Langit gelap kini menyelimuti kota Seoul. Semua orang terlelap dalam tidur mereka masing-masing. Kesunyian pun menyelimuti setiap sudut jalan. Hanya beberapa orang saja yang akan keluar pada jam-jam seperti ini. Siapa lagi jika bukan pekerja lembur, pekerja malam dan para kriminal berbahaya yang mengancam nyawa. Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari sekarang. Anak-anak sekolah tidak akan berkeliaran di jalanan pada jam ini kecuali satu orang siswa.
Siswa tersebut berdiri dengan tenang di depan sebuah rumah besar berpenjaga ketat. Kamera cctv ada di setiap sudut rumah. Anjing penjaga siap menggonggong dan mencabik dagingnya jika mereka mencium atau mendengar sesuatu yang asing di telinga mereka. Rambut berwarna pink milik siswa tersebut menari pelan karena hembusan angin malam. Ia masih berdiri terfokus pada gerbang tinggi di depannya.
Detik demi detik berlalu, siswa yang tak mengenakan jam tangan itu bahkan bisa mengetahui sudah berapa lama ia berdiri disana tanpa melihat jam. Kakinya berdiri kokoh di atas hoverboard warna hijaunya, matanya menatap kosong memperhitungkan rencana dalam otaknya.
2 menit berlalu, siswa berambut pink bernama Na Jaemin tersebut tetap berdiam diri tanpa ada niat masuk ke dalam rumah besar berpagar tinggi itu. Semua cctv sudah ia sadap sinyalnya sehingga tak bisa merekam kejadian apapun di dalam maupun di luar rumah tersebut. Kedua tangannya fokus memainkan tab pengendali drone yang kini terbang tenang di salah satu sudut rumah, titik buta dari para penjaga dan anjing-anjingnya, menitik target yang sedang bersiap makan malam bersama keluarganya.
Menit berikutnya, drone tersebut masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan beberapa tetes cairan untuk mengisi gelas berisi minuman yang ada di lantai tiga rumah tersebut. Semuanya berlangsung sangat singkat, cepat dan hening. Tak ada seorang pun yang menyadari kehadiran drone milik Jaemin yang sudah menjatuhkan racun mematikan ke dalam minuman targetnya hingga kemudian drone tersebut keluar lagi dan membidik gerak-gerik target dari luar.
Setelah sudah dipastikan sang target meminum minumannya, Jaemin segera menerbangkan drone tersebut sangat rendah dan berkamuflase pada pepohonan di sekitar rumah agar tidak ada seorang penjaga pun yang curiga. Ia melaju tenang dengan hoverboardnya menembus hening malam yang mencekam. Tak ada yang mencurigainya, taka ada satupun saksi yang melihatnya saat ia beraksi. Semuanya selalu berjalan sesuai rencana dan perhitungannya.
Saat Jaemin berbelok dari gang suara teriakan dan tangisan panik terdengar dari rumah targetnya tadi. Ia menyeringai dan berlalu dengan tenang membawa drone di tangannya, meninggalkan gang sepi nan gelap tersebut tanpa jejak kaki sedikitpun.
X
X
"Nana."
"Ya, eomma."
"Kau berhasil membunuhnya?" tanya seorang perempuan paruh baya kepada Jaemin saat Jaemin sudah pulang ke rumah besar atau bisa disebut mansion miliknya.
"Ya, eomma. Dia mati keracunan minumannya sendiri. Tidak ada yang melihatku karena cctv sudah kusadap sejam sebelum aku datang. Tidak ada tetangga di sekitar rumahnya. Radius sepanjang 100 meter rumahnya hanya dikelilingi pekarangan penuh pepohonan tinggi. Kupastikan tidak ada yang melihatku. Aku tidak meninggalkan jejak sama sekali." Jaemin masih membungkuk menjawab pertanyaan ibunya. Ia tidak berani menatap wajah ibunya sebelum ibunya mengizinkannya melakukan hal tersebut.
Ibu Jaemin terlihat sedikit puas dengan jawaban anaknya. "Butuh berapa lama kau membunuhnya?"
"Seminggu. 6 hari untuk menganalisa, memperhitungkan gerak dan kebiasaannya lalu satu hari untuk mengeksekusinya."
Plak!
Tamparan keras mengenai pipi kanan Jaemin hingga memerah. Laki-laki berambut pink itu masih tetap membungkuk, ekspresinya tetap tenang, tidak berubah sama sekali walaupun ia merasakan rasa panas dan sakit dari tamparan ibunya.
"Bodoh. Seharusnya kau bisa lebih hebat dari itu." Ibu Jaemin memandang remeh anak semata wayangnya. Tidak ada emosi marah atau apapun itu tersirat di wajahnya. Sama seperti ekspresi wajah Jaemin yang tetap tenang dan tak bisa dibaca.
Sebelum ibunya berlalu meninggalkan Jaemin, wanita paruh baya tersebut menendang Jaemin dengan tenaga penuh, membiarkan anaknya terpental hingga punggungnya membentur tembok. "Lain kali, lakukan dengan lebih baik."
Jaemin yang meringkuk karena tendangan ibunya, dengan segera bangkit berdiri lalu membungkuk lagi, "ya, eomma, aku akan melakukannya dengan lebih baik lagi."
Seperti itulah malam demi malam yang dilalui seorang Na Jaemin. Murid tercedas di sekolah menengah atas terelit di Korea Selatan adalah seorang pembunuh bayaran. Sejak ia masih sangat kecil, keluarganya mendidiknya untuk menjadi seorang pembunuh. Ia bahkan sudah belajar kimia dan alkimia sejak berumur 6 tahun. Anatomi tubuh manusia sejak 7 tahun dan segala macam ilmu yang sebenarnya belum dipelajari oleh anak-anak seumurannya.
Jaemin berjalan linglung menuju ke kamarnya di lantai atas. Masih dirasakannya rasa sakit di pipi dan perutnya karena ulah ibunya sendiri. Setiap malam, ia selalu mendapatkannya, tak pernah sekalipun ibunya puas dan memuji pekerjaannya. Saat ia membuka pintu kamarnya, seseorang sudah duduk di atas ranjangnya. Dengan sigap, Jaemin melemparkan pisau kecil yang ia sembunyikan di lengannya.
"Whoa, apakah ini caramu menyambut sahabatmu sendiri Nana?" orang tersebut menghindar dengan tangkas dari lemparan pisau Jaemin yang terfokus mengincar wajahnya. Yang ada, pisau Jaemin sudah menancap ke sisi ranjangnya sendiri.
"Aku benci melihatmu disini. Sudah berapa lama kau disini?" Jaemin tidak memperdulikan orang itu, ia melepaskan jaket dan kaosnya, menyisakan tubuhnya yang bertelanjang dada terlentang di atas sisi ranjang yang lain yang tidak ditempati oleh orang tersebut.
"Baru saja. Aku masuk lewat jendela. Sebenarnya aku ingin pindah ke sekolahmu dan ikut mengawasimu disana. Aku benci jika kau memiliki teman lain selain aku dan Mark hyung."
Jaemin terkekeh mendengar ocehan sahabatnya itu. "Bicara apa kau ini? Lakukan saja pekerjaanmu dengan benar. Tak usah pedulikan aku, Jeno-ya."
Sahabat Jaemin yang bernama Lee Jeno tersebut tersenyum mendengar balasan Jaemin. Kini ia ikut terlentang di atas ranjang sahabatnya itu, memandang ke langit-langit kamar Jaemin. "Mark hyung bilang, hari ini kau mendekati Renjun. Kau benar-benar tidak bisa melupakannya ya?"
"Walaupun dia tidak mengenaliku lagi, setidaknya aku bisa mendekatinya dari awal lagi bukan?" Ekspresi Jaemin yang sulit ditebak kini berubah sendu. Hanya pada Jeno lah ia bisa menunjukkan sisi manusianya, bukan sisi gelap dimana ia harus pintar berakting dan menyembunyikan perasaan serta nafsu membunuhnya.
"Kalau dia sampai mengingatmu, kau berada dalam masalah." Jeno memperingatkan Jaemin.
"Aku sudah punya rencana sendiri untuk Renjun. Dia tidak akan kubiarkan lepas lagi dariku." Jaemin bertekad.
"Walaupun Mark hyung bukan pembunuh bayaran seperti aku dan ayah, kau tetap harus melibatkannya dalam rencanamu, Nana."
"Ya, aku tau. Kakak tirimu itu sangat membantu di sekolahku."
"Pembunuh tidak akan melibatkan perasaan dalam melakukan pekerjaannya, Nana."
Hening. Tidak ada yang bersuara diantara kedua sahabat tersebut. Pandangan keduanya kini berubah serius masih tetap terfokus pada langit-langit kamar Jaemin.
"Jeno, jika aku harus membunuh Mark dalam misiku, kuharap kau tidak akan membunuhku."
"Tidak masalah. Pekerjaan tetaplah pekerjaan. Selesaikan urusanmu dengan Renjun secepat mungkin."
"Aku juga berharap begitu. Walau bagaimanapun, yang membunuh kedua orang tuanya adalah aku."
To be continued.
YOU ARE READING
The Student ✦ Jaemren
FanfictionRenjun sudah terlanjur jatuh cinta dengan siswa baru itu walaupun ia tahu bahwa Na Jaemin adalah seorang pembunuh bayaran. [SUDAH DIBUKUKAN] Copyright © 2020 Todos los Derechos Reservados por: JOSIE
