👔Unspeakable: Fife. 👔

7.6K 748 9
                                    

     Pagi ini sudah pukul 06.45, dan Jihan masih berdiri di depan garasi rumahnya. Sesekali dia melirik arloji berwarna pink mencolok di lengan kanannya gusar, menanti seseorang yang Jihan pintai tolong.

    Jihan tadi malam sampai jam sembilan, dan tidak sempat pergi ke bengkel untuk menambal ban, sialnya lagi dia bangun kesiangan hingga tidak sempat ikut dengan tetangganya untuk pergi ke sekolah. Sungguh nasib, dia pasti telat.

    “Aduh, Harun mau gue jewer atau gimana? Lama bener.”

    Di tengah gerutu sebal Jihan, motor matic berwarna putih dan biru berhenti di depan pagar rumah Jihan. Seketika Jihan berjingkrak bahagia, segera membuka pagar dan menghampiri si pengemudi.

     “Makasih, Harun yang ganteng dan mancung,” ucap Jihan setelah menerima uluran helm. Dia tau Harun sering membawa helm tambahan untuk teman se-geng yang selalu nebeng pulang. Jadi dia tidak membawa helm miliknya.

    “Sama-sama,” balas Harun, tangannya membantu Jihan mengaitkan kunci helm kemudian menutup kacanya.

    “Ayo, naik.”

   Jihan duduk menyamping dan heran karena terasa lebih luas. “Kok gak bawa tas? Mau bolos, ya?” tuduh Jihan seenak jidat.

    Harun segera memarkirkan motor tanpa menjawab terlebih dahulu. “Gue udah sampe kelas, sebelum lo telepon minta jemput.”

    Jihan menyengir sendiri, merasa tak enak dengan teman sebangkunya itu. Di jalan hanya Jihan yang banyak berceloteh, sementara Harun kadang menjawab dengan anggukan dan 'iya'.

    “Loh? Udah dikunci,” ucap Jihan cemas, ketar-ketir di jok belakang saat melihat gerbang ditutup rapat.

    Mata almonnya kian melebar melihat sekumpulan murid yang telat tengah diberi wejangan oleh anggota OSIS.

   “Mampus, kita pasti bakal kena,” bisik Jihan pada Harun.

    “WOY, KAK! BUKA GERBANGNYA!” teriak Harun begitu berani.

    Jihan kembali melotot, demi jiwa fangirlnya, ia ingin menikam Harun sekarang. Berteriak di depan gerbang ketika mereka telat sama saja menerima hukuman suka rela.

   “Lo mau bunuh diri? Dasar Harun kampret!” umpat Jihan meremas belakang seragam Harun takut.

    Semua yang ada di dekat gerbang menoleh ke arah Jihan dan Harun. Jihan terus memaki dalam hati, dasar prasasti geblek!

    Salah satu siswa memakai almamater khusus OSIS berwarna merah mendekati gerbang, melirik Harun dan Jihan secara bergantian. Tatapannya begitu tajam dan galak.

    Suara kunci membuka gembok memenuhi keheningan, kemudian gerbang dibuka sebesar masuknya motor. Harun tanpa permisi melajukan motornya masuk.

    “Berhenti di situ!” teriak siswa yang tadi membuka gerbang, wajahnya begitu geram melihat perlakuan Harun.

     Harun menaruh motornya begitu saja, menarik tangan Jihan ikut berbaris bersama anak telat lainnya. Siswa tadi mendekati Jihan dan Harun, menatap keduanya galak.

    “Kenapa telat?”

    “Jemput dia,” jawab Harun jujur seraya menunjuk Jihan.
   Jihan menatap Harun kaget, menggertakkan gigi sebal. Sembari bibirnya mengerucut, Jihan menatap siswa tadi.

   “Iya, kita telat gara-gara Harun jemput gue,” ucap Jihan menahan takut, berani menatap mata galak siswa yang bernotabene anggota OSIS.

    Siswa bernama Sandi itu tersenyum kecil, “Harun udah izin sebelum keluar, dia gak telat. Tapi lo yang telat!” ucap Sandi kembali galak. Tangannya masuk ke saku almamater, mengarahkan dagunya agar Harun pergi dari barisan.

    “Jihan dihukum, gue ikut,” balas Harun enteng.

   Sandi berdecap, menatap keduanya jengkel. Dia berdengkus santai, “Ya udah.”

    Sandi kembali ke barisan depan, ikut bergabung dengan OSIS yang menjadi petugas mengurusi anak-anak badung.

    “Hukuman kalian, pel aula sampai bersih,” ucap Rendi final. Sang Ketua OSIS pun pergi diikuti anggota yang lainnya.

    Jihan ikut bubar, tapi bola matanya menatap punggung beralmamater milik Sandi. Tak lama kemudian bahunya bergidik, Sandi menakutkan ketika galak.



👔👔




      “Eh, lo beneran gak papa, San? Pucat gitu.” Rina bertanya cemas, memberikan botol air yang tadi Sandi titip di atas lantai.

    Mereka tengah berkumpul di RO, karena hari ini akan ada kumpulan rapat OSIS. Semua yang ada di ruangan mengangguk setuju ketika melihat ke arah Sandi.

   Sandi mengangguk enteng seraya mengacungkan ibu jari bertanda oke. Kemudian membuka tutup botol dan meminumnya setengah.

    “Lo kalo sakit pulang aja, San. Takutnya modar di sini,” ucap Jono gamblang, membuatnya mendapat lemparan sapu dari Siti.

    “Kebiasaan kalau ngomong gak bisa disaring dulu,” sela Siti.

    Sandi terkekeh sedikit terhibur, melupakan pusingnya sejenak. Dia tidak mengira pucatnya terlihat jelas.

    “Sandi, lo boleh pulang kalo sakit. Anemia itu bukan penyakit ringan,” ucap Rendi pengertian. Sebagai Ketua OSIS dia paling disanjung karena sikap peduli dan tegasnya.

   “Gue gak papa, Ren. Tapi sorry kalo gue gak bisa banyak kasih pendapat,” ucapnya seraya menyandar ke tembok, memijat antara kedua alisnya pelan. Keningnya sampai mengerut menahan pusing.

    “San, gak baik juga kalo lo sampe drop, mending pulang aja,” sahut Kian, cowok itu memberikan obat yang tadi sempat Sandi minta.

    “Gue gak enak aja sama anggota lain,” balas Sandi sebelum menelan obat itu bersama air botol tadi hingga habis.

    Rendi mendekati cowok keras kepala itu, menepuk bahunya sedikit keras. “Pulang, Sandi.”

    Ucapan Rendi terdengar tegas, dan jika sudah keluar tidak ada yang bisa membantah. Sandi menghela napasnya lalu mengangguk lemah.

    “Ya udah, gue balik.”

    “Mau diantar?” tawar Kian.

    “Gak usah, makin gak enak gue.”

    Sandi mengambil tasnya di pojok ruangan, bergegas keluar RO setelah pamit kepada semua anggota.



👔👔



       Helaan napas lolos dari mulut Jihan. Gadis itu sudah jalan dari depan sekolah sampai dekat pangkalan ojek yang lumayan jauh.

    Dia begitu sebal pada Harun karena tidak bisa mengantarnya pulang dengan alasan akan ada acara bersama gengnya. Setelah membuat Jihan dihukum tadi pagi, Harun sekarang tanpa hati menyuruh Jihan pulang naik ojek.

    “Ugh, prasasti kampret! Gue kutuk juga lo jadi mimi peri!” pekik Jihan kesal.

    Pangkalan ojek masih beberapa meter di depan, Jihan harus terus berjalan. Bukan jalannya yang menjadi masalah, tapi Jihan itu paling tak mau duduk berboncengan dengan orang yang tidak dikenalnya. Seperti malam itu ditawari Sandi, dia sempat kaget karena merasa tak biasa.

    “Huhu ... semoga Harun gak kena karma, dia jahat banget sama Jihan yang gak cantik ini,” rengek Jihan di tengah jalannya yang malas.

    Jihan semakin malas melihat tali sepatunya lepas. Meski enggan gadis itu berjongkok, membenarkan tali sepatu. Saat itu juga sebuah motor berhenti di sampingnya. Jihan seketika mendongak, menatap si pengemudi.

    “Mau bareng?” tawar Sandi dengan senyum kecilnya.
   Jihan mengerjap beberapa kali, masih di posisi jongkok.

    “Sandi?” panggil Jihan tak percaya.

   Sandi terkekeh, terhibur dengan ekspresi lucu Jihan. Ia sudah terbiasa setelah beberapa kali bertemu dengan cewek ini.

    “Iya, gue Sandi. Kata siapa Jungkook?”

    Jihan segera bangkit berdiri, menonjok bahu Sandi tak pikir-pikir lagi. “Jungkook gak punya gigi gingsul,” ucapnya menahan kesal.

    Sandi lagi-lagi tertawa, sedikit aneh dengan cewek zaman sekarang. Kenapa tidak terima jika biasnya disamakan dengan cowok lokal. Sandi akan tanyakan kalau sempat.

    “Ayo, mau bareng?” tawar Sandi lagi.

    Jihan berpikir sejenak, kemudian menatap pangkalan ojek di depan sana. Dia tidak mau naik ojek meski Harun memberinya uang untuk ongkos. Jihan tak nyaman.

    “Boleh, gitu?” tanya Jihan balik memastikan.

    “Gak boleh,” sahut Sandi kemudian sedikit menarik gas membuat motor maticnya maju berniat meninggalkan Jihan.

    “Eh! Iya, mau bareng!” jerit Jihan seraya memacu kakinya mengejar motor Sandi.

    Sandi tertawa di atas motornya, sedikit senang mengerjai cewek lucu ini. Saat cewek itu sudah naik sempurna, Sandi bertanya lebih dulu.

    “Udah?”

     “Udah.”

    “Turun,” ucap Sandi kembali bercanda.

    “Ih, Sandi!”

    Gelak tawa Sandi kembali keluar sebelum motornya melaju dengan kecepatan sedang.

    “Kok jalan kaki? Motor pink lo ke mana?” tanya Sandi di balik helmnya.

    “Bocor,” balas Jihan seadanya.

    “Apanya? Bensinnya?”

    Jihan berdecap sebal, Sandi ini berubah cepat sekali. Tadi pagi saja galak, sekarang jahil.

    “Bannya, Sandi. Ban!”

     Sandi tertawa, lagi. Membuat mata sipitnya semakin membentuk garis tipis. Dia sudahi saja, daripada menabrak gara-gara mata sipitnya memejam ketika tertawa.

     Tanpa petunjuk arah Sandi tiba di depan rumah Jihan. Tentu saja dia hafal karena malam itu dia mengantarkan Jihan. Jihan turun dari motor, berniat menjabat tangan Sandi berterima kasih karena sudah baik mengantarkannya. Tapi niatnya urung, malah menatap Sandi begitu terkejut.

    "SANDI! HIDUNG LO KELUAR DARAH!" jerit Jihan heboh.



👔👔


Unspeakable [Terbit]Where stories live. Discover now