32

271K 31.3K 7.5K
                                    

"Jelasin ke gue apa yang sebenarnya terjadi?!" bentak Langit yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu kamar Violet.

Violet terlonjak di atas kasurnya.
"Kamu ngagetin tau! Kalau jantung aku copot kamu mau tanggung jawab?" serang Violet tak kalah ganas.

"Ga usah banyak basa-basi, jelasin ke gue yang sebenarnya." Langit berjalan masuk menghampiri Violet di atas kasur.

"Jelasin apa Langit?"

"Semuanya. Lo yang pertama gue liat saat bangun dari koma, lo pasti tau apa yang sebenarnya terjadi."

Jantung Violet berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Kerongkongannya terasa begitu kering.

"Kamu habis ketemu siapa?" tanya Violet ragu.

Langit menghembuskan napas pelan. "Ocha."

Gadis itu menundukkan kepalanya, tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.

Anak sial, batin Violet.

"Vi, ada yang lo sembunyiin dari gue?" Pertanyaan Langit membuat tubuh Violet menegang.

Langit meraih dagu gadis itu lalu mengangkatnya, membuat mata mereka langsung bertatapan.

"Dari ekspresi lo sepertinya memang ada yang lo sembunyiin."

Violet menggelengkan kepalanya, matanya mulai berair.

"Apa yang lo sembunyiin dari gue?" Langit mendesak Violet, tangannya kini mencengkeram bahu gadis itu.

"Langit."

"Jelasin!" Tangan pria itu semakin menekan bahu Violet.

"Jelasin atau gue nggak segan-segan untuk ngelukain lo!"

"Oke fine, aku jelasin." Ucapan Violet membuat tangan Langit terlepas dari bahunya.

Gadis itu mengusap setetes air mata yang turun di pipinya.

"Tapi kamu harus janji."

"Janji apa?" tanya Langit cepat.

"Setelah aku cerita yang sebenarnya, ku harap..."

Gadis itu menjeda ucapannya, menatap dalam mata Langit.

"...kamu tidak membenci Ocha."

°°°

Violet berjalan keluar dari dalam kamar mandi, gadis itu bersenandung riang, Langit sudah pulang satu jam yang lalu.

Gadis itu duduk di kursi meja riasnya, menatap pantulan wajahnya di cermin.

"Kerja bagus Violet, sekarang Langit udah ada di bawah kendali lo." Gadis itu tersenyum sinis.

Violet mengambil ponselnya lalu yang tergeletak begitu saja di atas meja, lalu segera menghubungi seseorang.

Setelah menunggu agak lama akhirnya panggilan itu tersambung.

"Thank's atas informasinya," ucap gadis itu membuka pembicaraan.

"Gara-gara lo gue bisa ngarang cerita terlebih dahulu." Gadis itu terlihat terkekeh kecil.

Ia kembali diam, mendengarkan seseorang yang sedang berbicara di ujung sana.

Sebelum bibirnya kembali tertarik ke samping.
"Okey, lo mau berapa pun bakalan gue kasih."

°°°

Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, namun gadis itu masih larut dalam lamunannya di atas kasur. Ia menatap kosong dinding di hadapannya sambil sesekali ia menghela napas panjang. Jejak air mata di pipinya masih begitu jelas terlihat.

Pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok Cakra dari baliknya, pria itu menghela napas pelan kemudian berjalan mendekat ke arah Ocha.

"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya pria itu lembut, ia duduk di samping adiknya.

Ocha menoleh ke arah Cakra. "Entahlah-" Gadis itu terlihat berpikir sejenak. "Ocha hanya ngerasa ada sesuatu yang salah dan harus segera diperbaiki."

Cakra menggapai tangan adiknya itu lalu menggenggamnya erat. "Lo jangan banyak pikiran Cha, bentar lagi lo mau UAS, persiapin matang-matang." Ocha menganggukkan kepalanya pelan.

Gadis itu mendekatkan dirinya ke tubuh Cakra, lalu memeluknya dari samping. "Kak Cakra nanti bakalan lanjut di mana?"

"Masih banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk ngambil keputusan itu Cha-" Cakra menghela nafas panjang. "Papa nyuruh gue buat kuliah di luar."

Ocha melepaskan pelukannya.
"Di luar? Luar negeri?" Cakra mengangguk sebagai balasannya.

"Hah? Trus kalau kakak pergi, Ocha sama siapa?"

Kali ini Cakra yang memeluk tubuh adiknya itu.
"Itu lah gue bilang, butuh banyak pertimbangan, Cha."

"Antara gue yang bakalan tetap kuliah disini atau lo yang bakalan ikut gue ke luar." Ocha balas memeluk kakanya.

"Ocha ga mau pisah lagi kak, dari kakak."

"Iya Cha, sama. Gue juga."

Cakra melepaskan pelukannya. "Sekarang tidur, besok sekolah."

"Iya kak," ucap Ocha setelah mendapat kecupan di puncak kepalanya.

"Selamat tidur Ocha," ucap Cakra lalu keluar.

Ocha masih duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke pintu. "Selamat tidur Kak Cakra."

Ia kemudian menangkup wajahnya dengan kedua tangan, dia menunduk, mengambil napas panjang lalu berdiri.

Ocha melangkah maju mendekat ke jendela, ia menyibakkan tirai lalu tampaklah penampakan Kota Jakarta di malam hari yang sedang hujan. Ia bisa melihat bayangannya di kaca, dengan cahaya remang-remang dari kamar itu membuat Kota Jakarta terlihat lebih bercahaya dari situ.

"Kau tahu Langit...."

"Sekarang yang mendorong ku hanyalah secercah harapan dan kepercayaan yang buram."

°°°

Pria itu terlihat bergelung di bawah selimut miliknya, sesekali ia membolak-balikkan badannya mencari posisi yang nyaman, ia ingin tidur cepat namun ia tidak bisa.

"Akh sialan, kenapa biar mau tidur susah amat sih?" tanya Langit entah ke siapa. Ia bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju ke balkon kamar.

Suara hujan terdengar jelas di telinganya. Angin malam menerbangkan helaian rambut hitamnya yang lebat. Ia menutup kedua kelopak matanya, menikmati hawa dingin yang entah kenapa membuatnya lebih tenang.

Langit kembali membuka mata, menatap jauh ke depan, menikmati pemandangan indah malam Kota Jakarta. Tatapannya berubah menjadi sendu. Ia kembali mengingat tentang Ocha, gadis yang akhir-akhir ini selalu berada dalam pikirannya.

"Kenapa lo bisa sejahat itu Cha?" tanya pria itu pelan, seakan-akan dirinya sedang berbisik pada aliran angin yang berhembus.

"Lo harusnya tau dan mengerti...."

"Lo begitu indah untuk jadi jahat."

°°°
tbc.

Coba tebak Violet ngomong apa ke Langit.

Jadi pengen ngehujat:(

SEREINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang