PROLOG

119 14 1
                                    

Cukupkanlah ikatanmu
Relakanlah yang tak seharusnya untukmu

Sulung — Kunto Aji

***

13 Januari 2020

"BARU PULANG, Nak? Udah makan, belum?"

Pertanyaan itu langsung mendarat di telinga begitu aku menutup pagar rumah. Kulihat Bapak langsung menegakkan punggung dari posisi bersandar di kursi, seolah memang sudah menungguku pulang sejak tadi. Satu tangannya memegang ponsel, sedangkan tangannya yang lain melepas earphone dari telinganya. Aku menatapnya sekilas sebelum melepas kedua sepatu boots-ku.

"Udah tadi, sama Adri," jawabku singkat sambil menaruh sepatu di rak. Aku berjalan mendekati Bapak, kemudian mencium tangannya.

"Makan apa? Nasi?"

"Ayam goreng sama kentang." Aku membuka pintu rumah dan hanya menutupnya setengah.

Bapak mengikutiku ke dalam. "Bapak belum makan. Beli pecel ayam, mau?"

Aku menggeleng pelan. "Nad udah kenyang."

"Ya kali aja nanti malem kamu laper lagi." Bapak mengambil jaket yang menggantung di kapstok besi, bersiap-siap akan pergi.

Aku menghela napas. "Ya udah, terserah Bapak."

"Mandi, salat Magrib," pesan Bapak seraya meraih kunci motor di atas meja. Tak lama kemudian, suara motor matic Bapak mulai terdengar.

Aku menghela napas lagi. "Nad 'kan masih mens, Bapak."

Bapak mengernyit. "Lama amat."

"Hati-hati. Ayamnya minta digoreng garing, ya, Pak."

Setelah Bapak pergi, aku menutup pintu rumah, lalu masuk ke kamar. Hal pertama yang aku lakukan adalah menggantung tote bag di kapstok, men-charge ponsel dan powerbank, membuka jilbab dan blazer, kemudian berdiri di depan cermin half body yang ditempel di dinding kamar. Aku menuang beberapa tetes micellar water ke atas kapas, lalu menghapus lipstik warna cokelat dengan sentuhan merah marun sebagai inner di bibirku. Lamat-lamat, aku menatap wajahku yang masih berhias blush on, eyeshadow, dan printilan make up lainnya. Aku baru akan mengambil kapas lagi untuk membersihkan wajah, ketika tiba-tiba saja tetes-tetes air mata jatuh mengalir di pipiku.

"Argh!"

Aku duduk bersandar di dinding dengan sekujur tubuh yang mulai bergetar. Aku mulai menangis hebat dan isakanku sudah berupa raungan. Aku berusaha melampiaskan kemarahan dan kesedihanku dengan meremas dadaku. Berharap rasa sakit di hatiku akan hilang dalam sekejap, atau minimal berkurang sedikit saja. Aku terus menangis, tetapi rasa sakit itu terlalu tangguh hingga aku yakin, aku tidak akan mampu melawannya. Kedua tanganku berpindah ke kepala, menjambak rambutku sekuat yang aku bisa. Namun tenagaku ternyata tinggal sisa-sisa, tubuhku terlalu lelah hari ini untuk sekadar menyakiti diriku sendiri. Letih, aku akhirnya hanya bisa memeluk kedua lututku. Bibirku bergetar, mungkin tak kuasa menahan jeritan yang ingin sekali aku keluarkan.

"Gue nggak bisa, Zen...." lirihku sambil menggeleng-gelengkan kepaladengan lemah. "Gue nggak bisa kalau nggak ada lo ... gue nggak bisa...."

***

Sabtu, 1 Februari 2020
23.06 WIB

For When You're LeavingWhere stories live. Discover now