MENCINTAI SEPUPUKU BAB 3

7.8K 202 12
                                    

Arkan’s PoV

Hal ini menyakitiku. Di depan jendela ruanganku, aku berdiri. Bertemankan kepulan asap dari sebatang nikotin yang sesekali kusesap, aku berpikir tentang kebodohanku.

Kapan aku akan berhenti menjadi bodoh? Jelas-jelas Lily tidak akan pernah kumiliki. Itu adalah hal termustahil yang bisa kupikirkan. Aku punya pilihan, antara tetap mencintainya dan nelangsa seumur hidup, atau berhenti mencintainya dan berbahagia dengan perempuan lain.

“Kamu seperti lelaki yang patah semangat, Ar.” Itu suara Papa.

Aku tidak berniat berbalik karena tahu kalau Papa menghampiriku. Kulirik Papa yang berhenti di sebelahku dan memandang ke arah yang tadi kupandang. Pakaian Papa sudah bukan pakaian kantor, Papa para sudah pulang tadi dan kembali kemari untuk melihatku karena permintaan Mama.

Biar kuberitahu, ini sudah jam satu malam. Pulang terlambat sebentar saja, Mama sudah akan memberondongi ponselku dengan panggilan dan pesan. Tidak heran Papa menyusulku melihat bahwa jam pulangku harusnya sama dengannya dan jam satu malam aku belum di rumah. Ponsel sengaja kumatikan, Mama pasti cemas setengah mati.

“Lily tadi ke rumah. Cari Mas Arkan-nya tapi gak ketemu.”

Itulah sebabnya aku masih di kantor saat ini. Kusesap lagi rokokku dan kuembuskan asapnya di udara. Papa tidak terlihat terganggu sama sekali, padahal ia bukan perokok aktif. Aku juga bukan, rokok hanya penghilang stress yang kubeli sesekali.

Bukan hal yang mengherankan bila Lily mencariku ke rumah. Itulah yang dilakukannya setiap pulang kerja. Lily akan menceritakan kesehariannya padaku yang selalu kudengarkan dengan penuh perhatian. Untuk kali ini aku memilih kabur, tidak ingin tersakiti dengan mendengar ceritanya tentang hubungannya dengan Vino yang kembali membaik.

“Papa juga pernah muda. Papa mengerti bagaimana indahnya jatuh cinta dan bagaimana sakitnya jatuh karena cinta.”

Posisiku sama sekali tak beruntung: sakit karena jatuh cinta bahkan sebelum aku bisa merasakan keindahannya.

“Lily sangat bergantung padamu. Kalau Papa bisa memberi saran, beri dia jarak untuk menyadari kalau dia membutuhkanmu.”

“Aku tidak yakin kalau aku bisa, Pa.”

Dan tidak yakin kalau Lily akan sadar bahwa dirinya membutuhkanku ketika aku menjauh. Bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya? Bukannya sadar dia justru masa bodoh. Aku tidak akan pernah bisa menjauh darinya—tidak untuk saat ini.

“Lily itu seperti Edwin. Meski pintar, kepekaannya berada dalam kondisi tiarap. Dia akan benar-benar peka saat dirinya sudah terdesak. Dengan kata lain harus ada sesuatu untuk bisa membuatnya peka. Edwin dulu menikah dengan Fifi saat tahu kalau Fifi dipinang lelaki lain. Sebelumnya ia tidak pernah sadar kalau dirinya mencintai Fifi.”

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya kan? Kecuali buah tersebut ditemukan dan dibawa pulang oleh Pak Tani.

“Kalau kamu tidak sadar, Papa tidak bohong dengan berkata kalau Lily itu membutuhkanmu. Kamu hanya kurang beruntung karena terlebih dahulu sadar kalau kamu mencintainya. Cobalah untuk memikirkan saran dari Papa, Ar.”

“Aku tidak yakin, tapi aku juga setuju dengan Papa. Mungkin aku bisa mencobanya.”

Papa menepuk pundakku memberi semangat, “Usaha tidak akan mengkhianati hasil, Nak. Ayo pulang.”

Papa tidak bilang kalau Lily masih di rumah. Mama terlihat lega melihatku pulang. Karena perhatianku tertuju pada Lily yang meringkuk di atas sofa, Mama tersenyum geli.

“Dia enggak mau disuruh pulang.”

“Dia memang keras kepala.” Aku menghampiri gadis itu. Mengangkatnya ke dalam gendongan dan berpamitan, “Aku ke kamar dulu, Ma, Pa.”

“Kalian seperti suami istri.” Mama mengerling padaku.

Aku menggeleng pelan, kubawa tubuh di gendonganku dengan hati-hati menuju kamar. Di pertengahan tangga, Lily terbangun.

“Lily nunggu Mas dari sore.” gadis itu menyembunyikan wajah di leherku.

“Pekerjaan Mas banyak.”

“Mm ... Mas bau rokok.” dia mulai menghirup aromaku. Oh, gadis ini tidak sadar kalau kelakuannya bisa membangunkan yang di bawah sedang tidur.

Untunglah aku segera tiba di kamar. Kuletakkan gadis itu di tempat tidur dan mengecup keningnya, “Tidur lagi.”

“Lily baikan sama Vino.”

Bukan hal ini yang ingin kudengar, “Tidur, Lilyana. Mas mandi dulu.”

“Mmm.”

Aku beranjak ke kamar mandi. Kalau Lily tidak setengah terjaga, gadis itu pasti mengomel karena aku merokok. Perhatian itu terkadang membuatku salah paham dalam mengartikannya.

Aku keluar dari kamar mandi tidak sampai setengah jam kemudian. Mandi tengah malam tidak lagi asing bagiku. Tubuhku sudah sangat terbiasa untuk hal tersebut.

Lily masih meringkuk di balik selimut. Tubuh mungilnya hampir tidak memberiku tempat untuk tidur. Gadis itu tidak tidur dengan anggun. Kalau aku tidur di sebelahnya, aku tidak akan heran jika tiba-tiba sebagian tubuhnya menimpa tubuhku.

Pada pagi harinya, Lily sudah tidak ada di kamarku. Mungkin dia sudah pulang. Hari ini Minggu, aku libur bekerja. Biasanya jika libur seperti ini, Lily akan menemaniku seharian. Entah untuk bermain play station di kamar atau untuk kegiatan tidak penting lain.

“Mas!”

Oh, dia belum pulang. Dia menghampiriku dan menarik-narik tanganku.

“Banguuun!”

“Iya, Lily. Jangan ditarik-tarik.” Aku mendudukkan diriku, “Kenapa?”

Lily bersila di hadapanku. Gadis itu tersenyum riang. Ia mengangkat tangannya dan menunjukkan jemarinya di depan wajahku.

“Vino lamar Lily!”

Dan itu ... kejutan. Kejutan yang meretakkan hatiku. Aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa lama. Hanya menatap nanar jemari cantik itu.

Semuanya berakhir.

“Menurut Mas, Lily harus terima apa enggak?”

Oh, dia belum menerimanya?

“Lily pakai cincin ini sendiri.”

Tolak saja.

Alih-alih mengatakan larangan itu, aku justru bertanya hati-hati sambil bersiap akan segala kemungkinan yang terjadi bila nanti mendengar jawabannya, “Kamu mencintainya?”

Lily memiringkan kepala, masih dengan senyum yang menggores hatiku dia menjawab, “Lily cinta!”

“Kalau begitu kamu harus menerimanya.”

Aku telah membunuh diriku sendiri.

“Lily tahu Mas akan jawab seperti itu!” tubuhnya dilempar padaku.

“Asal kamu bahagia, Sayang. Mas akan lakukan apapun.” kupeluk erat tubuh itu. Gadis ini tidak akan pernah kumiliki.

Aku akan melakukan apapun demi kebahagiaannya. Termasuk meremukkan hatiku sendiri. Ya, itulah yang terjadi saat ini.

Jadi, aku mengambil kesimpulan bahwa diriku tidak akan pernah cukup pantas untuk bersamanya. Ini titik jenuhnya, aku harus berhenti mencintainya.

“Lily sayang Mas.”

“Mas lebih menyayangi kamu.” balasku sengau.

***

MENCINTAI SEPUPUKUWhere stories live. Discover now