"Udah berani nyerang gue ya, cupu, hm?" tanya Toni, mulai memajukan langkahnya. Ini tidak baik.

"Lo apaan ngatain cewek?" balas Dev.

Sungguh saat ini aku ingin tersanjung menyadari Dev yang menyerang Toni karena hendak membelaku. Akan tetapi, saat ini justru rasa cemas mendominasi diri. Bahkan dalam hati kecil, aku berharap Dev diam saja dan menghindar. Toni bukan lawan tanding seimbang bagi lelaki yang menghafal gerakan kata saja masih suka terbalik. Chuki lumayan power-nya, hanya saja masih lamban. Walaupun kuakui kuda-kudanya kokoh, mungkin karena lumayan sering berolah raga, tapi melawan Toni yang brutal? Bukan ide bagus. Sebaliknya, musibah yang nyata.

"Suka-suka gue. Hak mulut gue punya gue, bukan lo," ujar Toni.

"Cuma pengecut yang suka ngomong tanpa tau apa-apa." Dev berucap pelan lalu mendecih.

"Heh! Lo yang pengecut! Rebut dia dari gue lewat jalur belakang! Berdua-duaan di atap sekolah sampai hampir magrib gini!" erang Toni. Situasi semakin panas.

"Barusan gue dengar kalau dia enggak anggap lo." Aku menggigit bibir mendengar penuturan Dev. Di seberang, Toni menggeram.

"Ngajak duel, huh?"

Dev menggeleng. "Enggak. Enggak ada gunanya buang-buang waktu cuma buat nunjukin siapa yang lebih kuat. Cuma orang dungu yang lakuin itu," celetuk Dev santai.

Aku menepuk kening. Ia ingin menghindari perkelahian, tetapi kata-katanya malah memancing pertengkaran, Toni tentu saja menanggapi perkataan Dev sebagai tantangan.

"Pas. Gue dungu, lo pengecut! Padahal gue ngajak duel, enggak nyerang tiba-tiba dari belakang kayak lo yang ngerebut dia."

"Lo—"

"Dev, udah. Pulang aja. Enggak perlu dilayani." Aku memotong erangan Dev sebelum posisi semakin panas.

"Mendiang ayah gue pernah bilang, kalau laki-laki punya harga diri dan itu harus dipertahankan." Ucapannya membuatku tertegun lalu mendesah kesal.

"Lo ngomong gitu kayak lo udah kuat aja!" protesku, tapi tak ditanggapinya. Dev melepaskan rangkulan tasnya, kemudian menitipkannya padaku.

Bocah keras kepala banget! Sekarang malah sok jago. Latihan belum juga genap sebulan, dia malah santai ikutan duel.

Aku tak dapat berkutik. Duel, artinya satu lawan satu. Tidak ada pihak lain yang boleh ikut campur. Saat ini aku hanya dapat menggigit bibir bawah ketika melihat Dev tersungkur berkali-kali, menahan geram ketika Toni tertawa jemawa.

Entah sudah berapa kali Dev bangkit, untuk kemudian terjatuh lagi. Dari sekian kali tinjunya yang dicoba untuk menyasar Toni, hanya satu yang telak menghantam rahang kanan Toni, tidak cukup kuat untuk membuatnya terjungkal. Harus kuakui, bertahan sampai selama ini Dev mempunyai stamina yang lumayan baik, tapi itu tidak dapat dibanggakan. Dev kalah dalam segi gerakan, strategi, dan kekuatan. Seakan bangga dengan kekurangan lawannya, Toni menyeringai, menyerang Dev habis-habisan.

Bibirnya sudah berdarah. Pipinya lebam keunguan. Setiap kali berusaha bangkit, lututnya gemetar, mungkin jika kusenggol sedikit saja, ia akan rebah. Toni menyerang tanpa ampun, membuatku menatap jerih pada badan Dev yang tampak tanpa daya. Tidak bisa dibiarkan lebih lama, aku melempar tas Dev, lantas maju ke arena duel mereka yang tak jauh dari tempatku berdiri semula. Hanya karena membelaku ia sampai babak belur begitu.

Hantaman siku yang hendak menyasar rusuk Dev tertahan karena tendangan kakato geri—gerakan melompat, mengangkat kaki tinggi-tinggi lalu menyasar kepala Toni untuk kemudian kuhantam dengan tumit kaki. Gerakan yang sebenarnya mematikan jika digunakan powerfully. Mengingat itu adalah hantaman tumit dengan lompatan ditambah berat badan menyasar kepalanya dari atas, tapi aku bukan hendak membunuhnya, hanya ingin melumpuhkannya sementara. Tidak perlu pakai kekuatan penuh, Toni ambruk. Tubuhku bergetar hebat. Lututku mendadak lemas, tapi kuusahakan untuk tetap berdiri tegak. Kebiasaanku gemetar setelah menyerang orang lain, mengingat janjiku pada ayah untuk tidak menggunakan kekuatan semena-mena. Aku harus tetap tampak tangguh dan elegan. Toni mengerang.

Merengkuh Liku Where stories live. Discover now