12. Menjauh

452 49 0
                                    

Sedari tadi aku hanya menatap jendela dengan tatapan kosong. Melihat pemandangan dimalam hari dari jendela apartemenku memang sangat indah. Biasanya aku selalu membayangkan menatap keramaian kota yang penuh dengan cahaya dari atas sini bersama pasanganku kelak sambil tersenyum malu.

Namun kini, jangankan untuk membayangkannya. Untuk tersenyum saja aku tak mampu. Kekecewaanku begitu dalam sehingga aku lupa untuk kembali tersenyum.

Berkali-kali aku menghela nafas sambil menghapus kasar air mata yang jatuh ke pipiku. Tak ku sangka betapa lemahnya aku hanya karena 1 orang pria.

Aku tau, ini bukan untuk pertama kalinya aku termenung dan menangis sendirian. Dulu, aku pernah mengalami kesedihan yang sama. Namun aku selalu mengingat pesan ayah agar aku dapat bertahan.

Sekarang, apa yang harus aku lakukan?

Mengingat dia berjalan mesra dengan wanita lain sudah cukup memukul perasaanku. Ditambah lagi dengan kebenaran yang sudah cukup membuktikan keraguaanku selama ini. Katakan apa aku salah sudah menolak untuk pergi bersamanya kemarin?
Aku tau dia yang bersedia menebus kesalahannya karna sudah mengabaikanku beberapa hari terakhir.

Namun apa gunanya jika kenyataannya aku hanya sebagai tempat pelarian untuknya?

Sejak saat itu aku ingin sekali menghapusnya dalam hidupku namun rasanya sulit.

Apa sekarang kita harus menjauh?

Mataku tidak henti-hentinya meneteskan air mata, hingga lagi-lagi aku tertidur di lantai dengan perasaan sakit. Beruntunglah kalian hari ini yang masih tertidur dalam keadaan damai. Sebab, nikmat seperti itulah yang selalu aku rindukan setiap malam.


☆☆☆


Sudah hampir satu jam Nova bercerita panjang lebar. Ntah itu masalah pekerjaannya, keluarganya, bahkan masalah dengan suaminya sendiri yang merasa jengkel karena terus-terusan memberinya tausiah gratis setiap hari. Padahal Nova bukan tidak mau dengan semua itu, hanya saja dia butuh ruang untuk tidak mendengar ceramah.
Aku hanya mendengar dan menjawab seadanya. Berharap Nova tidak mempertanyakan tentang responku yang biasanya meledeknya.

“Bisa-bisa gue cadaran abis ni gara-gare denger dia tausiah mulu.”

“Hehe, bagus dong. Akhirnya sahabat gue jadi ukhti, “

“Ihhh gue kan belum siap. Bakteri-bakteri gak berakhlak gue masih melekat didalam jiwa dan raga ini.” Ucapnya sedikit mendramatis.

“Ati ati loe, abis tu loe diajak tinggal di Mekkah.” Ledekku untuk mengalihkan pikirannya agar tidak bertanya tentang keanehanku beberapa menit yang lalu.

“Tidak!! Ntar gue gak bisa ketemu sahabat gue yang paling gue sayang dan yang paling gue benci.”

“Haha, asem loe.”

Tak berapa lama kemudian ponsel Nova berbunyi. Dan wajahnya mendadak jengkel melihat nama yang tertera didalamnya.

“Siapa Va? Ali?” Tanyaku.

Nova mengangguk.

“Aish, jawab ae napa? Kasian, dia pasti cemasin loe.”

“Hmm iya deh, iya.” Ucapnya sambil menjawab telfon dari Ali.

“Assalamu’alaikum ya zaujan..”

“Widihh, managenya gak nahan,” Timpalku.

“Diem loe, ini ide dari dia, males banget tau gak,” Bisiknya sambil menatapku tajam.

Aku hanya cekikikan kecil melihat tingkah Nova. “Stt, loe gak boleh gitu.”

“Wa’alaikumussalam, kamu dimana?”

“Nih, lagi ditempat Syila.”

“Hmm, kamu bisa pulang sekarang? Soalnya ummi ngajak kita untuk makan siang bareng.”

“Tap—duh.” Ucapnya yang terpotong karena aku mencubit tangannya dan mengode agar dia setuju.

Sementara Nova tidak bisa protes karena Ali yang dari tadi terus bertanya apa yang terjadi.

“Yang? Gimana? Kamu gak apa-apa?”

“Eh, iya aku gak apa-apa, tadi kelilipan makanya aku bilang duh.”

“Jadi gimana? Kamu mau kan pulang bentar?”

“Iya, ntar lagi aku kesana.”

“Mau aku jemput?”

“Ihh, gak usahh yang, aku bisa pulang sendiri.”

“Hehe, ya sudah kalo gitu. Kamu hati-hati, ya. Assalamu’alaikum ya zaujati.”

“Hmm, wa’alaikumussalam.”

Setelah itu tawaku meledak sambil menirukan kata zaujan dan zaujati yang terasa aneh di telingaku.

“Sekali lagi loe ngakak gue tampol loe.”

Aku tak peduli dengan perkataannya dan tetap memilih untuk melanjutkan aksi tertawaku.

“Btw, artinya apaan coba?”

“Hm, ini nih yang pas pelajaran bahasa arab bukannya merhatiin tapi malah tidur.”

“Dih, loe juga gitu dulu. Paling loe baru tau dari Ali.” Protesku.

“Hihi, dalam bahasa arab, zaujan itu artinya suami, dan zaujati itu istri. Gimana? Dah tau kan loe sekarang.”

“Ohh,”

“Hmm gini nih, ntar loe rasain besok ya. Pas udah punya panggilan sayang sendiri kalo udah punya suami. Kalo lebih aneh dari gue. Gue yang ngakak paling keras.”

Seketika aku berhenti tertawa dan terdiam. Moodku tiba-tiba ambyar hanya dengan mendengar kata ‘suami’. Sebab aku tidak yakin akan semua itu. Apakah aku benar-benar akan menikah, lalu memiliki seorang suami, kemudian mempunyai panggilan sayang yang khusus?

Aku mencoba untuk tidak memasang raut wajah sedih dengan cara tersenyum. Untuk saat ini aku tidak bisa menjawab pertanyaan siapapun tentang perasaanku saat ini.

“Ya udah, sana samperin pangeran loe. Kasihan ntar gak jadi makan siang karena makanannya keburu dingin gara-gara loe telat.”

“Haha, oke deh. Gue cabut ya. Jangan kelamaan sendiri. Ntar loe lumutan. Wkwk, bye.”

Aku berkesiap ingin melemparkan bukuku kearahnya namun ia sudah menghilang secepat kilat dari hadapanku. Dasar sahabat tersayang dan terlucknutku.

Sementara aku kembali dengan aktivitasku di dalam ruangan. Tiba-tiba aku jadi kepikiran dengan perkataan Nova. Apa aku harus cepat menikah agar aku bisa merasakan kebahagiaan yang seperti ia rasakan? Diperhatikan, dicintai, disayangin, bahkan memiliki panggilan sayang khusus.

Bukannya aku tidak menginginkan hal seperti itu. Wanita mana yang tidak mau diperlakukan seperti itu? Hati mana yang tidak cemburu melihat kebahagiaan seperti itu? Tentu semua ingin mendapatkan kebahagiaan yang layak seutuhnya. Namun sayang, tak semua orang terpilih untuk mendapatkannya.

Kebahagiaan itu seperti undian lotre. Yang namanya terpilih, maka ia akan mendapat hadiahnya sementara yang lain harus kembali bersabar dan tetap menunggu keberuntungannya, atau sama sekali tidak akan pernah mendapatkannya.

Padahal kebahagiaan itu sendiri bukan berasal dari keberuntungan, melainkan berasal dari hati yang mampu menerima semua kenyataan dengan lapang dada. Maka disitu lah kebahagiaan sejati terdapat. Dicintai dan perhatian itu hanyalah bonus.
Sebab, untuk mendapatkan kebahagiaan sejati itu tidak mudah. Jika kalian pernah melihat pasangan bahagia, belum tentu mereka tidak punya masalah. Karena dibalik kebahagiaan setiap orang pasti ada duka pahit yang tersimpan. Ada rintangan yang tak selalu mudah untuk dilewati, sampai pada akhirnya kebahagiaan itu benar-benar utuh.

Aku mencoba untuk mengalihkan pikiranku dan kembali fokus dengan aktivitasku. Terlalu banyak pikiran bisa membuatku gila. Ada yang lebih penting dari pada hanya sekedar memikirkan tentang pasangan hidup yaitu ‘kebahagiaan diri sendiri’ sebab diriku layak merasakan kebahagian meski tanpa harus ada yang menemani.

Sejak kejadian kemarin, Irfan tak lagi menghubungiku. Apa dia benar-benar sudah terlanjur marah padaku? Atau dia memang sudah tak ingin lagi peduli denganku? Padahal aku hanya ingin mengujinya saja. Namun apa yang ku dapat? Bentakan dan semua yang ada diluar nalarku.

Ternyata untuk mendapatkan seseorang seperti yang kita harapankan tidak semudah membalikan telapak tangan.
Cukup lama aku melamun ria, sampai-sampai tak sadar ada seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Hai? Halo?” Ucapnya sambil memetikkan jarinya didepan wajahku.
Aku tersentak dan kembali fokus dengan lingkungan sekitarku, lalu berdalih melihat kearah orang yang berhasil membuyarkan lamunanku.

“Hai.” Ucapnya sekali lagi untuk memastikan bahwa aku sudah benar-benar sadar atau belum.

Aku terkejut melihat sosok yang ada didepanku. Tubuhku terasa kaku. Mataku tak berkedip. Pikiranku selalu berusaha untuk memastikan apa yang kulihat ini salah atau tidak, “Dimas?”

Mati Rasa - Completed✓Where stories live. Discover now