"Sekarang jam berapa?" tanyanya seraya membuka sedikit matanya.

"Hampir jam sembilan,"

Ia menarik kembali selimut itu lalu menutup seluruh tubuhnya.

"Dek?" panggilku mulai geram.

"Jam sepuluh kurang sepuluh bangunin aku," ujarnya dibalik selimut.

"Jam kosong, dong!!"

_____

Tepat jam sembilan lewat lima puluh menit aku membangunkan Aira. Aku sudah marah-marah tapi dia masih begitu santai dan belum mau membuka matanya.

"Sayang, bangun!"

"Aira Nazila... udah mau jam sepuluh!!"

"Kalau kamu nggak bangun juga, aku tidurin kamu!" aku mengancamnya.

Bukannya takut ia malah merentangkan kedua tangannya. "Silakan," ujarnya pelan. Aku semakin kesal saja dibuatnya.

"Aku serius kenapa kamu malah main-main?"

"Lah bukannya kamu yang ngajak main?" balasnya polos.

Ya Allah anak ini...

Aku menggendongnya lalu melangkah ke kamar mandi. Ku hidupkan shower lalu ku arahkan tepat ke kepalanya. Katakan aku suami kejam, tapi aku sudah tidak tahu dengan cara apa lagi membuatnya terjaga.

"Sayang, aku kedinginan!" protesnya.

"Pokoknya kamu harus mandi dan bersiap-siap. Atau kamu mau sekalian aku yang mandikan?" aku tahu ia pasti akan ketakutan. Tapi aku takjub dengan jawabannya.

"Iya, boleh deh,"

What?

"Nanti ya, kalau udah bergelar jenazah," ucapku kesal lalu keluar seraya membanting pintu kamar mandi.

Aku membuka ponselnya untuk membuka WhatsApp istriku.

"Sayang, cepetan mandinya! yang lain pada absen nih. Absennya melalui voice call. Bagi yang nggak angkat dianggap gak hadir!!" teriakku.

Suara air di kamar mandi terdengar begitu cepat, menandakan Aira begitu terburu-buru dengan ritual mandinya. Aku tersenyum geli.

"Sayang, handuknya tolong ambilkan!"

"Ogah, keluar aja gitu seadanya," balasku cuek.

"Ya Allah, bang Ari, tolong!!"

"Nggak mau!"

Rengekan, janji, dan sebagainya ia hadirkan, membuat kupingku bosan untuk mendengarkan. Akhirnya aku mengambilkan handuk dan menyerahkannya.

"Lain kali jangan bergadang, kan ngantuk jadinya," kataku ketika ia sudah keluar dari kamar mandi.

"Udah absen, belum?" tanyanya serius.

"Au ah dosen kamu. Katanya manajemen, tapi dosennya belum juga muncul," balasku.

"Tadi Abang bilang kalau teman-teman aku lagi absen?" tanyanya bingung.

"Itu siasat biar kamu cepat mandi," ujar ku seraya merebahkan tubuhku diatas ranjang. Aku dapat melihat raut kesalnya.

"Kenapa masih berdiri kayak patung? cepat pake baju! jangan coba-coba menggodaku pagi-pagi,"

Ia segera membuka lemari dan mencari pakaiannya.

Lima belas menit kemudian, dosen Aira baru muncul. Ternyata dosennya baru saja menjemput anaknya dari pesantren. Virus yang mewabah membuat keputusan nasional hadir. Sekolah dan kampus diliburkan, lalu diganti dengan belajar di rumah dan sistem online.

Saat ini Aira duduk di sebelahku seraya meminum susu yang tadinya ku bawa. Mata kamu sama-sama fokus menghadap laptop untuk menonton video yang baru saja dikirim oleh sang dosen via email.

Tangan kiri ku  kubiarkan memeluk punggungnya, sementara tangan kanan ku mengusap-usap perutnya yang masih rata itu.

"Nanti kita ke rumah sakit ya, kita harus cek apa kamu beneran hamil atau tidak," kataku.

"Bukannya kita nggak diperbolehkan keluar rumah selama dua minggu, ya?"

"Kecuali untuk kepentingan mendesak," balasku kembali.

"Nggak ah, aku takut. Kalau di rumah sakit ada yang suspect terkena virus, terus terjangkit ke kita 'kan bahaya.." Aira beralasan.

Apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Sepertinya niatku untuk mengetahui kebenaran itu harus ku urungkan dulu.

Sebagai warga negara yang baik, kami harus patuh terhadap peraturan pemerintah, karena kami tahu jika ini semua dilakukan untuk kebaikan. Ini sebagai antisipasi agar angka kematian yang disebabkan oleh virus itu tidak semakin bertambah.

Aku merasa miris melihat orang yang terlalu santai dengan penyakit yang serius ini. Oke, kita tidak perlu panik karena itu hanya akan membuang waktu dan energi. Tetapi setidaknya kita waspada dan mendengarkan perintah dari negara jika tidak mau menambah masalah.

Aku terenyuh melihat sebagian pemuda yang katanya generasi milenial, mereka malah menjadikan ini sebagai bahan tertawaan. Ketika Allah mendatangkan suatu penyakit mereka malah membuat meme. Padahal tanpa kita sadari penyakit ini datang karena sudah terlalu banyak maksiat yang kita lakukan, sehingga bumi menjadi gempar.

ما نزل بلاء إلا بذنب ولا رفع إلا بتوبة

"Tidaklah bala bencana turun melainkan karena (adanya) dosa, dan ia tidak akan diangkat kecuali dengan taubat"
Saydina A'li

(Ad-Da' wa Ad-Dawa' - Ibnul Qayyim)


Semoga bermanfaat ya readers
Semoga kita semua dijauhkan dari bala dan penyakit.
Aamiinn.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now