"Aku tidak pernah membenci Nana. Aku sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa membencinya." Renjun memejamkan matanya erat-erat, membuat air mata keluar lagi dari sana.
"Kau masih mencintainya?" tanya Jeno memastikan.
Renjun diam. Ia kemudian mengangguk pelan. "Dia cinta pertamaku, ciuman pertamaku, bagaimana bisa aku membencinya?" ujarnya kemudian.
"Tapi Nana sudah merusak hidupmu, Injunaa," Jeno menyandarkan pipinya pada kepala Renjun, memeluk siswa itu semakin erat.
"Apakah aku bodoh karena tetap mencintainya walau dia adalah pembunuh kedua orang tua kandungku, Nono?" Renjun melepaskan dirinya dari pelukan Jeno, menghapus air mata di pipinya kasar lalu menatap ke arah Jeno dalam-dalam, mencari jawaban yang selama ini tidak bisa ia temukan dari orang lain.
Tidak ada yang mengetahui masa lalu Renjun kecuali Jeno dan Jisung. Winwin bahkan tidak tahu jika orang tua Renjun mati dibunuh oleh anak berusia 10 tahun, 7 tahun yang lalu. Haechan yang menyandang gelar sebagai sahabatnya sendiri saja tidak tahu apa-apa tentang Renjun dan masa lalu kelam yang ia pikul sendirian.
Renjun hanya bercerita pada Winwin bahwa kedua orang tuanya mati dibunuh oleh perampok. Ia berbohong karena ingin menyelamatkan Nana pada waktu itu. Ia ingin melindungi Nana agar tidak dicari dan diburu oleh polisi atau bahkan anggota keluarga Renjun yang lain. Sehingga akhirnya ia harus tinggal bersama Winwin di Korea dan mencari beasiswa agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya Renjun sembunyikan di dalam hatinya. Hatinya benar-benar sudah tertutup rapat sejak 7 tahun yang lalu. Di dalamnya ada Nana, Jisung dan Jeno yang tak pernah bisa keluar dari sana.
"Bagaimana dengan Jaemin?" pertanyaan Jeno sukses membuat Renjun semakin sedih. Ia menyukai Jaemin bahkan mulai mencintainya. Tapi ketika Jeno muncul lagi di hadapannya sekarang, rasa itu memudar perlahan digantikan dengan harapan ia akan bertemu lagi dengan Nana suatu hari nanti karena hari ini saja, ia bisa bertemu dengan Jeno.
"Aku tidak tahu." Renjun menggeleng tak bisa menjawab. Perasaannya imbang untuk Nana dan Jaemin.
"Kau menyukainya kan?"
Renjun mengangguk.
"Kalau begitu kenapa tidak dengan Jaemin saja? Kau menyukainya, dia menyukaimu. Kalian juga sudah berciuman." Jeno memaksa, mendorong Renjun untuk melupakan masa-masa kelamnya dan sosok Nana sebagai pembunuh.
"Tidak semudah itu, Nono. Aku menyukai Jaemin karena Nana! Sikapnya mirip sekali dengan Nana! Cara berjalannya, caranya bicara, senyumnya, tawanya, caranya malu, caranya memperhatikan orang lain! Jaemin sangat mirip dengan Nana! Aku bahkan berharap bahwa mereka adalah orang yang sama!" Renjun meracau tak menghiraukan air matanya yang keluar semakin banyak.
Jeno hanya menghela nafas kasar. Ia bingung sendiri dengan Jaemin dan Renjun. Jujur saja ia tak tahu apa yang dicari Jaemin sampai harus merahasiakan identitasnya sampai sekarang. Padahal Renjun sudah jelas-jelas tak memiliki dendam dan bahkan masih mencintainya sampai detik ini. Jika ia jadi Jaemin, Jeno akan langsung menunjukkan identitasnya tanpa harus saling membodohi seperti ini dan menyakiti hati satu sama lain.
"Jaemin ya Jaemin, Nana ya Nana, mereka berbeda, Nono.." lanjut Renjun sambil terisak.
"Lalu kenapa kau tak memakai gelang pemberian dari Nana jika kau masih mencintainya?" Jeno masih meminta jawaban atas pertanyaan pertamanya.
Renjun menggeleng. "Aku berusaha membencinya selama ini. Memakai gelang itu hanya akan membuatku semakin lemah dan tidak fokus pada pendidikanku."
Jeno mengerti. Renjun sudah menjalani hidup yang berat. Hidup tanpa orang tua sejak umur 10 tahun. Tinggal dengan anggota keluarganya yang lain dan tak mau merepotkan mereka untuk biaya pendidikannya, maka dari itu Renjun memilih untuk mencari beasiswa agar tak merepotkan orang lain.
Renjun masih sama, masih tetap manusia berjiwa paling murni yang pernah ia temui seumur hidupnya. Jauh berbeda dengannya, Renjun sangat menghargai kehidupan dan akan ikut terlarut merasakan penderitaan orang lain karena empatinya yang begitu besar. Sedangkan Jeno dan Jaemin hanyalah pembunuh berdarah dingin yang bahkan sudah menghabisi banyak nyawa tanpa pernah menghargai sedikitpun arti kehidupan.
"Lalu dimana gelang itu sekarang?" tanya Jeno.
Obrolan mereka terpotong karena seruan Mark bersamaan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar. "Guys, aku lapar!"
Belum sempat Renjun menjawab pertanyaan Jeno, keduanya menoleh ke arah belakang, menjauhkan diri dari tubuh masing-masing. Mereka mendapati Mark sudah menenteng satu kresek belanjaan berisi beberapa camilan dan minuman kalengan juga jus peach pesanan Jeno untuk Jaemin.
"Renjunaa, kau kenapa menangis?" tanya Mark ketika melihat wajah Renjun kacau dan matanya merah karena habis menangis.
Renjun menggeleng, menghapus sisa-sisa air mata yang ada di kelopak mata dan pipinya.
"Katanya dia terlalu mencemaskan Jaemin, hyung," ujar Jeno melindungi Renjun.
"Ngomong-ngomong soal Jaemin, dia sudah tidur belum ya? Aku terlalu lama di supermarket tadi. Maaf ya." Mark mengeluarkan semua isi belanjaan satu per satu di atas meja makan.
"Iya, kau lama sekali. Apa sih yang kau lakukan di luar?" sembur Jeno.
"Salahkan teman Renjun, aku bertemu dengannya dan dia mengomeliku habis-habisan di supermarket. Karena di luar hujan deras, aku terpaksa mengantarnya. Jinjja, kupingku mau meledak rasanya mendengarnya mengoceh sepanjang perjalanan." Mark bercerita sambil mengomel seperti ibu-ibu. Yang membuatnya lama kembali ke rumah adalah Haechan.
"Maksudmu Haechan?" tanya Renjun.
"Siapa lagi temanmu di kelas kalau bukan dia?" Mark menanggapi.
"Kenapa Haechan mengomelimu?" tanya Renjun lagi karena Haechan bukan tipe orang yang mengomel panjang lebar jika tidak dipancing lebih dulu.
Mark menggaruk tengkuknya malu bercerita. "Semua gara-gara aku juga kok. Sudahlah, tak usah membahasnya. Aku akan ke atas untuk membangunkan Jaemin." Mark kemudian berjalan meninggalkan keduanya menuju kamar Jeno.
Jeno dan Renjun saling lempar pandangan bingung. "Pasti sudah terjadi sesuatu diantara mereka," kata Jeno, provokator yang sukses membuat Renjun penasaran dan ingin segera menanyakannya pada Haechan esok hari.
Menunggu beberapa menit, Jaemin dan Mark turun ke bawah. Cara berjalan Jaemin terlihat menyakitkan sampai Mark harus membantunya. Setelah semuanya siap di meja makan, Jaemin merajuk manja pada Jeno. "Jeno-ya, aku haus.." ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. Jaemin tidak sadar bahwa Renjun menyukai suara husky Jaemin yang sukses membuatnya merona.
"Nee, nee, tuan muda, ini jus peach mu. Kau tidak bisa minum susu kan." Mark yang duduk di samping Jaemin mengambilkan jusnya.
"Terima kasih, hyung." Jaemin tersenyum manis, matanya masih setengah terbuka.
"Jaemin, apa kau tidak suka susu?" tanya Renjun. Ia ingat betul bahwa Nana juga tidak suka susu.
Jaemin tersenyum pada Renjun. "Aku tidak bisa minum susu karena aku menderita lactose intolerance, Injunie."
Renjun hanya mengangguk. Nana dan Jaemin memang berbeda. Jaemin lebih dewasa daripada Nana. Jaemin bahkan tidak bisa mengonsumsi susu sama sekali. Berbeda dengan Nana, dulu mereka sering minum susu bersama walaupun Nana bilang bahwa dia tidak suka susu.
Jeno, Mark, Renjun dan Jaemin pun makan dalam diam, menikmati ramen buatan Jeno. Tidak ada yang tahu isi pikiran masing-masing.
Renjun yang bimbang karena memikirkan Jaemin dan Nana.
Jeno yang bingung mau bertingkah seperti apa ketika berada di dekat Jaemin dan Renjun.
Jaemin yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.
Dan terakhir, Mark yang masih memikirkan kejadian di supermarket ketika bertemu Haechan.
.
.
.
To be continued.
YOU ARE READING
The Student ✦ Jaemren
FanfictionRenjun sudah terlanjur jatuh cinta dengan siswa baru itu walaupun ia tahu bahwa Na Jaemin adalah seorang pembunuh bayaran. [SUDAH DIBUKUKAN] Copyright © 2020 Todos los Derechos Reservados por: JOSIE
Part 8
Start from the beginning
