"Kau," Dia menggigit bibir bawahnya, tampak gugup untuk berbicara. Sial, ini sangat canggung. "Kau sudah bangun."

Aku memutar bola mataku dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap wajahnya hanya akan membuatku berpikir betapa aku ingin melahap bibir kecilnya itu.

"Kau harus sarapan. Kau muntah banyak tadi malam." Katanya lagi. Sialan!

"Aku tidak butuh perhatian sialanmu itu. Mengapa kau tidak pergi saja dari sini dan berhenti memedulikanku?!"

"Berhenti memedulikanmu?" Dia bertanya sinis. "Tolong katakan padaku bagaimana caranya untuk berhenti peduli padamu disaat kau bahkan hampir membunuh dirimu sendiri. Sungguh, mengapa kau bahkan mengonsumsi obat sialan itu?!"

"Persetan Anna!!!" aku mengumpatinya, "Kau pikir siapa yang telah membuatku seperti ini?! Kau! Kau yang melakukannya!! Kau pikir aku akan bersikap baik padamu hanya karena kau membersihkan rumahku dan membuatkanku sarapan?! Jangan konyol! Tidak ada yang berbeda dari kita. Aku membencimu dan selamanya akan selalu seperti itu. Jadi pergi saja dari sini sebelum aku melemparmu dengan sarapan konyolmu itu!"

"Apa masalahmu?!" Dia balas bereteriak.

Here we go again.

"Apa masalahku?!" Aku balas bertanya sinis dengan mata membelalak, "Wow, kau bodoh atau idiot?"

"Berhenti saja, oke? Aku tau kau marah padaku, tapi aku tidak ingin berkelahi dengamu."

Aku terkekeh konyol. Dia benar-benar idot yang menyebalkan.

"Jika kau tidak ingin berkelahi denganku, maka pergi saja dari sini."

Dia melipat tangannya di depan dada, "Aku tidak akan meninggalkanmu." Katanya tegas. Ini dia, Anna dan keras kepalanya.

"Pergi, atau aku akan melemparmu dengan sarapan itu. Aku bersungguh-sungguh!"

Dia menelan salivanya tampak gugup. Tapi tentu saja dia menyembunyikan ketakutannya.

"Lempar saja kalau kau berani." Ujarnya dengan tangan mengepal kuat.

Aku berjalan mendekatinya di dekat meja makan, "Jangan menantangku."

Dia hanya diam. Matanya mulai berkaca-kaca menatapku. Sialan! Mengapa dia selalu menangis di sampingku? Oh ya, aku memang brengsek.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Leo."

"FUCK YOU!" Aku membentak, tanganku spontan mengambil sarapan yang telah dia buat di atas meja dan melempar makanan itu ke arahnya.

Dia berteriak kuat sembari menutup telinga, tapi piring itu meleset mengenai dinding di sampingnya dan jatuh pecah berkeping-keping ke lantai.

"Aku telah mengatakannya," Kataku sinis. Gigiku mengeram kuat. "Jangan.menantangku."

Air matanya berhasil turun dan dia menatapku penuh kebencian, "Kau benar-benar brengsek!"

Dia menghapus air mata di pipinya lalu terjongkok untuk membersihkan makanan hancur itu. Sialan! Mengapa dia melakukan itu? Aku pikir jika aku menggertaknya, dia akan langsung pergi.

Tangannya satu per satu memungut piring yang telah pecah di lantai hingga tanpa sadar telunjuknya tersayat. Aku spontan terduduk dan meraih tangannya yang berdarah tapi dengan spontan tangannya terangkat dan menampar pipiku.

Plak!

Sialan! Aku bahkan tidak pernah memukulnya secara sengaja tapi dia telah menamparku berkali-kali.

"Jangan menyentuhku, sialan!" Umpatnya kasar. Tapi aku tidak mendengarnya dan langsung menarik tanganya untuk menjauh dari pecahan piring itu.

"Lepaskan tanganku!!" Dia menyentakku dengan kasar membuat tangannya terlepas dari genggamanku. "Kenapa Leo? Hm? Kau tidak bisa melihatku terluka?"

SWITCHOVER (Book I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang