Chapter 19

4 4 2
                                    


7 februari 2020

Sepuluh menit sudah berlalu semenjak mobil mewah hitam menghadang jalan yang akan dilewati Stella dan teman-temannya. Terlihat jelas dari belakang, keringat menetes diwajah Faki padahal mobil ini kan pake ac, jelas ini bukan perkara suhu ruangan namun keadaan yang membuat semua orang bergetar hatinya.

Pak Tana hanya mengelus-elus dagunya sambil mencari akal, beberapa kali menatap bos kecilnya. Stella masih terlihat tenang. Fanda dan Galang terlihat begitu panik. Apalagi Fanda sangat merasa bersalah atas sikapnya. Kalau saja Fanda tak merengek minta pulang dan mengambil baju ganti semua ini tak akan terjadi atau setidaknya Fanda mampu menahan rasa ingin bermain gawai disaat genting mungkin ini pun bisa terhindari. Tetapi, bagi Fanda kini bukan masalah itu yang harus dipikirkan. Masalahnya, benarkah ini orang yang memburunya dan kedua temannya?

"Biarkan aku keluar untuk mengecek keadaan." Ucap Faki memecahkan keheningan diantara kepanikan yang ada pada masing-masing diri kami.

"Gue aja," ucap Fanda buru-buru membuka pintu mobil tanpa bisa kami cegah.

Baru saja beberapa langkah, terlihat jelas dua orang pemilik mobil keluar. Dengan pakaian serba hitam dan muka yang sangat mengerikan, Stella yakin 80% kalo itu adalah komplotan penjahat yang memburu ketiga temannya.

Fanda berusaha tenang, meskipun keringat mengucur deras membasahi peluhnya. Jantungnya berdetak sangat cepat tiga kali lipat dari biasanya, tangannya bergetar begitu hebat tanpa bisa dikontrol. Kini, Fanda seperti menyerahkan nyawanya.

"Mana dua temanmu lagi?" Tanya penjahat berkacamata hitam dengan tubuh kekarnya.

"A--." Fanda terbata, mulutnya seolah terkunci saking takutnya. Rasa ketakutan menyertai dirinya.

Tanpa aba-aba dan perhatian kami didalam mobil, dari arah tak terduga tembakan peluru menembus kaca mobil dekat Faki duduk. Pak Tana yang berada disamping Faki kaget dan panik. "Nak, duduk kebelakang!"

"Tapi pak-"

PLAK!!

Beberapa peluru kembali menembak kaca mobil dekat Faki. Stella mengamati arah peluru datang, sepertinya ini dari atas rumah penduduk dan mengapa area komplek sesepi ini? Begitu batin Stella.

Padahal gang-gang kecil biasa dihiasi anak kecil yang main lari-larian dijalan atau segerombol ibu-ibu yang sedang bergunjing di teras rumah. Galang yang berada di dekat Stella mencoba mengambil air putih yang kebetulan ada di mobil. Baru setengah Galang meneguknya, Stella merambas botol mineral itu dari tangan Galang. Galang hanya pasrah, sembari berdoa agar dia tidak mati hari ini.

"Ki, minumlah. Baru kamu keluar temani Fanda yang kini ditodong pistol." Ucap Stella tenang, meskipun ada sedikit gentar didadanya.

"Stella," ucap Faki menatapnya lembut.

"Lakukan saja perintahku." Ucap Stella yang akhirnya menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dengan kedua tangan yang melipat didadanya.

"Stell, kamu ga takut sama sekali, kenapa kau yang tak keluar?" Ucapan Galang lebih terlihat tegas dibanding mukanya yang pucat sekarang.

"Aku akan melibatkan diri jika kalian benar-benar tidak bisa menghadapi ini." Ucap Stella tenang.

Faki menatap Stella dari cermin depan, kini setelah ucapan Stella kepada Galang tadi, Faki mempunyai tekad kuat bahwa benar Stella bisa saja berurusan kalau dia tidak bisa menghadapi semua ini. Sudah cukup merepotkan Stella setelah kepulangannya dari Singapura. Kini, dengan segenap keberanian yang ada Faki membuka pintu mobil dan berjalan ke arah Fanda.

"Kau tak bisa lepas dari kami." Ucap lelaki yang menodong pistol ke arah Fanda.

Faki mengagkat kedua tangannya. Bukan berarti menyerah, namun setidaknya tidak akan ada peluru yang lepas mengenai tubuhnya.

"Panggil lagi satu temanmu!" Pintanya dengan nada yang terdengar sarkas.

"Aku akan memanggilnya." Ucap Fanda, namun sebelum Fanda melangkah sebuah peluru hampir mendarat dikepalanya. Untung saja Fanda sigap hingga sekarang dia berjongkok dan menutup telinganya.

"Bangun!" Perintah lelaki jahat itu lagi.

Fanda kembali berdiri dengan mengangkat kedua tangannya. Tanpa sadar air mata sudah mendarat dipipinya.

"Kamu, panggil temanmu sekarang!" Ucap penjahat kepada Faki.

Faki memberi kode kepada Galang untuk keluar. Dari dalam mobil, Galang mengerti dan langsung keluar.

Kini ketiganya berdiri bersampingan.

Dari arah samping ada dua penembak yang akan menembakan peluru ke arah Faki dan Galang. Dan lelaki penyuruh itu, fokus kepada Fanda.

"Kalian akan mati sekarang." Ucap seorang wanita yang berpakaian serba hitam menggunakan masker juga kacamata hitam.

"Ampun-" ucap Galang merespon tubuhnya yamg sedang dalam bahaya.

"Kalian meminta ampun?" Tanya wanita itu sarkas.

"Bahkan teriakan kalian tidak akan membuat satu orang pun membantu kalian.

Kini dari matanya saja wanita itu terlihat jahat. Namun, Faki yang mempunya indra penglihatan tajam menatap matanya seolah bukan sosok asing, namun siapakah dia?

Suaranya familiar, gerak-geriknya telihat tak asing, bahkan matanya hampir sama seperti mata yang sering ditatap, tetapi siapa?

"Kau, kenapa menatapku seperti itu?" Tanya wanita itu yang sadar ditatap Faki secara berlebihan.

Faki merutuki kecerobohannya, ketika melihat tiga penjahat dengan masing-masing pistol ditangan, rasanya Faki tak akan selamat, mungkin dia akan selamat jika Stella keluar dari mobil, entah dari mana dia menyelamatkan. Namun, perasaan Faki, Stella adalah penyelamatnya hari ini, Faki benar-benar butuh Stella sekarang.

"Hitungan ketiga, mungkin nafas kalian sudah tak berhembus lagi." Ucap wanita itu picik.

Fanda menatap nanar wanita penjahat itu, bagaimana bisa seorang wanita tak punya hati dengan memnyuruh orang lain membunuh. Atau bahkan dia akan membunuh kami juga, bisa saja setelah ditembak mereka mencabik-cabik badan Fanda, Galang juga Faki. Pikiran Fanda berkecamuk, memikirkan nasibnya yang sudah diujung tanduk. Tiba-tiba pikirannya menuju Stella, dimana dia? Masih dimobilkah dia? Duduk santai tanpa membantu temannya yang akan mati ini? Sungguh, Fanda tak bisa berpikir jernih.

Galang hanya pasrah, bahwa jika ini hari kematiannya, ya mungkin sudah takdir. Jikalau dia lolos dari tembakan maut ini Galang akan memakan makanan yang belum pernah dia makan.

"Hitungan tiga, tembak." Pekiknya lantang.

"Satu..."

"Dua.."

"Berhentii!"

________

Rest BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang