8 | Zenit Arthayandra

33 6 1
                                    

'Ku di liang yang satu
'Ku di sebelahmu

Sampai Jadi Debu – Banda Neira

***

16 Oktober 2019

"NAH, tepat setelah dua menit lima puluh dua detik, lo baru mulai jalan. Pokoknya setelah intro Sampai Jadi Debu habis, lo jalan, ya, Zen. Jalannya juga pelaaan aja. Pelaaan banget. Inget, lapangan sekolah kita kecil. Nanti kalo lo jalannya kecepetan, feel-nya kurang."

Zenit mengangguk-anggukan kepala, sedetik setelahnya, ia menguap. "Iya, siap."

Nadir tersenyum kecil. "Udah ngantuk banget, ya, lo?"

"Gece, Nad. Udah jam tujuh, ini. Nanti kalo pulangnya kemaleman, kecapekan, besok nggak bisa—"

"Iya, Ji. Bawel, deh," Nadir memotong keluhan Oji seraya terkekeh. "Oke, udah jelas. Bisa dimulai, ya, scene terakhir ini." Ia kembali menatap Zenit.

Sabar, ya, Zen. Dikit lagi pulang, kok, ucap Nadir dalam hati.

"Fia siap?" Nadir langsung mendapat anggukan dari Fia. "Satu, dua, tiga! Musik!"

Intro lagu Sampai Jadi Debu dari Banda Neira mulai diputar. Fia, di tengah-tengah lapangan sekolah mulai menari dengan lamban dan gemulai. Nadir sebagai director tidak mendikte tarian seperti apa yang harus Fia tampilkan di adegan terakhir dalam pementasan drama Ronggeng Dukuh Paruk ini. Ia membebaskan teman sebangkunya itu untuk mengarang tarian seperti apa pun, yang penting terkesan sedih.

Nadir, yang juga berada di tengah-tengah lapangan, tepat di belakang Fia, mengalihkan pandangannya dari Fia kepada Zenit yang berada di seberang lapangan. Cowok itu terlihat sedang menyiapkan diri untuk berjalan memasuki lapangan pada menit ke dua dan detik ke lima puluh tiga. Tanpa sadar, Nadir terpaku. Zenit, di bawah gelapnya langit malam dan paduan antara cahaya bulan dan siraman lampu terlihat begitu menawan.

Hati Nadir menghangat. Ia tidak mau berhenti memandang seseorang yang bersinar bak satu-satunya bintang di angkasa.

"Zenit...." Tanpa sadar Nadir memanggil nama cowok itu. Untung saja, kewarasan segera menguasai kembali kepalanya. "Lo jalannya agak kecepetan. Tolong dibenerin, ya. Ikutin aja irama lagunya yang lambat."

Zenit hanya mengangguk dan mungkin mencatat permintaan Nadir di dalam hati. Adegan telah sampai pada bagian dimana tokoh Rasus harus menarik pergelangan tokoh Srintil yang hendak lari dari hadapannya.

"Zen, menurut gue, lo kurang kuat narik tangan Fia," koreksi Nadir seraya berjalan mendekati keduanya. "Oh, bukan kurang kuat. Kurang dramatis. Kurang keliatan kalo lo nggak mau Srintil pergi lagi dari hidup lo setelah kehilangan dia selama sepuluh tahun."

Zenit tertawa kecil. "Oke, oke, ulang." Ia dan Fia pun mengulang adegan tadi.

Nadir menggeleng. "Gini, gini." Ia berpindah tempat ke belakang Zenit, lalu tanpa aba-aba, menarik pergelangan tangan cowok itu dengan begitu cepat dan yakin.

Sejenak, mereka berhadapan.

Dan sejenak, waktu berhenti berputar.

Nadir menatap kedua mata Zenit. Zenit membalas tatapannya. Nadir ingin dunia berhenti berotasi agar ia bisa selamanya menatap sepasang mata indah itu.

"Gimana?" tanya Nadir tanpa berkedip. "Tarikannya keliatan yakin, 'kan?" Ia kemudian membuka kepalan tangan Zenit, seolah-olah meletakkan suatu benda di sana, sesuai dengan adegan yang ada pada naskah. Setelahnya, cewek itu menutup kembali tangan Zenit hingga kembali mengepal.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

For When You're LeavingWhere stories live. Discover now