Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui siapa dia. Wajahnya penuh dengan luka lebam, darah segar keluar dari hidung dan mulutnya.

"Justin!" ucapku mengguncang tubuhnya berharap ia sadar.

"Dia hanya pingsan, bagaimana ini? Aku sudah memeriksa denyut nadinya.

"Justin! Apa kau mendengarkanku? Bangunlah, disini tak ada siapapun tolong sadarlah" Ucapku panik berharap dia sadar.

Terpaksa aku harus melakukan sesuatu yang mungkin beresiko bagiku. Aku mengahadang salah satu mobil ditengah jalan. Yep, aku hampir tertabrak karena aksi gilaku. Untung saja dia sadar dan langsung mengerem.

"Apa kau sudah gila!" Bentak seorang pengemudi mobil tersebut setelah mobilnya berhenti tepat di depanku.

"Tolong, temanku pingsan dan aku tak bisa membawanya sendiri. Bisakah kau membantuku?" Ucapku memohon padanya. Kuharap dia mengerti.

Pria itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung turun dari mobilnya dan menghampiri Justin yang masih tergeletak.

Aku menggigit jari karena kebingungan. Pria itu hanya menatap Justin dalam waktu yang lama.

"Permisi? Bisakah kau membantuku tuan?" Tanyaku dengan hati-hati.

"Ayo bantu aku bawa dia ke mobilku" Ucapnya membuatku tersenyum senang. Beruntung sekali aku.

"Kau akan kemana?" Tanya pria itu setelah merebahkan Justin di jok belakang.

"Kerumahku saja tuan" balasku tanpa fikir panjang. Karena aku tidak tahu dimana alamat rumah pria dingin ini.

"Dimana rumahmu" Tanyanya lagi.

"Blok 3, gang Roses nomor 17" Jawabku sambil tersenyum.

Pria itu hanya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Aku pun ikut masuk kedalam mobilnya. Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang.

"Maaf tadi aku sudah membentakmu" Ucapnya sambil fokus menyetir.

"Tidak papa, aku juga salah memberhentikanmu secara tiba-tiba"  Balasku dan masih menatap luka yang ada di wajah Justin. Aku sengaja meletakkan kepalanya di pahaku agar kepalanya tidak sakit.

"Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama" Balasnya lagi membuatku senang.

"Ah iya" balasku gugup.

"Siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Selena Gomez, panggil saja Selena tuan" Jawabku. Sesekali aku mengelap darah yang mengalir dari hidung Justin. Brew

"Aku Gerry, jangan panggil aku tuan lagi" ucapnya lalu melihatku tersenyum.

Aku membalasnya dengan senyuman juga.
"Dia belum sadar juga, lukanya sangat parah" gumamku sembari membuka tudung Hoodie yang dari tadi menutupi kepalanya itu.

"Apa dia kekasihmu?" tanya pria itu. Ya, Gerry.

"Ah bu--bukan, dia temanku" ucapku berbohong. Padahal kami baru saja kenal belum lama, rasanya belum pantas dikatakan jika kami ini berteman.

"Kenapa dia terluka?"

"Aku tidak tau, aku menemukannya sudah dalam kondisi seperti ini"

"Memangnya kau dari mana atau akan kemana malam-malam begini berkeliaran" ucapnya membuatku malas untuk menjawabnya, sungguh dia cerewet sekali.

"Aku pulang kerja." Balasku singkat.

"Kau kerja?" tanyanya tak percaya. Aku hanya bersabar. Dalam keadaan cemas seperti ini dia terus bertanya membuatku sedikit kesal.

"Ya, memangnya kenapa?"

"Sampai selarut ini?" Tanyanya tak percaya.

"Ya, aku bekerja 18 jam dari jam tujuh pagi sampai jam 12 malam."  Kurasa dia memang cerewet.

"Kau bekerja dimana?"

"Getty Center Restaurant LosAngeles" 

"Sejak kapan?"

"Belum lama" balasku datar. Oh benar-benar cerewet.

10 menit kami diperjalanan dan akhirnya sampai juga.

"Ini rumahmu?" Tanyanya dan aku mengangguk.

Kami keluar dari mobil dan membopong Justin memasuki rumahku. Untung saja aku membawa kunci cadangan. Jadi aku bisa langsung masuk tanpa harus memanggil dad yang sedang tidur.

"Tidurkan disini saja" ucapku lalu merebahkan tubuh Justin di sofa ruang tamu.

"Kau tinggal sendiri?" Tanyanya dengan raut yang menjengkelkan itu.

"Tidak, aku bersama dad. Dia sudah tidur" ucapku lalu dia mengangguk.

"Apa pria ini akan menginap disini"

"Hanya sementara saja, terima kasih banyak Gerry kau sudah mau membantuku" Ucapku tersenyum. Tentu saja terpaksa. Aku berharap agar dia cepat-cepat pergi dari rumahku.

"Sama-sama, baiklah aku harus pulang bye. Sampai bertemu lagi Selena" Ucapnya sambil berjalan menuju ke pintu.

Aku melambaikan tanganku.
"Hati-hati, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu" ucapku sungguh-sungguh dan dibalas dengan anggukannya.

Setelah Gerry pergi aku segera menutup pintu dan menguncinya.

Langsung saja aku mengobati luka Justin, aku mengambil lap yang kubasahi dengan air lalu ku bersihkan darah yang mengalir dihidungnya dan mengompres bekas luka lebamnya.

"Pingsannya lama sekali, apa luka ini sangat membuatmu kesakitan?" ucapku sambil mengelap lukanya. Memang benar dia memiliki wajah yang sangat tampan dan itu tidak bisa kupungkiri. Entah mengapa wajahnya membuatku tenang.

"Ah sadarlah! Ada apa denganku ya tuhan." Dumalku dan kupukul dahulu kepalaku sendiri agar tak terlalu terpukau dengan wajah Justin.








My Sweatheart Justin Where stories live. Discover now