-04-

904 184 7
                                    

"Kak, boleh ngomong gak?" tanya Karin sambil rebahan plus maskeran bareng kakaknya siapa lagi kalau bukan Johan Nicholas Suharsono.

"Ngomong aja kali dek, tumben banget sampe nanya duluan. Mau minta duit?"

"Ih negatif mulu pikirannya. Santai dong."

"Yaudah buruan mau ngomong apa."

Setelah mendapat persetujuan kakaknya, Karin bangkit untuk duduk agar leluasa berhadapan dengan kakaknya."

"Kemarin aku pergi ke fotocopyan."

"Iya terus?"

"Jangan dipotong dulu, belum kelar nih ceritanya. Jadi disana tuh ada mba-mba yang punya fotocopyannya tuh cantik banget. Aku keinget kakak yang masih jomblo jadi aku tawarin ke mbanya mau apa nggak kenalan sama kakak."

Johan yang merasa percakapan ini mulai serius langsung ikut duduk menatap adiknya.

"Karina kamu kira kakakmu ini barang dagangan sampe kamu tawarin ke orang lain. Mau ditaruh dimana muka kakak?"

"Ya mukanya gak kemana-mana. Tapi mau nggak? Cantik loh mbanya, serius."

"Karin, Kakak gak ngerti mau ngomong apa."

"Aku kan cuma khawatir kakak tuh udah lama sendiri (read: jomblo), kasian banget kemana-mana sama Kak Julian mulu sampe sepet ini mata liatnya."

"Heh mulutnya!" kata Johan cukup keras sampai tidak sadar sudah membuat sheetmask diwajahnya lepas.

"Maaf."

"Karin, Kakak potong uang jajan kamu selama tiga hari kedepan. Titik, gak ada penolakan."

"Kakak!!!!" teriak Karin, Johan tidak peduli dengan teriakan adiknya dan memilih untuk keluar dari kamar adiknya.

"Dasar baperan, pantesan aja jomblo."

"Karina, Kakak denger ya kamu ngomong apa."

*****
Ini masih pukul setengah lima pagi, Amel masih merasa aneh melihat Junio yang sudah bangun sepagi ini.

"Junio kok udah bangun? Biasanya juga bangun jam 6." tanya Amel saat adik bungsunya itu menghampirinya di dapur.

"Gapapa, mau lihat kak Amel masak. Biasanya kan terima jadi aja."

Amel terkekeh pelan, "mau bantuin  bikin bekel buat Namira?"

"Boleh. Mau aku bantuin apa?"

"Bisa potong sosis itu kecil-kecil, kakak mau buat nasi goreng."

Junio menangguk, lalu mulai mengerjakan apa yang diperintahkan kakaknya.

"Kak Amel,"

"Hm..."

"Kakak kalo mau nikah, nikah aja. Gausah mikirin aku lagi. Aku pelan-pelan mau belajar masak.
Ntar kalo ditinggal kakak nikah biar gak kaget."

"Loh kenapa tiba-tiba ngomongin kakak nikah. Kamu denger Kak Amel ngomong sama Kak Chandra?"

"Hehehe dikit sih, tapi serius deh jangan jadikan aku alasan buat kakak menunda nikah. Junio udah gede, udah seharusnya aku bisa ngurus diri aku sendiri."

"Junio, dengerin Kak Amel deh. Kakak gak jadiin kamu alasan buat kakak gak nikah. Kamu gak usah khawatir, tugas kamu cuma belajar. Urusan rumah biar Kak Chandra sama Kak Amel yang urus. Kamu bantuin jagain Namira aja kami berdua udah seneng."

Cukup lama Junio membantu kakaknya di dapur, hingga pembicaraan serius ditengah kegiatan memasak mereka harus dihentikan.

"Jun, bangunin Namira gih terus kamu mandi. Udah jam enam."

"Siap kak."

Setelah sepeninggal Junio, Amel dibuat menghela napas kasar untuk kesekian kalinya. Keadaannya yang masih melajang menjadikan beban untuk kedua saudaranya. Kemarin Chandra sekarang Junio juga ikut membahas perihal itu, belum lagu ibunya yang berada di kampung kerap kali ikut menanyakan di sela-sela sesi telpon-telponan mereka setiap malam.

Kalau begini caranya Amel bisa stress sendiri. Ia tidak suka dipaksa, ia cenderung menganggap ini adalah beban sedangkan dirinya sendiri belum siap. Sepertinya Amel perlu menenangkan diri.

Tbc




Amel butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Amel butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran.

METANOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang