Sedangkan Danil, sejak tadi dia sama sekali tidak memperhatikan pelajaran. Mata cowok itu terus saja jatuh pada gadis di sampingnya. Pikirannya ke mana-mana. Segala kemungkinan tentang kehidupan Radea berputar di otak cowok itu. Radea yang anti sosial, Radea yang penuh rahasia, serta Radea dan kehidupannya yang tidak normal. Bodohnya, hal-hal itu enggan pergi walau sudah coba Danil tepiskan.
"Nil, ngantin kagak lo?"
Danil mengibaskan tangannya tanpa menoleh pada asal suara. "Lo aja."
Yosep mencebik, lalu menuju kantin bersama teman sekelasnya yang lain.
Radea yang sejak tadi mendengar, tetap pura-pura tuli saat mengeluarkan kotak bekal berwarna ungu miliknya dari dalam tas. Tidak lupa dia juga mengeluarkan sebotol air minum. Gadis itu sejak tadi hanya diam. Walaupun keberadaan Danil membuat dia terusik, ditambah tatapan intens dari cowok itu, Radea tetap berusaha biasa saja. Padahal nyatanya, keringat dingin tidak henti membasahi dahinya.
"Nasi putih lauk ayam kecap pedas manis sama sayur tumis buncis," ucap Danil dalam hati saat Radea perlahan membuka kotak bekalnya.
Ucapannya tepat saat kotak bekal Radea sudah terbuka. Ya, menunya sama dengan apa yang dia makan tadi pagi di Indekos. Harusnya Danil sadar akan hal ini sejak lama, menu yang Radea bawa ke sekolah selalu sama dengan yang dia makan setiap pagi sebelum berangkat.
Radea mulai menyuap nasi dengan Danil yang tatapannya tidak kunjung berpindah. Lama-lama, Radea risi juga. Cowok itu sama sekali tidak bicara, tetapi terus memperhatikannya secara blak-blakan.
Radea meletakkan sendoknya di kotak bekal dengan kesal, lalu meraih botol minum dan meminumnya dua teguk. Setelah meletakkan kembali botol ke atas meja, dia balas menatap Danil. Radea sempat dibuat terkejut dengan manik cowok itu yang menatapnya teduh, serta senyum tipis. Padahal gadis itu pikir, Danil akan menatapnya penuh tuntutan dan wajah bingung.
Danil yang ditatap tiba-tiba mengerutkan dahi, tetapi sama sekali tidak bicara. Yang ada dia malah memperbaiki posisinya agar lebih nyaman, yaitu dengan menjatuhkan kepala di kepalan tangannya, di mana siku cowok itu bertumpu di meja.
"A-ada yang mau kamu ta-tanyain?" tanya Radea ragu-ragu. Kepala gadis itu perlahan menunduk, tidak sanggup kalau matanya harus bersirobok dengan Danil.
Danil menggeleng. "Gue sudah bilang, gue nggak akan tanya, tapi gue nunggu lo yang cerita."
"A-aku belum siap cerita."
"Gue tunggu sampai siap."
Radea mengangkat kepalanya perlahan menatap Danil. "Kamu nggak kaget?"
Dehaman menjadi jawaban Danil. Melihat ekpresi tidak puas Radea, cowok itu berucap, "Kaget ... sedikit."
"Kamu nggak penasaran? Kamu pasti punya banyak pertanyaan."
"Kenyamanan lo lebih penting daripada rasa penasaran gue, Ra."
Bibir gadis itu hendak mengembang, tetapi dia tahan. Sebuah ruang dingin di dadanya secara tiba-tiba menghangat. Jawaban Danil barusan berhasil membuat Radea merasa dimengerti ... sedikit. Oh, jadi begini rasanya dibiarkan melakukan sesuatu hal saat memang ingin. Karena yang biasanya Radea rasakan adalah melakukan segala yang diperintahkan, penuh dengan aturan, dipukul jika melawan atau tidak menurut.
"Kamu nggak pengin tau kenapa aku ada di sana?"
"Gue lebih pengin tau kenapa lo menjadikan kamar itu sebagai satu-satunya teman."
"Nil, kamu boleh tanya ...."
"Gue tunggu lo cerita." Danil tersenyum, memberikan tanda bahwa rasa penasarannya tidak perlu dipuaskan saat ini, dan hal itu juga tidak begitu penting. "Gue tunggu lo yang pengin cerita ke gue. Berbagi hal yang selama ini lo pendam sendirian. Gue nggak mau terkesan cuma penasaran."
"Ke-kenapa, Nil? Aku aneh, kamu pasti bingung dan punya banyak pertanyaan saat tau aku ada di sana."
Danil merubah posisi duduknya menjadi tegap sembari menatap Radea. Wajah cowok itu ... ah, Radea rasanya ingin protes pada Tuhan kenapa dia baru dipertemukan dengan manusia seperti ini setelah tujuh belas tahun hidup. Ternyata, wajah Danil bisa semenyejukkan ini di mata Radea.
Bagaimana, ya, menjelaskannya? Bukan soal wajahnya yang tampan, tetapi ekspresinya yang berhasil membuat Radea merasa tenang. Tatapan matanya yang teduh, senyum yang tidak henti mengembang, serta suara yang dibuat serendah mungkin agar lawan bicaranya tidak merasa terintimidasi.
Danil mengambil sendok, lalu satu tangannya lagi meraih pergelangan Radea, setelah itu dia meletakkan sendok di tangan gadis itu. "Karena gue tulus pengin jadi tempat lo cerita. Gue nggak mau pertanyaan gue malah buat lo ingat masa-masa yang pengin lo lupain." Danil menggenggam tangan kiri Radea yang kosong. "Gue mau, lo cerita ke gue waktu sudah siap buat buang semua alasan lo jadi tertutup kayak gini. Dan setelah lo cerita, lo bakalan lega, dan merasa lebih plong."
Tangan Danil berpindah mengelus puncak kepala Radea. "Dilanjut makannya. Gue juga mau ke kantin."
Setelah kepergian Danil, Radea bengong beberapa detik. Kemudian saat sudah sadar, senyumnya merekah. Dia kemudian kembali makan dengan lahap.
****
Bersambung ....
Hai, ketemu lagi.
Jangan lupa vote dan komennya.
Terima kasih.
Sehat selalu dan semoga puasanya lancar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert VS Ekstrovert ✔️
Teen Fiction(TAMAT) Danil, anak baru yang kebetulan duduk sebangku dengan Radea. Cewek aneh yang tidak punya teman satu pun. Danil yang punya sifat mudah bergaul, terus mengganggu Radea dan bertekad agar gadis itu mau menjadi temannya. Semakin lama, Danil sada...
23 || Perasaan Dimengerti
Mulai dari awal
