Chapter 30

7 2 0
                                    

30 maret 2020

"Aku lebih dulu dari mereka, apa kau masih ingin hidup begini?"

"Jangan sakiti mereka."

"Apa kamu tahu siapa saja mereka."

"Iya anakku dan teman-temannya."

"Apa kau tidak punya informasi lebih lengkap?"

"Sama sekali tidak. Aku hanya berdoa semoga kamu cepat bertobat."

"Aku juga berdoa agar kamu cepat mati."

"Tembak dia."

_________

"Faki, Faki, tungguin. Kalian jalan apa lari maeathon si!" Kesal Fanda sambil terus berjalan.

"Fan, aku juga cape, haus lagi."

"Ki.. jangan tinggalin kita dong!"

"Eh, bubur ayam enak kali."

"Tadi ngatain gue laperan liat bubur ayam aja ngiler." Fanda melirik Stella dengan kesal.

"Laper ya Alloh."

"Eh mereka udah jauh, ayo Stella."

"Semangat, Fan!"

Mereka berdua berlari mengejar Faki dan Galang. Bersiul riang melupakan pejahat yang mengejarnya dan perut yang lapar.

"Dorr!" Suara tembakan terdengar begitu keras dari arah yang tak diketahui dua gadis itu.

"Aw.. darah.." Stella meringis kesakitan ketika kakinya terkena peluru tembakan yang entah darimana asalnya.

"Stella..." teriak Fanda kaget melihat Stella memegangi kakinya yang berdarah.

"Sialan siapa yang berani nembak temenku! Keluar lu!" Fanda berteriak. Orang-orang sepi pagi itu, padahal ini jalan keluar dari stasiun. Benar-benar mencurigakan.

"Fan, tolong ambilin syal di ranselku. Darahnya ga berhenti keluar, lemes rasanya."

Tanpa menjawab Fanda mencari syal coklat bergaris putih dan abu. Tanpa menunggu waktu lama, Fanda langsung saja mengikat syal itu ke kaki Stella agar bisa menghentikan darah yang keluar.

Ponsel Stella berdering. Satu pesan dari Rabetta membuatnya melupakan rasa sakit di kakinya.

Arnetta adalah dalang semuanya. Are you okey,Stella? Bagaimanapun sekarang kamu harus bergegas bertemu ayahnya Faki. Beliau pasti sedang tidak baik-baik saja.

Jantung Stella terasa berdegup kencang, darahnya nyaris tak keluar lagi namun amarahnya begitu memuncak sekarang.

Tanpa sadar Stella dan Fanda yang duduk di aspal jalanan dihampiri Faki dan Galang dengan nafas tersengal-sengal karena lari mencari kedua anak gadis itu. Faki yang berdiri di dekat Stella membaca pesan di ponsel Stella dengan jelas. Tanpa basa basi, Faki menghentikan taksi yang lewat.

"Ayo." Ajak Faki dengan muka memerah dan suaranya bergetar.

Stella merasa salah, dia tidak tahu apa-apa tentang ulah Arnetta namun sikap Faki terlihat kesal kepadanya. Saat semuanya sudah didalam taksi, masing-masing orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Terkecuali Stella, posisi duduknya di jok belakang diapit Galang dan Fanda namun dia justru mengeluarkan kotak p3k dari ranselnya. Tidak ada yang melarang, atau menegur Stella tanpa ragu membuka bekas tembakan dan menyuntikkan bius dikakinya. Sopir taksi yang sedari tadi ikut hening akhirnya berkomentar "Nak, apa mau ke rumah sakit. Itu lukanya parah."

"Gapapa Pak, kita langsung ke tempat tujuan." Ucap Stella sambil mencari alat-alat kesehatan didalam kotak p3k.

"Stella, kamu cari apa?" Kini Fanda berbicara karena dia tidak yakin akan tindakan Stella yang berbahaya ini.

"Stella!" Teriak Galang sambil lompat, kini seluruh tubuhnya membeku dan berada diatas jok mobil. Siapa yang tak panik melihat orang mengambil peluru dengan tangan kosong? Stella melakukannya tanpa pikir panjang. Dia merasakan sensasi perih dan denyutan daging-daging yang ada di kakinya. Beberapa kali matanya terpejam menahan rasa sakit, atau lebih tepatnya rasa ngilu. Karena biusan yang dipakai Stella cukup kuat.

"Apa kamu gila, Stella?" Tanya Galang dengan jari yang dia gigit karena ngilu melihat banyaknya darah yang bercucur.

"Diem!" Bentak Fanda, Fanda tahu kali ini Stella akan menjahit lukanya sendiri. Dengan gemetar Fanda membantu sebisanya.

"Lu yakin?"

Stella mengangguk.

Galang hanya bergeleng-geleng kepala  melihat aksi Stella yang mengerikan itu. Sungguh diluar nalar, infeksi atau mati seperti bukan sesuatu yang Stella takutkan. Bahkan, dia bukanlah mahasiswa kedokteran. Fanda beberapa kali menatap tajam Galang memberinya kode untuk diam. Namun Galang tak berhentinya takjub.

"Udah sampai." Faki akhirnya membuka mulutnya.

"Stella, kamu bisa didalam mobil dulu. Kita bertiga akan urus." Ucap Galang meyakinkan, rautnya yang tadi menggelikan berubah menjadi menyeramkan.

"Tidak ada yang bisa melumpuhkan Arnetta kecuali aku. Dan aku akan menemui Ayahku." Ucap Stella sambil keluar taksi.

Fanda buru-buru membayar taksi dan mengikuti Stella. Disusul Faki dan Galang yang membawakan ransel milik Stella.

"Ayah!" Teriak Faki yang melihat Ayahnya terkapar di depan rumah.

Stella melihat dari kejauhan, dia ikut menghampiri Ayah Faki yang diinfokan Rabetta Ayahnya juga. Benarkah? Jujur, Stella ingin menyanggahnya. Namun, rasanya tak bisa setelah melihat mata ayah Faki adalah mata biru yang sering Oma ceritakan.

Faki memapah Ayahnya ke sofa, berkali-kali Faki memeriksa badan ayahnya yang masih utuh. Tanpa cidera.

"Ayah, siapa yang melakukan ini?" Ucap Faki sambil memeluk Ayahnya.

"Stella.." panggil Ayah Faki membuat semuanya terkejut.

"Kamu ayahku?" Tanya Stella tenang. Diluar dugaan, Stella terlihat begitu tenang saat melihat Hasan ayah Faki.

"Hasan Hamzani, nama Ayahku bukan itu." Terang Stella.

"Darimana kau tahu nama ayahku?" Faki menatap tajam Stella. Namun, tidak ada rasa ketakutan didalam benak Stella. Faki memberikan ultimatum, namun Stella tak akan menggubrisnya.

"Arnetta tidak hanya mengganti hari ulang tahunmu. Tapi aku juga harus mengganti namaku."

"Catur Adi Wijaya?"

Hasan mengangguk.

Faki terkejut, dia tidak tahu apa-apa tentang Ayahnya. Bahkan Stella lebih tahu Hasan dibanding dirinya.

Air mata Stella jatuh. Namun dia tetap berdiri kokoh ditempatnya. Arnetta begitu kejam, keegoisannya melampaui batas. Catur dalam bahasa sansekerta artinya empat. Dan aku lahir ditanggal empat. Arnetta tetraphobia, suami dan anaknya harus menanggung. Mungkin ini bukan sekedar pobia tapi keegoisan yang tak terhingga.

____

Rest BrokenWhere stories live. Discover now