Part 18

3.1K 70 6
                                    

"Kamu insan kesayanganku. Tiada apa yang mampu menghalangku untuk mempertahankanmu agar terus berada di sampingku," - Maddy Maxwell

Vanilla lega saat menjejakkan kakinya di Lapangan Terbang Antarabangsa, Kuching. Meski masih sering mual di pagi hari, Vanilla tetap merasa hari ini ialah hari yang paling membahagiakan. Mana tidaknya, dua hari yang lalu, di Shangri La Hotel, suaminya menyuarakan keinginan untuk menemui orang tua Vanilla.

"Kita akan ke rumah orang tuamu, Vanilla. Kita akan menemui ibu dan ayahmu. Kita akan menjelaskan status kita," tutur Maddy. Mata Vanilla berbinar mendengarnya. Tidak dapat ditahan lagi, air matanya menitis melewati pipinya.

"Setelah menemui ibu dan ayahmu, kita akan menemui ibu dan ayahku. Kita akan meminta restu mereka," sambung Maddy. Vanilla mengangguk meski hatinya kecut memikirkan untuk berhadapan dengan Milly.

Vanilla mengusap perutnya dengan jemari kecilnya. Dia pulang menemui orang tuanya setelah ada janin yang tumbuh dalam rahimnya. Mahukah ibu dan ayahnya memaafkannya? Vanilla menarik nafas berat.

"Jangan takut, Vanilla. Aku tidak akan membiarkan apapun yang terjadi padamu dan anak kita," Maddy menggenggam erat jemari isterinya. Dia nekad, apapun yang terjadi, Vanilla tetap menjadi keutamaannya. Setelah wanita yang bergelar isterinya itu mengakui perasaannya, tiada apa lagi yang boleh menghalang Maddy untuk mempertahankan Vanilla di sampingnya.

Setelah menempuh tiga jam perjalanan dari bandar Kuching, akhirnya mereka tiba di rumah dua tingkat milik keluarga Vanilla.

"Vanilla,"  seorang wanita separuh usia muncul dari halaman belakang rumah itu. Mata wanita itu memancarkan cahaya kerinduan yang tidak terbatas.

" Ibu!" Vanilla separuh berlari mendapatkan ibunya. Dia menghambur ke dalam pelukan ibunya. Pelukan ibunya terasa hangat dan menenangkan.

"Kau ke mana, nak. Ibu rindu," wanita tua itu tidak dapat menahan tangisnya. Dia cuba menolak lembut tubuh Vanilla agar dia dapat melihat wajah anak gadis kesayangannya itu. Namun Vanilla memeluk ibunya semakin erat.

" Biarkan begini dulu, bu. Vani rindukan ibu. Vani belum puas memeluk ibu," sura Vanilla bergetar. Maddy yang berdiri di belakang Vanilla mengelus lembut belakang isterinya.

"Jangan peluk terlalu erat, sayang. Ada bayi kita di dalam sana," bisik Maddy. Vanilla melepaskan pelukannya. Maddy benar. Saat ini ada bayi mereka di dalam rahimnya.

Di ruang tamu besar itu, Maddy harus berhadapan dengan ayah dan ibu mertuanya.

"Anak gadisku bukan anak ayam, Maddy, yang boleh kamu tiduri dan nikahi sesuka hati. Dia punya ibu bapa dan keluarga. Kita punya adat, bagaimana cara meminta anak gadis pada orang tuanya," sindiran daripada ayah mertuanya sangat berbisa.

"Maddy minta maaf, yah. Tapi Maddy sudah menikahinya secara sivil dan agama. Kami sudah sah, yah, bu," Maddy berlutut di hadapan kedua orang tua Vanilla.

"Kami kecewa, Maddy. Tetapi selagi anak gadis kami bahagia, kami tidak berhak untuk melarang kalian bersama," ada jeda dalam ucapan lelaki berusia itu.

"Namun andai kau tak bahagia, nak, jangan segan untuk kembali pada ayah dan ibu. Apapun keadaanmu, pelukan ayah dan ibu sentiasa terbuka untukmu," Vanilla menyembamkan diri ke dalam pelukan ayahnya.

"Vanilla sedang hamil, yah, bu," penjelasan Maddy satu lagi kejutan untuk ayah dan ibu Vanilla. Ayahnya mengusap pipi Vanilla dengan ibu jarinya. Separuh hatinya terasa kecewa. Begitu jauh perjalanan hubungan anak gadisnya dengan lelaki di hadapannya ini, hingga menyemai benih di dalam rahim Vanilla.

"Maafkan mereka, bu. Maafkan anak gadis kita dan lelaki ini yang telah menghamilinya," meski kecewa dan patah hati, nasi tetap sudah menjadi bubur.

💕💕💕

Mata Maddy memandang nyalang kepada Aran dan Anila. Lebih-lebih lagi saat pandangannya menangkap perut Anila yang sudah kelihatan membuncit. Di sini mereka berempat berada saat ini, di sebuah kafe milik Aran dan Anila.

"Jadi semua ini memang dirancang?" Maddy menahan amarahnya. Disebelahnya, Vanilla sudah hampir menangis. Tangannya bergetar.

"Maafkan aku, Maddy. Tapi aku memang tidak pernah mencintaimu, Maddy. Ibumu yang memujukku. Semuanya.. kerana ibumu tahu kau mencintai Vanilla. Dia tidak mahu kau dan Vanilla bersama, " jelas Anila. Dia memandang Vanilla dengan rasa bersalah. Ingin rasanya dia memeluk Vanilla. Betapa dia merindukan sahabatnya itu. Namun saat ini, dengan Maddy di samping Vanilla  tidak mungkin Anila berani menghampirinya.

" Kalian merancang agar aku meniduri Vanilla?" Anila mengangguk.

" Aku memasukkan ubat perangsang dan ubat kuat ke dalam minumanmu, Maddy," jelas Anila dengan ketakutan yang tergambar pada wajahnya. Maddy semakin geram. Hatinya marah. Kenapa mereka harus melibatkan Vanilla.

" Dan Vanilla tahu semuanya?" Anila dan Aran melihat ke arah Vanilla. Wajah Vanilla sudah dibasahi air mata. Selama ini dia tidak tahu apa yang terjadi pada Maddy hingga lelaki itu menyetubuhinya dengan kasar malam itu. Bukan hanya sekali, malah berkali-kali dengan tenaga yang luar biasa. Hingga Vanilla merasa alat sulitnya seakan terkoyak.

Dengan kesenyapan itu, Maddy tahu Vanillanya telah dipergunakan. Dia menatap wajah isterinya, tetapi Vanilla membuang pandangannya entah ke mana. Tatapannya kosong.

"Kalian tahu, kerana kalian aku telah banyak menyakiti Vanilla. Padahal aku sangat mencintainya," Maddy meraih tubuh Vanilla. Tetapi wanitanya itu menolaknya.

"Kalian sama sahaja. Kalian telah terlalu banyak menyakitiku. Luka dan sakit yang kutanggung akan meninggalkan parut yang selamanya tidak akan hilang.

Kau, Aran dan Anila...kalian telah menipuku dan meninggalkan aku menghadapi semuanya sendirian. Dan Ivan, ku kira dia tulus mencintaiku. Namun cintanya juga palsu," Vanilla menatap mereka satu-persatu. Baginya mereka semua sama. Mengatakan menyayanginya, tetapi melukainya dengan cara masing-masing.

"Vanilla," Maddy kembali meraih tubuh Vanilla. Namun Vanilla tetap menolak seraya menangis terisak.

" Kamu sungguh mencintaiku, Maddy? Masih ingat berapa kali kamu memanggilku pelacur? Masih ingat apa yang kau lakukan untuk membantuku pagi itu, saat ibumu memijak kemaluanku dengan tumit kasutnya, Maddy? Kamu cuma diam. Memandangku sebelah mata pun tidak,"Vanilla terbayang kembali kesakitan itu. Sungguh sakit rasanya. Rasa sakit yang dirasakan pada daerah intimnya terasa menjalar hingga ke peritnya.

"Vani," Aran menghampiri adiknya. Dia bersalah, menggunakan Vanilla demi kepentingan dirinya dan Anila serta bayi mereka yang sedang dikandung Anila. Namun dia tetap menyayangi Vanilla.

"Maafkan abang, dik. Abang bersalah, tapi abang menyayangimu, dik," Aran membuka tangan untuk memeluk Vanilla. Namun....

"Ahh.. sakit, Maddy. Sakit!" Vanilla memegang perutnya. Sebelah tangannya mencengkam lengan Maddy.

"Kenapa, sayang?" Maddy cemas. Dia teringat bayinya.

" Sakit, Maddy..." Vanilla kembali mengerang menahan rasa sakit pada ari-arinya. Dia merasa seakan-akan ada sesuatu yang akan meluncur keluar dari bawah sana.

"Sayang, kita ke hospital, ya," Maddy membantu Vanilla berdiri. Namun belum sempat berdiri, Vanilla telah terduduk kembali.

"Maddy.. darah... anak kita..." Vanilla terkulai layu setelah mengatakannya. Maddy melihat darah segar mengalir dari celah paha isterinya.

"Tidak! Bertahan dalam rahim ibumu, sayang. Demi mummy. Demi daddy." Maddy mengangkat tubuh isterinya. Kakinya terasa gontai. Isterinya, bayinya.. dia tidak sanggap kehilangan mereka.

Vote dan komen.
Happy reading.

Tbc...


Please, Release Me ✔️Where stories live. Discover now