baik ya, teman ayah."

"Siap pak Bos!"

Di saat yang  bersamaan terdengar mesin mobil mendekat. Sabina dan Nanang keluar kedai.

Wajah pria itu bersinar terang melihat sosok sahabat lama yang menyambanginya.

"Kalendra!"

Pria yang memakai kaos bewarna putih itu menoleh dan tersenyum lebar. Ia mendekat ke arah Nanang merangkul akbrab.

"Ini Bina, ya? Udah besar makin cantik aja," puji Kalendra pada Sabina di samping Nanang.

Sabina hanya tersenyum memunculkan lesung pipit di sebelah kanan. Mereka bertiga menatap ke arah sosok pemuda yang baru keluar dari mobil.

"Sule, sini Nak."

Bingung di kepala menatap ke arah Sule dan Kalendra bergantian. Tidak ada kemiripan sedikit pun di antara keduanya.

Sabina pernah bertemu Kalendra waktu kecil, tapi tidak ada keberadaan anak satu pun.

"Kamu sudah kenal anak Om, ini kan? Dia satu sekolah sama kamu."

"Sule sih, kenal Pa. Gak tahu kalau Bina. Dia, kan sibuk sama buku doang," sambar Sule dengan nada jenaka.

Sabina mengepalkan tangan. Ia tahu cowok ini secara tidak langsung mengejeknya, 'anak anti sosial mana tahu sama gue yang terkenal'.

Dasar sama saja dia dengan Bayu, sombong dan suka seenaknya sendiri.

"Kamu rajin banget, kapan-kapan ajarin Sule biar pinter kayak kamu," puji Kalendra disambut senyum bangga dari Nanang.

"Ayo, masuk. Maaf, tempatnya kecil."

Dua pria itu berbincang hangat mengenang masa lalu, sementara Sule berhenti sebentar dan mendekat ke arah Sabina.

"Halo, ketemu sama cogan nomor dua setelah Bayu." Senyumannya memang manis, hanya saja minus kelakuan dengan wajah baik ini.

Sabina yakin semua sahabat Bayu tidak ada yang benar. Mereka semua anak orang kaya yang suka menindas kaum lemah.

Sambil membahas tentang berbagai macam topik, Kalendra dan Sule makan siomay yang sudah disajikan.

"Ini tetap enak sama kayak dulu." Kalendra lahap memakannya.

"Oh, jadi Om udah dari dulu jualan siomay?" Nadanya kalem meski ada nada ejekan di dalamnya.

Nanang tersenyum seperti tidak menyadari apapun. "Iya, saya sudah nyaman jualan ini. Mau membuka kedai lebih besar sayang uangnya mending buat Bina kuliah."

Be(a)st [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang