"Terima kasih karena sudah tutup mulut." Jaemin melepaskan cekikannya dan kembali melangkah mundur dari hadapan Jeongin.
"Uhuk, uhuk!" Jeongin masih terbatuk-batuk, tubuhnya membungkuk mengatur nafasnya, mengumpulkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru. Ia masih tidak percaya bahwa Jaemin tak jadi membunuhnya.
Saat nafasnya sudah kembali normal dan enakan, Jeongin memandang Jaemin menuntut jawaban. "Kenapa sunbae tidak jadi membunuhku?" tanya Jeongin.
Jaemin tersenyum meneduhkan, membuat jantung Jeongin berdetak lebih cepat ketika melihat senyuman kakak kelas yang dikaguminya itu. "Kenapa aku harus membunuhmu?"
"A—aku sudah mengetahui identitas sunbae yang sebenarnya?" jawab Jeongin yang malah terdengar seperti bertanya.
"Tidak ada orang yang membayarku untuk membunuhmu. Aku takkan melakukannya."
Jeongin tak percaya akan apa yang dia dengar. Jaemin melepaskannya begitu saja. Ia pikir hidupnya akan berakhir hari ini. "Tapi, kenapa Jaemin sunbae?" tanyanya lagi, kebingungan.
"Kalau kau sudah mengetahui identitasku memangnya kenapa? Tidak masalah jika kau bisa tutup mulut. Kau tau bagaimana beratnya menjadi pewaris tunggal, kurasa kita bisa saling memahami disini." Jaemin tersenyum teduh ke arah Jeongin, membuat adik kelasnya merona.
Senyuman itu adalah senyuman yang seharian ini ia dapatkan selama berkencan. Tak bisa dipungkiri, perasaannya pada Jaemin memang semakin hari semakin bertambah saja. Yang awalnya hanya rasa kagum dan ingin berterima kasih, perasaan Jeongin semakin hari berubah menjadi rasa suka.
Ia sangat suka senyum Jaemin.
"Terima kasih sunbae." Jeongin tersenyum. Jaemin berjalan maju mendekati Jeongin.
"Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai terbunuh."
Setelah mengatakan hal itu, Jaemin mencium pipi Jeongin singkat. Ia kemudian mengacak rambut Jeongin gemas dan meninggalkan adik kelasnya itu seorang diri, mencerna apa yang barusan terjadi di dalam pent house dengan wajah merona karena bibir lembut Jaemin baru saja mendarat di pipinya.
Berjalan menjauh dari Jeongin, saat memasuki lift, Jaemin tidak mengerti kenapa Jeongin rela menyerahkan nyawanya begitu saja padanya.
Yang ia tahu, Jeongin adalah anak yang kuat dan tegar. Keduanya pun memiliki kemiripan, sama-sama menanggung beban berat sebagai seorang pewaris tunggal.
Dalam pikirannya, pandangan mata Jeongin yang tak bisa lepas darinya seharian mengingatkan Jaemin pada Renjun.
Ah, betapa ia merindukan Renjun dan bibirnya yang kecil itu.
'Injunie sedang apa ya?' tanya Jaemin dalam hati, membayangkan rasa bibir ranum Renjun yang lembut dan manis, membuatnya ingin menciumnya setiap waktu.
X
X
Selama Jaemin dan Jeongin menghabiskan waktu mereka berdua setelah pertandingan basket, Haechan, Mark dan Hyunjin masih di cafetaria hingga matahari terbenam. Ketiga siswa seangkatan SMA terelit se-Korea itu hanya bisa menghela nafas berat ketika menemukan Renjun dengan mata sembab berduaan dengan Jeno di cafetaria.
"Kau kenapa Injuna? Kenapa kau tidak memberi tahuku kalau kau menangis? Apa karena Jaemin?" Haechan bertanya, kedua tangannya menggenggam erat kedua tangan Renjun. Matanya menyelami tatapan sedih Renjun yang penuh luka.
Renjun diam, secara tidak langsung ia membenarkan tebakan Haechan.
"Aish.. Na Jaemin, aku akan membuat perhitungan dengannya." Haechan melepas genggamannya pada kedua tangan Renjun kemudian membuat gestur siap berkelahi dengan mengepalkan tangan kirinya dan meninju telapak tangan kanannya kuat.
YOU ARE READING
The Student ✦ Jaemren
FanfictionRenjun sudah terlanjur jatuh cinta dengan siswa baru itu walaupun ia tahu bahwa Na Jaemin adalah seorang pembunuh bayaran. [SUDAH DIBUKUKAN] Copyright © 2020 Todos los Derechos Reservados por: JOSIE
