[ 19 ]: Without Words

Start from the beginning
                                    

Ia bangkit dan berlari mencari keberadaan Singto, tetapi kamar mereka kosong, di kamar Rieyu dan Kei pun Singto tak ada, hingga akhirnya ia mencoba untuk pergi ke ruang kerja pria itu, sesampainya di sana tempat itu di kunci dari dalam. Tangan pucatnya beberapa kali mengetuk pintu itu, hanya saja tak ada jawaban sama sekali. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dirinya dengar tadi, sungguh ini tidak masuk akal. Segalanya baik-baik saja beberapa jam yang lalu, kenapa tiba-tiba segalanya menjadi seperti ini sekarang?

"Phi Sing, buka! Aku tahu kau di dalam. Katakan padaku, jika ucapan pria itu salah. Ini tidak benarkan? Bagaimana bisa dia bilang aku bukan Krist? Lalu aku siapa?"

Tidak ada jawaban apapun dari balik pintu kecokelatan itu, hingga ia hanya bisa menyandarkan punggungnya pada pintu tadi, sembari memeluk lututnya sendiri, tak tahu lagi harus apa. Harapnya satu-satunya hanya Singto, tetapi jika pria itu tak mau menjawab apa yang dirinya tanyakan, tidak mau melihatnya lagi apa yang harus dirinya lakukan setelah ini?

Hal yang sama juga di lakukan oleh Singto, ia hanya bisa diam mendengarkan panggilan sosok itu padanya, tak ada pilihan lain kecuali mengabaikannya. Ia menyandarkan punggungnya pada pintu, menatap langit-langit ruangan itu dengan nyalang. Tangannya mengepal kuat sebelum memukuli kepalanya sendiri, kenapa segalanya menjadi rumit seperti ini, ia masih tak bisa percaya dengan apa yang terjadi.

Meskipun Krist sudah menjelaskannya, tetapi Singto masih tidak bisa menerima hal itu, tidak dengan semua hal yang sudah ia lewati dengan seseorang yang kini bahkan Singto tak tahu ia siapa. Segalanya membuat lidahnya keluh bahkan mengatakan satu kata pun ia tak bisa melakukannya.

Lama tak ada pergerakan dari balik pintu, Singto membuka pintu perlahan-lahan dan hal pertama yang ia lihat, ada sesosok pria kini tengah tertidur di lantai yang keras sembari meringkukkan dirinya, ia langsung keluar lalu berjongkok di depan pria itu, ia melihat bekas lelehan air mata yang memenuhi pipinya. Entah mengapa ia merasa sakit, ketika melihat sosok itu menangis.

Singto mengangkat tubuh pria itu ke dalam gendongannya dan mendekapnya erat, ia memandang sosok tadi dengan seksama. Singto harap ini mimpi buruk untuknya, ia harap ketika dirinya terbangun pada esok hari segalanya akan baik-baik saja serta kembali seperti sediakala, meskipun Singto tahu itu mustahil.

Ia ingin membawa sosok itu ke kamarnya, akan tetapi setelah beberapa langkah, Singto mengurungkan niatnya dan membawanya ke tempat lain, ia meletakkan pria tadi dengan hati-hati ke atas tempat tidurnya, sembari menyelimutinya, tidak membiarkan angin malam membuatnya kedinginan nantinya, saat Singto ingin berjalan keluar ia melihat seseorang berdiri pada ambang pintu dengan raut wajah bersalahnya.

"Lihat apa yang kau lakukan."

"Aku minta maaf."

"Tapi kali ini kau sudah keterlaluan, kau bukan hanya mempermainkan aku, tapi adikmu dan anak-anak kita," Singto memejamkan matanya, mencoba untuk meredakan emosi yang bergejolak dalam hatinya, "apa yang kau dapatkan dengan melakukan ini? Kau puas menipuku? Puas menipu semua orang?"

"Aku tidak bermaksud menipu semua orang, bukankah aku mengatakannya padamu tadi?"

"Tapi karena kau, aku... Temui anak-anak nanti, aku tidak masalah kau membenciku, kau tidak mau melihatku dan lebih memilih pria itu, aku tidak apa-apa, tapi setidaknya kau bisa bertemu mereka, sekali saja Krist, hanya sekali, jika itu terlalu merepotkan untukmu. Mereka juga anak-anakmu, bukan hanya anakku."

"Aku minta maaf, aku akan mengurus segalanya."

Singto hanya terdiam, ia menatap sosok yang terlelap dalam tidurnya dengan tatapan sulit di artikan, ia mengusak surainya kebelakang. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi pria itu nanti, Singto juga tidak tahu reaksi anaknya setelah ini.

The Shades Of Gray [ Peraya ]Where stories live. Discover now