Abram dan Kyna saling tatap bingung, "Kita? Aku dan Abram maksud Papa?" Kyna kembali bertanya kepada Hardjanto untuk memastikan ucapan orang tuanya tersebut.

Hardjanto menjawab, "Iya, kalian. Nggak masalah, kan? Mau bermalam pun silakan, asal nggak sekamar."

"Bermalam sama Abram? Makasih, ya, Pa. Kyna mending pesen online transport ketimbang disuruh bermalam bareng Abram. Ribet bin rempong."

"Kyna!" tegur Hardjanto, "Jangan sampai papa denger kamu balik pakai online transport dari Bandung ke Jakarta, ya! Kamu itu perempuan, nggak baik kemana-mana sendiri. Selama di Bandung, kamu ditemani Abram. Titik."

Kyna menatap Abram sinis dan menjawab Hardjanto, "Abram, always Abram," mengangkat kedua tangan ke udara, "Whatever, Pa,"

"He is your brother..." timpal Hardjanto.

"Brother from another father and mother. He is not my brother. For real, Pa," jawab Kyna ketus.

"Kyna Damara!" Hardjanto berkata dengan penuh penekanan. "Berapa kali papa kasih tau untuk tidak berbicara seperti itu kepada Abram. Remember, give respect, take respect! Papa dan mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap tidak sopan dan semena-mena dengan siapapun, termasuk Abram. Abram adalah saudara kamu!"

"Tapi, Pa—"

"Tidak ada tapi-tapian! Case closed. Sekarang, kalian boleh kembali. Papa dan mama harus segera balik ke Jakarta. Selamat bersenang-senang!" Hardjanto menutup obrolannya dengan mereka berdua. Pria itu kembali duduk dan menyesap minumannya.

Abram hanya tersenyum mendengar ucapan Hardjanto kepada putri semata wayangnya itu. Satu sisi ia kasihan dengan Kyna, di sisi lain ia bersyukur karena mendapat pembelaan dan dukungan.

"Seneng, ya, dibela papa..." sindir Kyna pada Abram, "Gue heran, papa lihat apa sih dari lo? Kayaknya beliau sayang banget sama lo. Gue bolak-balik diceramahin dan diomelin kalau ngomongin lo, padahal semua yang gue omongin itu fakta," gerutunya saat berjalan kembali ke acara Adib dan Keisha. "Jujur, gue envy dengan perlakuan papa ke lo. Lo dengan mudahnya dapat tawaran VP, gue? Disuruh compete sama lo?! Anak kandung papa itu gue atau lo, sih?"

Abram hanya diam mendengar gerutuan Kyna. Ia tak berkomentar apapun karena tak ingin membuat Kyna semakin membencinya.

"Sebenarnya, gue males berkompetisi sama lo. Tapi, demi harga diri, I did it. Gue nggak ingin orang-orang menganggap gue nggak capable. Gue nggak suka diremehin dan dibilang 'numpang nama dan numpang hidup dari kekayaan orang tua'. Gue punya self-worth, Bram."

"Iya, gue tau," Abram merespon ucapan Kyna dengan baik.

"Lo tau, kan, gue nggak pernah bisa milih lahir dari rahim siapa? Gue mana ngerti kalau orang tua gue adalah Hardjanto Damara? Orang bilang gue lahir dengan privilege. Namun, mereka lupa dengan beban tanggung jawab yang gue bawa sejak gue ada di dalam kandungan..." Abram hanya tersenyum simpul mendengar penjelasan–bisa dibilang curhatan–Kyna.

"... bokap sudah investasi banyak ke gue dan gue menyadari itu dengan baik. Sebenernya, bukan cuma bokap gue yang invest banyak, tapi semua orang tua di dunia ini. Nggak peduli you born with a silver spoon in your mouth or not, orangtua yang sudah teredukasi dengan baik tentang peran dan tanggung jawab sebagai orang tua sudah pasti akan memberikan yang terbaik bagi anaknya, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Kenyamanan hidup dan keamanan finansial itu relatif. Sepanjang lo bisa bersyukur, semuanya bakal terasa cukup. For me, ketika lo masih punya orang-orang yang sayang sama lo, teman-teman yang suportif, pakaian yang bersih, tempat tinggal yang nyaman, dan makanan untuk lo makan, dan kemudahan dalam menempun pendidikan, itu sebuah privilege..."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 20, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

When Women Commanded (On Going)Where stories live. Discover now