"Intinya kamu harus belajar yang giat biar sidang kamu berjalan dengan mulus," ujarku mengabaikannya yang mulai menangis.

"Apa kamu tahu, seperti apa keadaan aku di sini? aku dibully sama adik-adik kelas karena mereka kira aku ini mahasiswa bodoh yang harus remedial. Mereka memandangku sebelah mata.." isak tangisnya bisa ku dengar.

"Kamu gak usah mikirin mereka.." balasku kemudian.

"Mereka juga mengira kalau aku terlambat lulus karena aku mahasiswa yang gak fokus, aku lebih memilih menikah dan mengabaikan kuliah sehingga kuliahku lama selesainya,"

"Oke, look! jangan terlalu pikirkan mereka, anggap aja angin lalu. Yang terpenting, Allah tahu apa alasan kamu terlambat menyelesaikan studi mu. Kamu itu kecelakaan dan koma selama satu semester, gimana mau kuliah? dan, soal kemaren, kamu itu hebat! kamu menetapkan skala prioritas terbaik. Kamu memilih menjaga bayi kita, kamu meluangkan waktumu untuk kita, kamu hebat!!

Ingat, banyak di luar sana yang mengabaikan suami dan anaknya demi mengutamakan karier, tapi tidak dengan kamu. Kamu itu langka!"

Hening. Setelah lama terdiam, akhirnya Aira mengeluarkan suara kembali.

"Tapi aku kangen sama kamu.."

Aku pikir kamu udah pingsan beberapa menit yang lalu.

"Makanya, kamu harus persiapkan sidang sebagus mungkin biar bisa lulus dan kita bisa ketemu." Tutup ku mengakhiri obrolan kami. 

_____

Satu minggu berlalu. Aira kini kembali meneleponku begitu ia selesai menjalani proses sidang.

"Aku udah sidang, aku sarjana sekarang!!" ucapnya di seberang sana dengan wajah penuh kebahagiaan yang ku lihat lewat video call. Ini adalah pertama kalinya kami melakukan video call setelah dua tahun berpisah. Sementara aku hanya mengarahkan kamera ke atap kamar asramaku. Aku sama sekali tidak ingin menampakkan wajah ku pada Aira.

"Tadi kenapa di bab tiga kamu copy paste dari skripsi aku? untung aja dosen pengujinya nggak tahu," responku setelah sekian lama menatapnya yang tersenyum girang.

"Kok kamu bisa tahu?" Tanya Aira dengan kernyitan di dahinya.

"Apa sih yang nggak aku tau tentang kamu? di ruang sidang terpasang kamera tersembunyi dan langsung connect ke laptopku," jujur ku.

Aku juga diam-diam mencaritahu kegiatan Aira lewat Instagram-nya dengan akun ku yang baru, karena akun lama ku sudah memblokir dirinya.

"Kamu curang! padahal aku sama sekali gak boleh tahu tentang kamu," kesal Aira.

"Biarin," balasku cuek. "Aku cuma mengawasi kamu aja," sambung ku.

Hening. Tak ada yang saling mengatur kata. Sampai kemudian Aira bersuara.

"Aku pengen liat wajah kamu,"

"Buat apa?" tanyaku.

"Kita udah dua tahun ini gak ketemu dan gak saling melihat wajah lho. Aku penasaran seperti apa kamu sekarang.." ia beralasan.

Bilang aja rindu, apa susahnya sih?

"Gak ada yang berubah dari aku. Masih sama kok. Tinggi masih 175 cm, berat badan masih sama, bahkan sepertinya mulai menurun. Mata, telinga, kaki, tangan, semua masih dua kok. Hidung dan mulut aku juga gak nambah," ujarku dengan tawa tertahan.

"Bang, aku serius lho,"

"Awak kira saya becanda ke?"

Aku tidak sepenuhnya jujur, aku yang sekarang sudah berubah dari segi fisik maupun psikis. Tubuhku tak lagi kurus, sudah agak berisi dengan otot-otot. Setahun yang lalu aku mulai mengenakan kacamata karena mataku mulai minus. Aku lebih sering membaca e-book dari pada buku biasa untuk bahan kuliahku, karena lebih praktis dibawa ke mana-mana, cukup dengan memanfaatkan ponsel.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now