[2] Missing Piece

Start from the beginning
                                    

Sedangkan Ryandra, dia sudah menonton film itu kemarin. SENDIRIAN. Naas dan mengerikan. Nasibnya, bukan filmnya.

Dua gelas soda dan sekotak besar popcorn menemani mereka menunggu pintu bioskop dibuka. Alta mengamati Ryandra. Rambut klimisnya kadang lupa dicukur. Dua bola mata hitam yang bersorot lembut, bibir penuh yang murah senyum, juga tulang pipi dan rahang yang tegas. Meski cenderung kurus, Ryandra punya postur tubuh tinggi dan tegap. Telapak tangan dan lengan Ryandra juga kokoh. Ryandra bisa sangat dewasa, tapi bisa juga sangat gila kalau sedang stres. Alta suka kalau Ryandra menyeretnya dengan tiba-tiba dan mengajaknya melakukan hal-hal konyol.

Pernah suatu kali mereka main petak umpet di supermarket, menyalami setiap orang yang turun dari escalator mall, berhimpitan duduk di bangku taman yang jelas-jelas ada dua orang sedang bermesraan, berdiri di dekat konter es krim Gaskin Robert supaya bisa memalak collectible sticker setiap pembeliAlta terobsesi ikut gathering Gaskin Robert yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berhasil mengumpulkan 100 stiker—dan banyak hal lagi. Ryandra boleh mengklaim dirinya lebih waras daripada Alta. Tapi kalau sedang gila, ulahnya membuat sakit kepala. Di sisi lain, cowok itu bisa jadi tempat bersandar ternyaman.

"Ngapain lo ngelihatin gue kayak preparat keparat gitu?" todong Ryandra serta merta.

Alta yang tertangkap mata langsung mencebik sambil menggelengkan kepala prihatin. "Kalau dipikir-pikir, lo itu nggak jelek-jelek amat. Tapi kenapa nggak ada yang mau sama lo, ya?"

Alta melempar kunci mobil yang belum di kantonginya. Tepat mengenai pelipis Ryandra. Cowok itu mengaduh, tapi kemudian terkekeh.

Keduanya lalu sama-sama diam. Hubungan mereka nyaman dan melenakan. Alta tidak perlu berlama-lama larut dalam patah hati setiap kali putus. Ada Ryandra tempatnya berbagi. Ryandra tidak pernah susah-susah mencari pacar. Ada Alta yang tidak berhenti meramaikan ponsel dan menemaninya kapan saja. Cewek itu bahkan rela batal kencan kalau Ryandra punya penawaran jalan. Buat apa pacar kalau seorang sahabat lebih dari cukup?

Zona ini melenakan. Tanpa sadar salah satu dari mereka bisa terperosok melampaui garis pertemanan. Garis yang selalu menjadi kutukan dalam persahabatan laki-laki dan perempuan.

"Ta," tiba-tiba Ryandra menatap Alta dengan sorot teduh. "Kalau lo punya pacar, apa kita bakal tetep kayak gini?"

"Kok nanyanya gitu. Emang selama sahabatan sama lo, gue pernah jomblo? Nggak punya pacar? Kita kan tetap begini selalu-selamanya-forever!"

"Pacar beneran, yang serius dan waras. Bukan sekarang jadian, sejam lagi lo amnesia, nggak kenal dia atau ngaku putus."

Cuek, Alta melahap popcorn banyak-banyak dan mengunyahnya dengan berisik. "Gue maunya kita tetep kayak gini. Sampai kapan pun."

"Kalau cowok lo nggak suka?" Ryandra menutup kotak popcorn Alta supaya cewek itu berhenti mengunyah dan omongannya lebih jelas.

"Putusin aja," jawab Alta enteng. "Kita kan, sahabatan duluan. Kenapa dia ngelarang. Putusin! Cari yang nggak posesif."

Senyum tipis terukir di wajah Ryandra. Semudah itu cewek ini memutuskan sebuah hubungan. Ryandra sangsi Alta benar-benar paham apa itu cinta dan apa itu sebuah komitmen. Cewek ini hanya menuntaskan rasa penasaran dan berusaha meraup sebanyak mungkin perhatian dari semua orang—demi menebus rasa kurang diperhatikan orangtuanya yang kelewat sibuk.

"Sebenernya lo gonta-ganti pacar biar dibilang apa sih?"

"Gue nggak ada niatan begitu. Lo tahu sendiri gue selalu jadi korban."

Ryandra tertawa dibuat-buat. "Korban? Korban kok nggak kapok-kapok. Hari ini nangis, besok ganti lagi." Cowok itu tergoda untuk menguji Alta. "Kalau lo emang suka, usaha dong, supaya masalahnya punya solusi dan kalian bisa jalan lagi."

"Kalau gue mau usaha, dia nggak gimana? Capek hati doang. Cowok yang ngantri masih panjang, kasih kesempatan yang lain." Alta mengunyah popcorn lagi.

"Jadi, kalau ada yang mau usaha buat bertahan lo mau?"

Alta mengangguk-angguk mirip bocah ditawari balon mainan.

"Lo cari yang kayak apa sih?"

"Nanya doang nyariin enggak!" Bibir Alta mengerucut.

"Kasian orang yang mau gue rekomen kalau ceweknya bejat kayak elo." Ryandra tergelak jahat. Tangannya menepuk-nepuk pipi Alta yang mengembung kesal. "Serius, lo mau kayak gini sampai kapan?"

Alta mendesah. Bahunya mengedik. Wajahnya terlihat serius sekarang. "Sebenernya gue juga capek kayak gini. Cuma gimana, otak gue standar banget, Ry. Di bawah standar mungkin. Sedangkan, gue harus nerusin bisnis bokap. Bukan bisnis gede dengan puluhan anak perusahaan memang, cuma tetep aja kan, otak gue yang kecil ini nggak cukup buat mikirin hal-hal kayak gitu. Jadi, gue harus cari jodoh dengan selektif supaya nanti dia yang mikir, gue yang ongkang-ongkang kaki." Mata Alta menatap kotak popcorn tanpa fokus. "Absurd, ya?" Dia memutar mata lalu berpikir lagi. "Atau emang ya, belum nemu yang pas aja? Atau, mungkin bukan jodohnya? Atau, emang gue pengin kelihatan keren aja ganti-ganti cowok." Bahunya mengendik. "Nggak tahu, deh. Otak gue nggak nyampe kalau mikir serius."

Alis Ryandra menukik. Jarang-jarang Alta seserius ini.

"Gue bakal berenti, kalau cowok itu..." Alta menelan sisa popcorn lalu meneguk sodanya sampai tandas. "Ry, bagi minum dong."

Ryandra mengangsurkan gelas sodanya. Nih, cewek cakep-cakep rakus.

Satu mata Ryandra menyipit. Bibirnya melengkungkan seringai menyudut. "Gampang. Kalau terpaksa butuh status, sama lo juga nggak apa-apa."

"Dih, kayak gue mau aja!" Entah kenapa, keterkejutan membuat Alta jadi memilih respon seperti ini.

Alta mendadak tidak bisa bernapas. Matanya enggan berkedip. Bibirnya sudah mengucapkan beberapa patah kata, tapi yang terdengar di telinga Ryandra adalah 'Pintu theater satu telah dibuka. Para penonton yang telah memiliki..."

"Udah dibuka." Ryandra memecah hening dengan menarik tangan Alta. "Masuk yuk, Ta!"

oOo


Aya's Note

Upload cerita baru bikin ga fokesss. Bingung mau lanjutin yang mana. Kepikiran mau unpublish cerita ini, malah upload part baru. Otak suka ga bisa diajak kompak -___-

A Fault in Our Love (exclusive on Gramedia Digital)Where stories live. Discover now