Rugby diam membisu. Sementara Gavin tetap menatap dengan tatapan ingin tahu yang belum bisa hilang begitu saja. Sedangkan Marco dan Zidane menutup rapat mulut mereka, tidak ingin menambah ketegangan yang sudah ada.

"Kenapa sih kamu selalu mementingkan diri kamu sendiri? Apa susahnya cerita? Kalau menurut kamu sulit untuk terbuka untuk apa pacaran? Kalau kamu nggak butuh laki-laki lantas untuk apa ada rencana menikah?" Gavin mulai meninggikan suaranya. Dia bukan hanya kaget tapi juga sedih setelah mendengar fakta yang dibeberkan Rugby.

Rugby menunjuk pintu keluar. "Keluar."

"Aku akan tetap di sini sampai kamu ceritain semuanya."

"Terserah. Gue mau turun ke bawah karena punya urusan lebih penting daripada jawab pertanyaan lo."

Sebelum meraih pintu Rugby terpaksa berhenti saat mendengar ucapan Gavin.

"Apa kamu yakin mau bertunangan sama pacar kamu itu?"

Rugby menoleh ke belakang. "Yakin. Kenapa? Lo cemburu gue udah move on?"

"Kamu udah cari tahu tentang calon tunangan kamu?"

Rugby mendelik tajam. "Apa sih maksud lo? Nggak usah ikut campur urusan gue!"

"Apa kamu tau kalo dia gay?"

Marco memukul pundak Gavin. Dia berbisik, "Gav, kalo cemburu jangan begini dong. Jangan pakai cara kotor dengan mengada-ngada begitu."

Zidane menyela, "Serius lo, Gav?"

Rugby terperanjat mendengar penuturan Gavin. Gay? Tidak mungkin. Dia mengenal pacar yang sudah dipacarinya selama dua tahun. Mana mungkin pacarnya gay.

"Aku sedih dengar kamu mau menikah, tapi bukan berarti aku mengada-ngada," ucap Gavin, yang mana sudah mendekati Rugby yang berdiri mematung di depan pintu. "Kalo kamu nggak percaya ya udah tapi aku nggak mungkin bohong."

"Apa sih maksud lo nuduh kayak gitu?" Rugby menatap kesal. "Kalo lo nggak suka liat gue bahagia nggak perlu buat gosip murahan."

"Justru karena aku sayang kamu makanya aku kasih tahu. Aku nggak mau kamu terluka."

"Bullshit! Selama tujuh tahun ini aja lo bikin gue terluka. Terus sekarang muncul tanpa dosa seolah hal yang lo lakukan bukan apa-apa. Gila lo!"

"Memangnya kamu doang yang terluka? Aku juga terluka, Rugby. Lebih terluka lagi waktu tahu hal yang kamu bilang tadi. Aku merasa bodoh nggak tau apa-apa."

"Pokoknya gue nggak percaya sama omongan lo jadi jangan ganggu hidup gue lagi."

Rugby bergegas keluar dari kamar hotel meninggalkan Gavin dan kedua sepupunya. Sementara itu, Marco dan Zidane saling melempar tatap. Mereka melihat Gavin secara bersamaan.

"Gav, serius yang tadi lo bilang? Jangan mentang-mentang mau merebut hati mantan, lo jadi tukang bohong gitu deh," tanya Zidane.

"Gue serius. Buat apa sih bohong? Pacarnya itu pacaran sama temannya Savannah," jawab Gavin.

"Savannah mana?" tanya Marco. "Savannah sepupu kita atau ada manusia lain bernama Savannah?"

"Savannah Londonia Wijaya. Siapa yang punya nama kayak gitu?"

"Anjirrrrr! Berarti pacarnya Rugby beneran gay? Gue nggak paham deh. Kalau dia gay ngapain pacaran sama Rugby?" tanya Marco bingung.

"Dia pacaran sama Rugby cuma untuk menutupi hal itu supaya keluarganya nggak tahu. Waktu gue minta Savannah cari kabar tentang Rugby, dia mulai cari tahu pacarnya. Setelah itu Savannah tahu kalau temannya pacaran sama pacarnya Rugby. Terus Savannah nanya ke temannya soal pacarnya Rugby. Dan ya, temannya jelasin banyak hal," jawab Gavin.

Jauh sebelum dia mencari keberadaan Rugby, dia lebih dulu menanyakan kabarnya kepada Savannah dan kakaknya—Gandy. Dia tahu Rugby akan menikah pun atas informasi yang diberikan Savannah. Kedatangannya menemui Rugby bukan hanya untuk minta maaf tapi sekalian memberitahu rahasia yang ditutupi pacarnya.

"Sumpah... gue speechless." Marco geleng-geleng kepala. "Terus gimana kalau Rugby nggak mau percaya?"

"Gue bikin supaya acaranya batal," jawab Gavin enteng.

Marco geleng-geleng tidak setuju. "Jangan gila lo, Badrun. Mau disambit emak bapaknya pakai es batu? Kalau gue jadi lo mending balik. Kalau nggak percaya ya udah rasain. Udah dibilangin tapi ngeselin."

"Gue lapar deh. Kita cabut aja yuk, Gav. Jangan buang waktu di sini. Percuma aja si Rugby mah kayak celana dalam baru kaku banget," timpal Zidane.

Tanpa pikir panjang Gavin membuka pintu kamar. Tepat setelah pintu terbuka dirinya terkejut hingga membuat kedua sepupunya menabrak punggungnya saat berhenti mendadak.

Gavin mendapati Rugby masih berdiri di depan pintu. Wajah perempuan itu terlihat sedih dan pandangannya seolah kosong seperti terguncang.

"Rugby..."

🌹 🌹 🌹

Jangan lupa vote dan komen semuanya😘😘😘🤗

Follow IG: anothermissjo

Follow IG: anothermissjo

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
Hello, Ex-Boyfriend! (SUDAH TERBIT)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن