Bagian 1 | Terjatuh

102 18 10
                                    

Dunia tercipta dalam keadaan keruh, sementara engkau menghendakinya jernih dan bersih dari berbagai kotoran dan kekeruhan.

Hidupmu tak semulus yang kau impikan, berbagai cobaan dan masalah datang secara bergantian. Tolonglah hati, luaskan lagi rasa sabar.

-o0o-

Mata bulat itu terbuka, bersamaan dengan cahaya yang menembus masuk kedalam retina matanya. Khansa mengerjapkan matanya berulang kali, menyesuaikan pandangannya yang mengabur. Ingatannya kembali memutar atas kejadian yang terjadi beberapa jam yang lalu, ditatapnya ruang serba putih itu. Pikirannya melayang dimana adik-adiknya berada, ruangan itu terlalu sepi untuknya. Sungguh ia tidak menyangka jika peristiwa itu terjadi begitu cepat, tanpa pernah ia bayangkan.

Khansa menoleh, lengan kanannya yang terbungkus perban. Khansa meneliti, mencari siapapun yang berada di sana. Seakan semua orang lenyap dari pandangannya, tak ada seorangpun yang berada di dalam ruangan itu. Khansa hanya menemukan kesunyian yang begitu dalam. Tak mengkhawatirkan diri sendiri, Khansa memilih melepas infus yang melekat dipunggung tangannya. Rasa perih menjalar disana, terlihat bercak darah yang keluar setelah ia mencabut selang yang terdapat jarum itu.

Langkah Khansa terhenti, sorot matanya menatap knop pintu yang bergerak memutar. Ia yakin seseorang akan segera masuk kedalam ruangan itu, rasa gugup kini menyelimuti dirinya. Khansa ingin menarik lagi perkataannya yang menginginkan seseorang untuk bertemu dengannya, walau sekedar untuk bertanya dimana adik-adiknya. Rasa takut menyerang dirinya, ia gelagapan apa yang harus ia lakukan sekarang?

Rambut yang terurai menutupi wajah Khansa saat menunduk. Bertepatan dengan knop pintu yang terbuka, seseorang tengah terkejut dengan yang ia lihat pertama kali masuk kedalam ruangan. Seseorang telah menyentuh pundak Khansa, namun dengan cepat Khansa menghindari tangan yang mencoba untuk memegang pundaknya. Masih dengan posisi yang sama, seseorang yang Khansa lihat memakai jas putih dengan celana hitam panjang mendekat.

Khansa mundur beberapa langkah, hingga suara bariton menghentikan gerakannya.

"Apa kau akan seperti itu terus?"

Khansa merasakan aura yang berbeda saat pria itu mengeluarkan suara, "di mana adik-adik ku?"

Pria ber sepatu hitam itu melanjutkan langkah mendekati Khansa, "seseorang membawanya pergi."

Pendengarannya menerima pernyataan itu, namun tidak dengan hatinya. Bagaimana bisa? Siapa yang membawa keempat adiknya pergi? Tubuh Khansa meluruh, dinding yang menempel pada punggungnya menguatkan agar tidak terjatuh.

"Ibuku?"

"Maaf, kami para dokter tidak dapat menyelamatkan beliau. Ibumu sudah menemui sang pencipta. Kami harap para sanak saudara bersabar dan merelakan kepergiannya."

Pertahanannya runtuh seketika, yang dipikirkan Khansa hanya hidup bersama keluarganya secara utuh. Tapi mengapa ibunya meninggalkannya dan keempat adiknya? Khansa merasa ini hanya mimpi, beberapa menit lagi pasti dirinya terbangun dari mimpi buruknya. Khansa yakin hal itu.

Senyum terbit di sudut bibir Khansa, ia mendongak menatap seorang pria yang tengah berdiri didepannya. "Bangunkan aku sekarang, aku mohon."

Pria itu tak membalas tatapan mata Khansa, terlihat nametag yang menempel di dada pria itu. Dr Ali, pria tinggi menjulang dengan rambut yang tersisir rapi keatas serta jas putih yang melekat pada tubuhnya yang atletis. Pria itu mencoba menenangkan Khansa yang masih terduduk dengan memeluk kedua lututnya, menyamakan posisi Khansa.

"Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, aku mohon." Sekarang Ali dapat melihat wajah Khansa yang menatapnya sendu. Pipinya basah, berulang kali Khansa mengeka kasar wajahnya saat air matanya mencoba untuk keluar.

"Kamu tidak sendiri, percayalah padaku." Khansa mencoba untuk menyingkirkan prasangka buruknya, ia menyakinkan diri bahwa semuanya hanya mimpi. Namun semua tidak berjalan dengan keinginannya.

Ali baru saja merasakan kekalutan dalam hatinya saat melihat bola mata Khansa. Sorot matanya sendu, penuh kepedihan. Rasanya tidak tega membiarkan perempuan di depannya ini menangis, Ali memberanikan diri untuk mengusap rambut Khansa yang terurai. Tapi perempuan itu membuatnya bingung. Kenapa saat ia mencoba untuk menenangkannya, tangan Ali selalu saja ditepisnya. Seperti tidak suka jika seseorang menyentuhnya.

"Apa kamu ingin melihat ayahmu? Beliau sama dirawat di rumah sakit ini." Khansa baru menyadarinya, ia segera bangkit lalu berjalan keluar. Tapi pandangannya mengabur, tubuhnya kembali terjatuh.

Ali yang berada dibelakang perempuan itu terkejut, ia langsung membopong tubuh Khansa dan membawanya kembali ke dalam ruangan tadi.

Ali dengan cepat kembali memasangkan selang infus di punggung tangga Khansa yang tak sadarkan diri. Ali tak sengaja melihat ke arah nakas, makanan yang rumah sakit sediakan tidak ia sentuh sama sekali. Ali yakin jika Khansa belum makan sejak kemarin, rasa khawatirnya semakin meningkat kala ia mengingat nasib pasien perempuan yang ia tangani.

Setelah selesai, Ali memilih duduk di sebelah Khansa yang tengah terbaring di atas kasur. Mata bulat perempuan itu masih melekat di pikiran Ali, sorot mata yang mengisyaratkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja itu sangat terlihat jelas di mata Ali. Tangan Ali terulur untuk memegang tangan perempuan itu, tangan Khansa terasa pas di telapak tangan Ali. Ali tersadar, ia telah salah. Tidak seharusnya ia menyentuh tangan perempuan itu, mengingat Khansa yang dengan cepat menepis tangannya dan berjalan menjauh.

Ali bangkit dari duduknya, ia gelisah. Apa yang ia rasakan sekarang sangat berbeda dari sebelumnya. Ali bertindak gusar, berjalan ke sana kemari tanpa arah dan sesekali menatap Khansa yang tengah menutup matanya.

Beberapa kali Ali memegang kepalanya, berharap rasa kalutnya segera hilang. Ia melenggang keluar dari ruangan itu, membawa segelas teh hangat untuk ia minum sambil menunggu Khansa sadar.

Tak lama kemudian, Ali masuk kedalam ruang rawat Khansa dengan segelas teh lalu duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang. Hanya terdengar suara jam yang memecahkan keheningan di dalam ruangan itu.

Ali menyenderkan kepalanya, kerjaannya hari ini cukup menguras tenaganya. Dua kali ia melakukan operasi hari ini, ia sangat bersyukur karena kedua pasien itu selamat dan berhasil melewatinya. Ali merasakan ketenangan saat di dalam ruangan itu, rasanya setelah bekerja ia akan selalu datang dan menyapa perempuan itu.

Ditatapnya Khansa yang tak jauh dari pandangan Ali. Pria itu sangat mengagumi sosok Khansa yang begitu kuat, walaupun di dalam sana ada banyak hal yang menyakitkan yang perempuan itu rasakan. Rasa ingin menjaga perempuan itu terbesit di hatinya, bukan perasaan kasihan. Tapi sebuah rasa aneh yang tidak bisa diartikan.

Drt... Drt.... Drt...

Benda pipih berbentuk persegi panjang bergetar di dalam saku jas yang ia pakai, Ali merogoh kantong sakunya dan menggeser tombol hijau dilayar ponselnya lalu meletakkan di telinga kanannya.

"Assalamu'alaikum, nak."

"Wa'alaikumussalam, bun." Jawab Ali setelah panggilan terhubung.

"Kamu masih di rumah sakit?" Tanya seseorang yang menjadi lawan bicaranya.

"Masih bun, kenapa bunda begitu bersemangat hari ini?" Tanya Ali mendengar suara sang ibu yang begitu lembut namun penuh semangat.

"Bunda masak makanan kesukaan kamu, jadi pulanglah ke rumah. Jangan di apartemen mu saja," Ali yang mendengar ibunya sedikit merajuk itu terkekeh.

"Iya bunda, nanti aku pulang ke rumah kok. Bunda tenang saja."

"Baiklah kalau begitu. Cepat pulang, nak. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam," setelah panggilan terputus Ali kembali memasukkan ponselnya kedalam saku. Ditatapnya Khansa lagi, wajah penuh ketulusan itu selalu membuatnya tersenyum tanpa ia sadari.

Jika memang perasaan cinta itu ada, tolong jaga hatiku agar mencintai orang yang tepat.

TBC

Amarta AWhere stories live. Discover now