Part 7 - Teman

65 6 0
                                    

《Happy Reading》

¤¤¤

Siang ini, XII IPA 1 tengah digemparkan dengan kedatangan salah satu murid populer Harison ke kelas mereka. Cewek itu tampak celingak-celinguk mencari seseorang. Sedangkan yang dicari justru semakin asik membaca bukunya.

Jelas saja yang dicari tidak terlihat. Dini yang masih di ambang pintu saja sudah dihujani pertanyaan beberapa teman sekelas Teresa.

“Lo Andini, ‘kan?” Tanya salah satunya. Dini mengangguk singkat tanpa tersenyum. Matanya masih melirik ke segala arah, mencari sosok yang tidak kunjung menampakkan diri.

“Gue Michelle. Jadi teman gue dong! Kita ‘kan sama. Nanti kita bikin squad anak pejabat.” Kata cewek berambut blonde. Wajahnya cantik, dan tentu saja keturunan bule.

Dini tersenyum, seperti memberi harapan. “Pertemanan bukan diukur dari tingkat kekayaan seseorang.” Sinis? Tentu saja! Dini memang orang yang paling sinis. Wajahnya pun mendukung kepribadiannya hingga membuat beberapa anak takut hanya dengan melihat wajahnya yang datar.

“Mau cari siapa lo?” Tanya yang satunya. Temannya si bule tadi.  Nadanya sedikit terdengar sirik, jadi Dini tidak menanggapinya. “Songong guys anaknya. Bubar! Bubar!” Sergahnya membubarkan kerumunan. Beberapa anak mendadak tidak menyukai keberadaan cewek itu.

Ya, memang begitu. Sekolah di Harison memang banyak menguji kesabaran. Semua anak konglomerat pasti diam-diam bersaing mendapatkan gelar yang terkaya. Namun Andini bukan salah satunya. Dia tidak banyak memiliki teman, hanya beberapa. Karena kebanyakan mantan temannya selalu berujung pamer ketika bersama.

Orang-orang yang mengerumuni Dini sudah membubarkan diri keluar kelas, membuat matanya langsung tertuju pada cewek yang memang sedari-tadi ia cari.

Dini menjentikkan jari, tersenyum cerah. Menghampiri Teresa yang duduk di kursi paling depan. Sedang fokus pada bacaannya. “Teresa.” Panggilnya membuat beberapa murid yang masih di dalam kelas memandang tak percaya.

Teresa mengenal Dini?! Mereka sampai tercengang beberapa saat. Tidak begitu percaya ternyata si anak miskin memiliki kenalan setelah sekian lama menutup diri.

Teresa sedikit tersentak. Namun tak urung juga menoleh. Melihat orang yang sedikit mengagetkannya tadi justru membuat Teresa bahagia. Teresa langsung memperlihatkan senyumnya. “Eh, Dini.”

“Lo udah janji mau ke kafetaria sama gue. Ayo! Tepatin janjinya!” Katanya berkacak pinggang.

“Aku bawa bekal dari rumah, Din.” Teresa menolak halus.

Dini langsung duduk di sebelah Teresa. Terlihat antusias. “Lo bawa bekal?”

Teresa mengangguk. Menutup bacaannya kemudian mengeluarkan bekal makanannya dari dalam tas. “Aku tadi bawa agak banyakan. Aku masak sendiri, loh. Kamu mau?”

“Mau lah. Gue mau nyobain masakan lo.” Teresa langsung tersenyum cerah. Di luar dugaan, Dini justru mau makan dengannya. Teresa pikir setelah tahu Teresa membawa bekal Dini mau pergi sendirian.

Teresa membuka kotak makannya dengan senyum mengembang. Dini tampak memekik senang. “Nasi goreng? Gue suka nasi goreng.”

“Oh, iya?”

Dini mengangguk.

Teresa menyerahkan satu sendoknya kepada Dini, dan tentu saja Dini menerimanya dengan senang hati.

Teresa sengaja membawa dua sendok untuk bekalnya kali ini. Awalnya ia ragu, takut jika ia kecewa. Ia pikir harapannya semalam untuk mendapatkan seorang teman akan berujung sia-sia.

Chameleon Boy (END)Where stories live. Discover now