[2] Missing Piece

1K 189 824
                                    

Ryandra sedang nongkrongdi taman depan jurusan sambil menunggu dosen pembimbing. Ekor matanya menangkap Alta yang berjalan menandak-nandak dari kejauhan. Ryandra dan Alta tidak  satu fakultas. Alta bahkan empat semester di bawah Ryandra. Cowok itu tinggal menyelesaikan skripsi. Dilihat dari gelagat Alta yang repot-repot mencari Ryandra sampai ke jurusan, dia pasti ingin curhat. Setidaknya, merengek habis-habisan. Tapi Ryandra memilih pura-pura tidak melihat.

Ternyata Alta memang mencari Ryandra. Teman-teman Ryandra ikut menoleh. Disusul dengan ekspresi terpesona dan bibir yang ternganga. Kalau tidak tahu bahwa cewek ini otaknya gesrek, kemunculan Alta ibarat es sirup di gurun pasir. Sebelum teman-temannya meneteskan liur, Ryandra segera menarik Alta menyingkir.

"Mau cerita apa?" Ryandra meletakkan tas selempangnya di bangku semen. Satu tangannya terentang di sandaran bangku.

Benar dugaan Ryandra. Dilirik jam di pergelangan tangannya.

"Masa Abim maksa mau ngulang date yang batal kemarin. Gue nggak mau ah, habisnya serem. Gimana kalau Abim tahu malam itu gue minggat gara-gara ada janji sama cowok lain," cerita Alta menggebu. "Terus, lo ingat Jovan? Gue kan pernah cerita kalau kami udah putus,"

Ryandra mengerjap. Belum satu cerita dicernanya dengan baik, Alta sudah beralih dengan cerita berikutnya.

"Dia nggak pernah kontak gue lagi. Terus kemarin tiba-tiba dia hubungi gue. Minta maaf karena nggak pernah ngasih kabar. Lagi ada penelitian ke Tanjung Puting. Live on board nyusuri Sekonyer dan nggak ada sinyal."

Ryandra nyaris menginterupsi tapi Alta mengangkat tangan. Memintanya tetap diam.

"Gue tahu lo mau ngeledek, kenapa otak pas-pasan gue bisa ingat Tanjung Puting, Sekonyer, live on board. Itu karena, lo juga pernah cerita soal Tanjung Puting sebelumnya. Oke?"

"Sampai mana tadi?" Alta mengetuk-ngetuk pelipis. "Oh, iya, kemarin dia nemuin gue. Begitu tahu gue udah move on, dia marah. Terus maki gue di depan umum, Ry." Seketika semangat bercerita yang menggebu itu musnah. Berubah mendayu dan sendu. Secepat itu pula bola mata Alta berlapis cairan bening. "Katanya gue nggak setia. Jalan sana-sini sama cowok... Gu-gue sakit hati, Ry." Alta tertunduk. Menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Malu gue digituin di depan banyak orang. Sakit, Ry, sakittt... huhuhu..."

Ryandra mengangguk-angguk pengertian. Tangannya bersedekap. "Gini ya, Ta." Dia berdehem sebentar supaya kelihatan bijak. "Pertama, lo ga pernah bilang kalau lo putus dari Jovan."

Kening Alta berlipat. Sisa air matanya merembes turun. Buru-buru dia mengusap air mata supaya bisa melihat Ryandra lebih seksama. Masa gue belum putus?

"Kedua, lo itu sebenarnya setia, cuma sering lupa. Lupa kalau udah punya pacar, nggak inget lagi jalan sama siapa, lupa punya janji sama siapa, atau nggak ingat putus dari siapa."

"Ketiga," Ryandra melirik jam tangannya lagi, "nggak lebih dari delapan menit lo curhat, nangis, sedih, galau karena patah hati. Gue yakin, selambat-lambatnya besok pagi, lo udah lupa rasanya patah hati dan nemu gebetan baru lagi."

Ryandra tergelak. Bahunya terguncang kencang. Kalau sudah begitu, suara tawanya jadi mirip orang sesak napas. Alta suka melihat Ryandra tertawa. Kalau pun situasinya tidak lucu, dia akan tertawa karena cara Ryandra tergelak terlalu lucu.

oOo

Senin malam, Alta ngotot minta ditemani Ryandra nonton. Pasalnya, malam minggu kemarin Alta ada kencan. Menyebalkannya, cowok yang mengajaknya jalan tidak cukup pemberani untuk diajak nonton film horor—alasan konyol yang digunakan Alta untuk menggugurkan cowok itu sebagai kandidat pacar baru.

A Fault in Our Love (exclusive on Gramedia Digital)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang