"... sebagai anak yang tau rasa terima kasih, gue harus membalas itu, meskipun papa nggak minta. Gue mau papa bangga sama gue dan nggak menyesal sudah berinvestasi banyak ke gue, sekalipun itu kewajiban beliau ketika memutuskan untuk memiliki anak."

Abram menganggukkan kepala tanda paham. "Lalu, rencana lo ke depannya gimana?" tanyanya sambil terus berjalan.

"Get rid of you from my peaceful life, Bram," ucapnya spontan tanpa memikirkan perasaan Abram sama sekali.

Abram menghentikan langkahnya dan menatap Kyna dengan sendu. Ia berkata, "Perasaan benci lo ke gue nggak berkurang sama sekali, ya, Na?"

Shit lo ngomong apa sih, Na?! batinnya. Netra keduanya saling bertatapan. Abram dengan pertanyaan, Kyna dengan rutukan. Kali ini Kyna menyadari kalau ucapannya keterlaluan. Tampak penyesalan dari mimik wajahnya. Namun, ego selalu berhasil meruntuhkan perasaan-perasaan tersebut. "Iya, gue nggak suka dengan keberadaan lo di tengah-tengah keluarga gue. Lo bikin kasih sayang bokap dan nyokap gue terbagi. Gue bahkan harus keluar dari rumah gara-gara nggak tahan lihat perlakuan bokap gue yang berlebihan sama lo!"

Abram menarik nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia mendekati Kyna dan memegang pundak perempuan itu dengan kedua tangannya. Ia berkata, "Soon, gue bakal move out dari rumah biar lo merasa lebih secure dan—"

"Papa nggak bakal ngebolehin lo!" potong Kyna cepat.

Abram tersenyum, "He will, as long as you stay with them—your mom and dad."

Kyna melepas cekalan tangan Abram di bahunya. "Oke. Buktiin ke gue kalau lo bisa move out. Gue skeptis bokap gue bakal izinin lo, mengingat lo harus selalu nemenin gue ke kantor sampai tiba masanya papa mutusin posisi VP jatuh ke tangan gue atau lo!" ujarnya ketus.

"To be honest, gue nggak pernah mengingkan posisi VP. Namun, Pak Damara sendiri yang menawarkan posisi itu kepada gue. Dengan jabatan gue saat ini, lebih dari cukup untuk menghidupi diri gue sendiri," Abram menjelaskan.

Kyna melipat kedua tangannya di dada. "Oh, ya?" menaikkan salah satu alisnya, "Kalau kenyataannya seperti itu, kenapa papa masih meminta gue compete sama lo?"

"Entahlah, tanya lagi aja ke Pak Damara," pertegasnya. "Gue nggak gila jabatan, Kyna. Gue kerja di perusahaan keluarga lo karena utang budi sama orang tua lo."

"Kalau tau seperti itu, lo bantu jelasin dong ke papa. Jangan libatin gue dalam kompetisi nonsense ini—"

"I did. Bokap lo nggak mau. For the sake of EBI, Kyna. He wanted to see how you work and manage something. EBI bukan perusahaan ecek-ecek."

"Gue tahu, tapi gue yakin papa seperti itu ke lo karena lo carmuk sama beliau."

Abram mendesah dan menggelengkan kepala mendengar ucapan asal yang keluar dari mulut Kyna. Ia berkata, "You can say whatever you want, Kyna. I ain't complain—defend because I know, I am not like that."

Kyna memajukan tubuhnya, hingga berjarak beberapa sentimeter dengan Abram. Ia mendongak ke arah pria itu dan membalas. "Yes, I can. Toh apa yang gue omongin benar adanya."

Abram menatap netra Kyna lekat-lekat. Ia tersenyum melihat keberanian perempuan itu. "Alright. Gue nggak mau debat, lebih baik kita segera mingle. Jangan bikin orang lain nunggu dan asik gosipin kita—" memegang kedua pundak Kyna dan memundurkannya.

"Gosip? Kita? Lo sangat percaya diri, Abram. Siapa yang mau gosipin lo, sih? Yang bener aja. Nggak ada yang tertarik sama hidup lo—"

"Yakin, nggak ada?" Abram meraih wajah Kyna dengan kedua tangannya. "Lo sendiri selalu tau tentang gue. Which means lo tertarik dengan hidup gue. Correct me if I'm wrong, Kyna Damara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When Women Commanded (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang