11

2.2K 304 24
                                    

Nomu menyerang daerah yang aku dan Gran Torino lalui. Gran Torino memaksaku untuk tinggal di kereta sedangkan dia memilih melawan Nomu. Kau pikir aku bisa tahan membiarkan sosok guruku tersebut sendiri? Aku akan membantunya, tentu saja!

Aku melompat keluar kereta dan melompat melewati gang-gang sempit dan mendapati pembunuh hero, Stain sedang melukai Iida-kun. Aku melompat dan membantu Iida-kun melawannya. Sebelum melakukan penyerangan, aku mengirim alamat terlebih dahulu untuk meminta bantuin pro-hero agar membantu kami.

Aku melompat ke arahnya dan mulai menyerangnya dengan kekuatan yang baru aku pelajari selama magang. Dia mengarahkan pedangnya secara acak, tetapi terlihat jelas dia sangat bernapsu untuk melukaiku. Aku tidak tau apa quirk dari sang pembunuh hero, tetapi aku sebisa mungkin menjaga jarak darinya.

"Midoriya," seru suara di belakangku. Aku menoleh sebentar mendapati Todoroki-kun berdiri di sana. "Jangan hanya mengirim alamat tanpa keterangan, bagaimana bila tidak ada yang datang?"

"Akan tetapi, kau datang, Todoroki-kun."

Ia tersenyum kecil sebelum akhirnya membantu aku melawan Stain. Kami sangat mengerti pemikiran kami tanpa harus terlalu banyak berbicara.

Es Todoroki-kun melewati belakangku, membuat jalur es dan pria tersebut melesat melawan Stain. Pedang-pedang Stain selalu tertahan dengan es milik Todoroki-kun. Sisi yang dibenci Todoroki-kun pun meledak-ledak. Ia menerima sisi pemberian ayahnya dan aku turut bahagia.

Aku terduduk, badanku amat kaku. Sial, bagian mana dari diriku yang terluka?! Aku melihat kakiku sebentar dan mendapati luka kecil di sana. Akh! Di saat begini mengapa tubuhku begitu kaku digerakan?!

Pedang milik Stain melesat cepat ke arah wajahku. Aku terdiam membeku, aku tidak menyadari sedari kapan dia berhasil melewati Todoroki-kun. Api milik Todoroki-kun membakar punggung Stain. Api-api tersebut berkobar, seakan menghangatkan gang kecil, sempit, dan lembab ini.

"Jangan sentuh, Midoriya!"

Aku berdiri ketika Todoroki-kun masih diliputi emosinya. "Awas, Todoroki-kun!"

Todoroki-kun melompat ke arah dinding di belakang dan berputar melewati tubuh pembunuh hero tersebut, seperti dipermainan konsolku. Aku menendang lengan Stain yang mencoba menusuk pipi Todoroki-kun, meski tak melukai dalam, tetapi Todoroki-kun terduduk.

"Sial." Aku terus menyerang Stain dan tak berapa lama Iida-kun mampu berdiri kembali.

Iida-kun terlihat penuh dengan semangat yang kembali datang padanya. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti teman-temanku!"

"Jangan berpura-pura untuk mengembalikan gambaran baikmu setelah aku tau bahwa kau bahkan seorang pengecut." Stain menyeringai keji dan kembali menyambit kami.

Aku dan Iida-kun akhirnya berpencar. Todoroki-kun bangun, lebih cepat dari dugaanku. Ia membuat esnya segera menyerang Stain dan kami berpencar untuk menghindari sambitan pedang tersebut. Buruk bagiku yang tak mampu menghindar sayatannya dan kembali terduduk, menyaksikan teman-temanku bertarung melawan sosok pembunuh pahlawan tersebut.

"Todoroki-kun, tolong es knalpotku. Aku memiliki ide," ujar Iida-kun di tengah pikiran kalutku. Todoroki-kun yang memang pada dasarnya penurut mengikuti kehendak Iida-kun dan Iida-kun melesat menuju Stain.

Merasa bahwa aku sudah mampu untuk bangkit dan mengalahkannya, aku melompat ke arah Stain.

oOo

"Aku memang penghancur tangan. Maafkan aku Midoriya, Iida," ujar Todoroki-kun ketika menyaksikan tangan Iida-kun yang kini dibalut oleh perban. Sungguh menggemaskannya sosok ini. "Apa yang lucu?" Tawa kami makin meledak mendengar nada datar yang menyirat seakan merajuk tersebut.

"Todoroki-kun sangat imut." Aku hendak menggemas rambutnya gemas sebelum pintu dibuka kasar.

Aku melihat sosok tersebut di sana, berdiri paling depan. "Aku sudah mengatakan kau untuk menyerah kutu buku sialan, apa kau tau bahwa nenek lampir itu menelfonku dan menanyakan keadaanmu karena dia mendengar kau berada di dekat lokasi!"

"Ma-maaf Kacchan!! Ampun, tolong jangan tarik rambutku!"

Cengkraman pada rambutku melembut. Ia mengelus sejenak rambutku dan menarikku ke dalam pelukannya. Tolong jangan membuatku sakit, Kacchan! "Akhirnya aku bisa membuatmu aman, omega."

Aku tertunduk sedih. Dia manis, menggemaskan, tetapi ini bukan Kacchanku, bukan teman masa kecilku. Ini sosok yang telah tumbuh bersama Kacchan, sosok yang menjadi mate bagi omegaku, sosok alpha Kacchan. Tentu saja, apa yang aku harapkan dari sosok yang membenciku? Mengaturku hingga aturannya lebih mencekik dari aturan ibuku sendiri.

"Lepaskan aku, Kacchan. Kepala Kepolisian berada di sini." Aku mendorongnya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berdiri di sebelahku.

Kepala Kepolisian memberi kami ceramah dan menunduk mengucapkan terima kasih. Aku sadar kesalahanku, memang ini salahku maka sudah sewajarnya aku menghampiri Gran Torino dan meminta maaf padanya meski akhirnya dia malah memukul kepalaku lagi.

"Setidaknya kau selamat. Kau luar biasa, Midoriya-kun." Aku tertawa merasakan elusan yang kudapat dari Gran Torino.

"Aku pergi! Sial, percuma saja aku ke sini bila kau hanya luka ringan." Kacchan berjalan menjauhi kamar dengan langkah menghentak. Manis, ingin digigit, seperti anjing yang sedang merajuk.

Aku menoleh merasakan tepukan dari belakangku. "Sebaiknya kau beristirahat, Midoriya. Kau terluka parah, biarkan saja perkataan Bakugou." Aku kembali mendapat elusan, kali ini Todoroki-kun yang mengelusku.

"Jangan menebar hawa cinta disekitarku." Iida-kun melempar candaan dan kamar yang awalnya canggung kembali diliputi canda tawa. Semoga segalanya baik-baik saja.

Fate Where stories live. Discover now